Menyambung tulisan serupa beberapa waktu yang lalu, di artikel ini penulis berusaha membuat analisa 2 menit ala Peter Lynch untuk beberapa emiten-emiten di bursa yang sudah pernah dibahas di blog ini. Bedanya, kali ini penulis tidak memberikan tanda bintang. Silakan pembaca memberikan kesimpulannya sendiri 🙂
Sebelum mulai, numpang iklan dulu ya! 😀 Barangkali ada yang lagi expecting to have a baby in the near future (selamat ya Moms/Dads), mungkin mau cari-cari ide nama buat adek bayinya, barangkali bisa pake tools teman penulis di nama.bayiunyu.id.
ICBP

Indofood CBP (ICBP) adalah anak usaha group Indofood, salah satu perusahaan konglomerasi di Indonesia yang dikendalikan oleh group Salim. Selain memproduksi dan mendistribusikan mi instan dengan merek Indomie, ICBP juga memiliki produk-produk makanan dan minuman lainnya seperti Pop Mie, Sarimi, Supermi, Indomilk, Cap Enaak, Milkuat, Promina, dan lain-lain. Kesemua merek ini dikelola melalui enam divisi bisnis ICBP yang meliputi Mi Instan, Dairy, Makanan Ringan, Penyedap Makanan, Nutrisi & Makanan Khusus, dan Minuman.
Dari keenam divisi tersebut, divisi Mi Instan adalah penyumbang pendapatan terbesar dengan rata-rata kontribusi sebesar 64.33%, sehingga divisi mi instan memiliki posisi yang sangat strategis pada kinerja ICBP secara keseluruhan.
Dalam jangka pendek, pendapatan dari divisi mi instan tumbuh dengan CAGR sebesar 6.83%, turun dari CAGR jangka panjang di angka 9.11%. Namun demikian pertumbuhan laba bersih naik dengan CAGR yang cukup baik yaitu 15.36%. Adanya kesenjangan pertumbuhan pendapatan dan pertumbuhan laba di mana pertumbuhan laba tumbuh dengan CAGR yang lebih baik, menjadi indikator positif pada efisiensi proses bisnis perusahaan. Hal lain yang menjadi catatan adalah divisi ini mampu menghasilkan profit margin yang baik, di mana secara rata-rata profit margin berada di angka 19.56%.
Di tahun 2020, ICBP mengakuisisi Pinehill Company Limited (PLC). Manajemen berpendapat bahwa akuisisi PLC akan berdampak positif bagi kinerja ICBP dengan terbukanya akses market secara langsung ke negara-negara Timur Tengah, Afrika, dan Eropa yang distribusinya dikuasai oleh PLC. Banyak analis berpendapat bahwa akusisi PLC oleh ICBP terlalu mahal dan bermasalah dalam hal transparansi sebab induk PLC adalah perusahaan yang sama-sama dikuasai oleh group Salim. Terdapat kecurigaan bahwa akusisi ini semata-mata hanya akan menguntungkan pengendali saja dan merugikan investor ICBP lainnya.
Efek akusisi PLC mulai terlihat di LK ICBP. Di tahun 2020, penjualan di negara-negara Timur Tengah dan Afrika meningkat drastis yaitu sebesar 121.13%, sedangkan penjualan di dalam negeri hanya naik sebesar 1.49% saja. Selain itu, DAR ICBP naik drastis dari sebesar 31.10% menjadi sebesar 51.42%. Sedangkan DER meningkat dari sebesar 45.14% menjadi sebesar 105.87%.
Akuisisi PLC sempat mengerek turun harga saham ICBP. Menurut hitung-hitungan penulis, saat ini ICBP sedang berada di rentang bawah harga wajarnya. Sedangkan secara PER dan PBV, sudah masuk ke area undervalue.
Caveat
Dengan semakin jenuhnya pasar Indomie di dalam negeri (terbukti penjualan di Indonesia hanya naik sebesar 1.49% saja), maka kinerja ICBP di masa depan sangat ditentukan oleh kesuksesan ICBP melakukan ekspansi ke luar negeri. Sebagai investor retail yang tidak punya akses ke pasar-pasar luar negeri tersebut (kecuali Anda sering jalan-jalan ke luar negeri), tentunya cukup sulit mengamatinya.
