Cara Menghitung Nilai Intrinsik Saham (ala LynPF)

Di artikel Analisa Saham UNVR, penulis menyampaikan bahwa penulis menggunakan perhitungan nilai wajar saham yang agak berbeda dengan yang biasanya penulis lakukan. Sebelum-sebelumnya, penulis menggunakan perhitungan seperti yang penulis jelaskan di artikel Perhitungan (Sederhana) Nilai Wajar Saham EKAD.

Sebelum mulai, numpang iklan dulu ya! 😀 Barangkali ada yang lagi expecting to have a baby in the near future (selamat ya Moms/Dads), mungkin mau cari-cari ide nama buat adek bayinya, barangkali bisa pake tools teman penulis di nama.bayiunyu.id. 

Kelemahan Perhitungan Sebelumnya

Setelah penulis timbang-timbang, di metode sebelumnya ada dua kelemahan utama sebagai berikut:

  1. Risk Premium yang digunakan terlalu tinggi, di mana pada perhitungan sebelumnya, penulis menjumlahkan Suku Bunga BI dengan nilai yield dari Obligasi Pemerintah 10 Tahun. Seharusnya, risk premium yang digunakan cukup menggunakan nilai yield obligasi pemerintah saja, sebab yield obligasi pemerintah sudah memperhitungkan suku bunga BI, di mana yield-nya berubah-ubah tergantung pada Suku Bunga acuan dari BI.
  2. Total Dividen dimasukkan kembali ke perhitungan harga wajar. Penulis menilai ini adalah sebuah kesalahan, sebab EPS yang diakumulasi sudah termasuk dividen yang dibagikan. Jika, dividen dimasukkan kembali untuk mencari nilai buku tahun ke-x, maka nilai dividen itu terakumulasi dua kali, yang menyebabkan nilai bukunya menjadi terlalu tinggi.

Dalam tulisan kali ini, penulis mengubah perhitungan dengan mempertimbangkan dua kelemahan perhitungan di atas. Untuk menjaga konsistensi dengan perhitungan sebelumnya, penulis juga menggunakan periode waktu 10 tahun.

Asumsi Data UNVR

Sebagai contoh, penulis akan menggunakan data-data UNVR untuk melakukan perhitungan. Data-data di bawah ini penulis ambil dari stockbit, sebagai berikut:

  1. Risk Premium = 6.33%. Penulis menggunakan angka 6.33% yang merupakan suku bunga obligasi AAA periode 10 tahun yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia. Seperti yang telah penulis sampaikan sebelumnya, kita tidak perlu menambahkan komponen suku bunga BI, sebab suku bunga obligasi akan naik turun menyesuaikan suku bunga BI.
  2. Asumsi CAGR EPS = 5%. Penulis menggunakan angka 5%, sebab angka ini sesuai dengan angka pertumbuhan CAGR laba bersih UNVR 5 tahun terakhir. Kita bisa saja menggunakan angka yang lebih konservatif, semisal 3%; jika kita merasa bahwa pertumbuhan UNVR selama 10 tahun ke depan akan lebih rendah dari angka CAGR 5 tahun terakhir. Atau, bisa jadi lebih tinggi, jika kita menilai bahwa UNVR akan mampu meningkatkan pertumbuhan yang lebih baik 10 tahun kedepan.
  3. Book Value Per Share (BVPS), alias Nilai Buku = IDR 129.42. Angka yang penulis gunakan adalah angka tahun 2020 yang bersumber dari Stockbit.
  4. Earning Per Share (EPS) saat ini = IDR 187.77. Angka yang penulis gunakan adalah angka tahun 2020 yang bersumber dari Stockbit.
  5. Dividend Payout Ratio (DPR) = 96.89%. Penulis menggunakan rata-rata DPR 10 tahun terakhir termasuk tahun 2020.
  6. Asumsi nilai Price Earning Ratio (PER) = 43.9x. Penulis menggunakan rata-rata PER UNVR 10 tahun terakhir. Sama seperti asumsi CAGR EPS, kita bisa menggunakan angka yang lebih konservatif (lebih rendah), jika kita percaya bahwa apresiasi pasar akan lebih buruk 10 tahun ke depan. Sebaliknya, jika kita yakin bahwa apresiasi pasar akan lebih baik, maka kita bisa menggunakan asumsi PER yang lebih tinggi.
  7. Asumsi nilai