Selain itu, tingkat utang yang membengkak pasca akuisisi masih akan membebani fundemental ICBP beberapa tahun ke depan.
Analisa lebih lengkap bisa dibaca di artikel ini.
KBLI

PT KMI Wire and Cable Tbk (KBLI) adalah salah satu pemain utama industri kabel di Indonesia. Perusahaan ini berdiri tahun 1972 dan telah memasarkan produk kabel bertegangan rendah dengan merek Kabelmetal Indonesia sejak tahun 1970an.
Growth KBLI bisa dibilang cukup istimewa, sebab pertumbuhan aset dan ekuitasnya dalam jangka panjang dan jangka pendek berada di angka CAGR di atas 20%. Pun, pertumbuhan pendapatan berada di angka CAGR 18.53% (jangka panjang) dan CAGR 13.55% (jangka pendek) – masih cukup tinggi.
Sebagai perusahaan penyedia material konstruksi dan infrastruktur (berupa kabel), perusahaan cenderung bersifat capital intensive. Hal ini ditandai dengan rendahnya profit margin yang berada di angka rata-rata 5.82%. Selain itu, posisi utang terhadap aset dan ekuitas berada pada rasio yang cukup besar yaitu di rata-rata Debt to Aset Ratio (DAR) dalam jangka pendek tercatat sebesar 34.87%, sedangkan rata-rata Debt to Equity Ratio (DER) berada di angka 54.10%. Dari segi cashflow, tercatat bahwa selama 10 tahun ke belakang perusahaan sempat mencatatkan Operating Cashflow dan Free Cashflow negatif.
Sejak tahun 2016, perusahaan mulai mengoperasikan segmen usaha baru yaitu segmen kabel bertegangan tinggi. Segmen baru ini mampu meningkatkan pendapatan perusahaan terutama dari PLN disebabkan oleh adanya program pengadaan pembangkit listrik 35,000 MW.
PLN dan anak-anak perusahaan bisa dibilang merupakan konsumen utama perusahaan terutama untuk segmen business to business (B2B). Sedangkan konsumen business to consumer (B2C) terutama dilayani oleh segmen kabel bertegangan rendah yang berkontribusi hampir separuh dari pendapatan perusahaan.
Selain capital intensive, karakteristik lain dari perusahaan adalah sifat dari bahan baku berupa komoditas tembaga dan aluminium yang masuk ke dalam kategori siklikal. Di tahun 2020 sendiri, kinerja perusahaan cukup tertekan. Selain karena pandemi yang menyebabkan seretnya anggaran pemerintah ke PLN, juga karena tingginya harga komoditas.
Dari segi valuasi, saat ini KBLI dihargai di PBV 0.53x sehingga bisa dikatakan cukup undervalue sebab berada di area -1 standar deviasi PBV rata-ratanya. Investasi di KBLI bisa dipertimbangkan jika melihat harganya yang cenderung undervalue, namun tetap harus mempertimbangkan beberapa hal seperti, berakhirnya pandemi (sehingga anggaran pemerintah ke PLN bisa kembali “normal”), turunnya harga komoditas tembaga dan aluminium, serta visi pemerintah yang tetap mengedepankan pembangunan infrastruktur terutama sektor kelistrikan.
Caveat
Pengendali KBLI adalah Denham Pte Ltd. Perusahaan ini kerapkali dikaitkan dengan Sjamsul Nursalim, pengusaha Indonesia yang terkait dengan kasus dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Kasus ini sendiri belakangan dihentikan oleh KPK dengan menerbitkan SP3.
Selain itu, NPM kecil dan cashflow negatif mungkin menjadi karakteristik yang kurang disukai.
Terakhir, analisa ini mungkin valid sampai tahun 2024 saja. Jika presiden ganti, mungkin visi pemerintahan baru tidak lagi ke infrastruktur.
Analisa yang lebih lengkap bisa dibaca di sini.
LSIP

PT PP London Sumatera Tbk (LSIP) berdiri pada tahun 1906 dan merupakan salah satu perusahaan perkebunan tertua di Indonesia. Pada tahun 2007, LSIP bergabung ke dalam kelompok usaha Indofood yang dikendalikan oleh grup Salim melalui PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) – produsen minyak goreng Bimoli.
Pendapatan LSIP hampir 90% berasal dari perkebunan kelapa sawit dan turunannya. Oleh karena itu, LSIP tergolong bisnis siklikal sebab kinerjanya sangat ditentukan oleh harga komoditas kelapa sawit dunia.
Secara pertumbuhan, LSIP cenderung stagnan. Pada periode 2014 – 2019, aset tumbuh dengan CAGR hanya sebesar 3.39%, sedangkan ekuitas tumbuh dengan CAGR sebesar 3.32%. Pendapatan LSIP cenderung naik turun selayaknya perusahaan siklikal, namun cenderung di situ-situ saja. Sebagai contoh, tahun 2009 pendapatan LSIP adalah sebesar IDR 3.8 triliun; 10 tahun kemudian di tahun 2019, pendapatan LSIP bahkan sedikit turun menjadi IDR 3.7 triliun. Stagnan.
Pendapatan LSIP hampir sebagian besar berasal dari SIMP yang sekaligus merupakan induk perusahaan. Jika melihat dari segi growth perusahaan induk, trend stagnan juga terlihat. Untuk periode lima tahun (2014 – 2019), angka CAGR Pendapatan malah berada di posisi -1.82% – alias pendapatannya turun.
Secara fundamental, LSIP tergolong baik dengan tingkat liabilitas yang kecil, serta hampir tidak memiliki utang yang bersifat pendanaan dari pihak ketiga.
Selain segmen kelapa sawit, perusahaan juga memiliki perkebunan karet dan kakao. Namun keduanya juga memiliki trend pendapatan yang menurun.
Caveat
Bisnis kelapa sawit adalah bisnis yang cukup sulit dijalankan. Selain sangat ditentukan oleh faktor cuaca dan alam, sentimen negatif dari dunia internasional terhadap industri kelapa sawit Indonesia juga memberikan tekanan pada pemain di bisnis ini.
Analisa lebih panjang bisa dibaca di sini.
NISP
NISP adalah salah satu bank swasta tertua di Indonesia. Berdiri pada tahun 1941 dengan nama Belanda, NISP kemudian mengubah nama menjadi Nilai Inti Sari Penyimpan pada tahun 1958. Sejak tahun 1997, NISP bekerjasama dengan OCBC Bank Singapura untuk membentuk bank OCBC Indonesia. Di tahun 2004, OCBC Bank Singapura masuk menjadi pemegang saham dan akhirnya menjadi pemegang saham mayoritas di tahun 2005. OCBC Bank Singapura sendiri adalah salah satu bank terbesar dari segi nilai aset di Asia Tenggara, dan pernah dinobatkan sebagai bank teraman di dunia.
NISP adalah salah satu bank di Indonesia dengan growth yang cukup tinggi. Aset dan Ekuitas, keduanya tumbuh dengan nilai CAGR di atas 10% jangka pendek, dan di atas 15% jangka panjang (bahkan CAGR ekuitas jangka panjang berada di angka 20.93%). Dari segi pendapatan, segmen consumer banking dan treasury masih tumbuh dengan trend CAGR jangka pendek yang cukup tinggi yaitu di angka 18.72% (Consumer Banking) dan 17.34% (Treasury). Segmen Treasury sendiri adalah segmen dengan profitabilitas usaha sebesar 79.65%!
Dari segi rasio-rasio perbankan, NISP terbilang cukup baik. Beberapa rasio yang baik seperti nilai NPL yang bahkan lebih baik dari Bank BNI yang merupakan salah satu dari empat bank umum terbesar di Indonesia. Rasio-rasio lain terbilang cukup bersaing jika dibandingkan dengan bank-bank swasta lainnya, walaupun masih kalah dari empat besar bank umum lainnya.
Rasio yang paling buruk dan harus menjadi perhatian adalah CASA yang cukup rendah. NISP harus bekerja keras meyakinkan nasabah agar mau menyimpan dananya di bank ini.
Efisiensi menjadi salah satu ciri khas NISP. Di saat bank-bank umum lainnya berlomba-lomba menambah jumlah cabang fisik, NISP konsisten menguranginya. Hal ini juga berlaku dari segi jumlah karyawan dan jaringan ATM yang cenderung konsisten berkurang alih-alih bertambah.
Harga saham NISP konsisten dihargai murah oleh pasar karena konsisten tidak memberikan dividen (walaupun di tahun 2018 sempat membagikan saham bonus). Manajemen beralasan bahwa hal ini dilakukan untuk meningkatkan permodalan bank sehingga bisa tumbuh dan naik kelas secara anorganik.
Saat ini harga NISP termasuk undervalue baik dari segi nilai wajar, PER, dan PBV.
Caveat
Untuk tipe investor yang suka menanti-nantikan dividen masuk ke rekening RDN di musim bagi-bagi dividen, mungkin emiten ini bukan merupakan emiten yang cocok untuk Anda.
Analisa yang lebih lengkap tentang NISP ada di sini.
RALS

Membuka gerai pertamanya di Jalan Sabang Jakarta pada tahun 1978, RALS tumbuh menjadi salah satu perusahaan retail fashion dan swalayan terbesar dengan memiliki lebih dari 100 gerai di seluruh Indonesia pada tahun 2020. Namun demikian, pertumbuhan RALS dari banyak segi cenderung stagnan bahkan menurun, walaupun labanya meningkat karena efisiensi.
Dari segi pertumbuhan pendapatan, RALS hanya mencatatkan CAGR sebesar 2.65% jangka panjang. Jangka pendek, bahkan mencatatkan nilai CAGR -0.92%, alias pendapatannya cenderung turun. Walaupun pertumbuhan pendapatan cenderung menurun, namun bukan berarti RALS tidak jago dalam urusan mencetak laba. Pertumbuhan Laba Bersih bahkan mencatatkan pertumbuhan yang cukup baik di mana dalam jangka pendek mencatatkan CAGR sebesar 12.79%. Artinya walaupun pendapatan stagnan, namun RALS mampu meningkatkan profit dengan meningkatkan efisiensi.
Masih dengan pendapatan yang cenderung stagnan (bahkan menurun), dari dua segmen usaha yaitu fashion dan supermarket, segmen terakhir mencatatkan kinerja yang buruk. Dalam jangka pendek, pertumbuhan pendapatan bahkan mencatatkan CAGR negatif yaitu di angka 9.52%. Dari segi kontribusi terhadap total pendapatan, segmen ini secara rata-rata menyumbang sebesar 33% (cukup signifikan). Segmen fashion menunjukkan kinerja lebih baik walaupun cenderung stagnan, dengan CAGR pendapatan jangka pendek di angka 3.37% saja.
RALS termasuk rajin membagikan dividen bahkan dengan yield yang cukup baik (terakhir yield yang diberikan berada di angka sekitar 6%).
Selain itu, RALS rajin melakukan buyback sahamnya sendiri. Di satu sisi, buyback adalah sinyal positif yang menunjukkan keyakinan manajemen akan masa depan perusahaan. Namun di sisi lain, juga bisa menjadi sinyal akan semakin susahnya langkah ekspansi di masa depan, mengingat pertumbuhan bisnis RALS yang cenderung stagnan.
Dari segi valuasi, RALS berada di rentang harga wajarnya, dan secara PBV telah cukup undervalue.
Caveat
RALS saat ini sedang berada di tahapan bisnis sebagai slow growers, di mana pendapatan cenderung stagnan bahkan berkurang. Segmen bisnis swalayan dengan kinerja yang kurang baik harus mendapatkan perhatian serius dari manajemen.
Analisa lebih lengkap ada di artikel ini.
TOTL

PT Total Bangun Persada Tbk (TOTL) adalah salah satu perusahaan konstruksi swasta nasional yang cukup diperhitungkan di industri bangun membangun gedung bertingkat di tanah air.
Perusahaan ini mungkin fokus berbisnis di pembangunan premium-high-rise building alias gedung bertingkat bertipe premium. Pelanggan-pelanggan TOTL umumnya adalah grup-grup konglomerat di Indonesia. Setidaknya nama-nama grup besar seperti Trans Corp, Indofood, Astra, Lippo, dan lain-lain, pernah muncul di laporan-laporan keuangan TOTL sebagai pelanggan.
Secara fundamental, TOTL termasuk baik. Setidaknya dalam 10 tahun terakhir, rasio DAR berada di angka rata-rata sebesar 66.11 %; sedangkan DER berada di rata-rata sebesar 196.62%. Angka-angka DER dan DAR ini jika sekilas memang terlihat tinggi, namun hampir sama dengan rata-rata perusahaan konstruksi lainnya yang bergerak di jasa konstruksi high-rise buildings. Catatan positif lainnya, kebanyakan utang yang tercatat adalah utang-utang yang bersifat operasional, bukan merupakan utang dari aktivitas pendanaan oleh pihak ketiga.
Dari segi growth, selama periode 2009 – 2019 aset tumbuh dengan CAGR sebesar 8.67%. Ekuitas pada periode yang sama juga bertumbuh dengan nilai CAGR sebesar 8.15%. Bisa dibilang TOTL adalah perusahaan dengan tipe slow-growth.
Pertumbuhan dengan akselerasi yang lambat agaknya berkaitan dengan prinsip kehati-hatian yang diterapkan oleh manajemen. Di dalam berbisnis, TOTL menempatkan kualitas (quality), keselamatan (safety), dan kehati-hatian (prudent) sebagai prinsip-prinsip utamanya. TOTL tidak hanya mengejar growth semata, namun memastikan bahwa proyek-proyek yang dikerjakan dapat diselesaikan dengan kualitas yang baik, dengan juga memastikan bahwa pelanggan mampu melakukan pembiayaan dengan baik sehingga proyek yang dikerjakan tidak terhenti di tengah jalan.
Sebagai perusahaan yang bergerak di bisnis usaha jasa konstruksi, terutama untuk pelanggan-pelanggan swasta, kinerja bisnis TOTL cenderung bersifat siklikal. Di situasi pandemi saat ini, tentunya mempengaruhi permintaan di mana banyak pengusaha yang memilih situasi membaik sebelum melakukan ekspansi termasuk membuat gedung baru.
Dari segi valuasi saat ini TOTL berada di bawah rata-rata nilai PBV dan PER nya, namun masih belum terlalu undervalue.
Caveat
Karakteristik pertumbuhan TOTL yang cenderung anorganik mungkin tidak cocok untuk tipe investor yang menyukai gaya manajemen agresif (akusisi, akusisi, dan akusisi).
Analisa lebih lengkap ada di sini.
TOWR

PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) melalui anak usahanya Protelindo saat ini menguasai menara telekomunikasi dengan jumlah lebih dari 28,000 unit, yang menjadikannya salah satu perusahaan penyewaan menara telekomunikasi terbesar di Indonesia.
Sejak didirikan tahun 2008, TOWR tumbuh sangat pesat. Dari tahun 2009 sampai dengan 2019, aset TOWR tumbuh dengan CAGR sebesar 14.94%. Dalam periode yang sama, ekuitas tumbuh lebih agresif dengan nilai CAGR sebesar 22.89%. Total pendapatan tumbuh dengan CAGR sebesar 19.55%, serta laba bersih tumbuh dengan CAGR sebesar 14.8%.
Dari segi profitabilitas, TOWR tercatat memiliki margin usaha yang tinggi. Secara rata-rata, dari tahun 2014 – 2019, TOWR mencatatkan nilai Net Profit Margin (NPM) sebesar 31.15%.
Pertumbuhan TOWR cenderung dilakukan dengan strategi anorganik yaitu melalui pembelian aset langsung dari perusahaan lain, atau melalui akuisisi. Tercatat TOWR pernah melakukan pembelian menara-menara telekomunikasi dari perusahaan-perusahaan operator seperti XL dan Indosat, serta mengakuisisi perusahaan-perusahaan seperti PT iForte Solusi Infotek (iForte), dan PT Komet Infra Nusantara (KIN). Paling anyar, TOWR mengakuisisi PT Solusi Tunas Pratama Tbk (SUPR), di mana dari akusisi tersebut TOWR menguasai aset berupa 6,422 menara SUPR.
TOWR rajin membagikan dividen. Selain itu perusahaan juga beberapa kali telah melakukan buyback saham. Buyback saham adalah sinyal posifit. Namun tetap menyisakan tanda tanya, sebab saat ini nilai utang TOWR cukup besar di mana rata-rata Debt to Equity Ratio (DER) TOWR dari tahun 2014 – 2019 rata-rata berada di angka 175.68%.
Dari segi valuasi, saat ini TOWR sedang berada di area undervalue, namun dengan perhitungan data-data historis yang cukup tinggi (CAGR EPS 14.8%, PER 49.38x, PBV 6.74x). Dari segi nilai PER dan PBV, harga saham TOWR sedang berada di rentang harga wajarnya.
Mengingat growth yang masih cukup tinggi, dan potensi bisnis telekomunikasi di masa depan, investasi di saham TOWR bisa dipertimbangkan untuk investor yang menyukai fast grower company.
Satu hal lagi, perusahaan ini dikendalikan oleh group Djarum. Jadi untuk urusan modal dan GCG, tidak diragukan lagi.
Caveat
Sebagai perusahaan penyedia infrastruktur, TOWR tergolong capital intensive. Selain itu, strategi pertumbuhan anorganik dengan pembiayaan eksternal membuat rasio utang TOWR cenderung tinggi (DER di atas 1x).
Analisa lebih lengkap ada di sini.
UNVR

PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) adalah salah satu perusahaan Fast Moving Consumer Goods (FMCG) terbesar dan tertua di Indonesia. Perusahaan ini membawahi berbagai macam merek produk-produk consumer goods yang cukup melegenda di Indonesia seperti Pepsodent, Lifebuoy, Sunsilk, dan lain-lain.
Dilihat dari fundementalnya, beberapa tahun belakangan ini kinerja UNVR bisa dibilang stagnan, jika tidak bisa dibilang menurun. Pertumbuhan aset, ekuitas, pendapatan, dan laba bersih, kompak menunjukkan trend angka CAGR 5 tahun terakhir yang lebih rendah dari angka CAGR 10 tahunnya. Hal ini menandakan bahwa akhir-akhir ini, laju pertumbuhan UNVR cenderung melambat.
Dari segi utang, rasio-rasio DAR dan DER terlihat cukup besar. Dari periode 2014-2019, DAR secara rata-rata berada di angka 69.89%, sedangkan DER rata-rata di angka 239.18%. Jika ditelaah lebih lanjut, setidaknya hampir 85% liabilitas UNVR adalah liabilitas bersifat jangka pendek. Selain itu, hanya sekitar 22% saja yang berasal dari bank. Itupun tanpa jaminan. Jadi dari segi utang, UNVR tidak ada masalah.
UNVR termasuk emiten yang rajin membagikan dividen, bahkan dengan payout ratio yang sangat besar (mencapai 100% lebih). Hal ini semakin mengukuhkan ciri UNVR sebagai perusahaan yang telah mature, di mana keuntungan yang dihasilkan lebih baik ditransfer ke pemegang saham, sebab potensi untuk melakukan ekspansi sudah terbatas.
Caveat
Sejak 2019, harga saham UNVR terus menunjukkan trend penurunan. Agaknya kinerja UNVR yang melambat beberapa tahun terakhir menyebabkan market menghukum saham UNVR. Dari segi PER dan PBV, harga saham UNVR saat ini telah berada di area undervalue secara historis. Namun hal ini lebih disebabkan oleh tingginya nilai PER dan PBV UNVR di masa lalu. Dengan CAGR laba bersih sedikit di atas 5%, PER 25x pun mungkin masih terlalu tinggi.
Mengingat sifatnya yang slow growth, pertimbangan untuk melakukan investasi di saham UNVR barangkali dari potensi dividennya.
Analisa lebih panjangnya ada di sini.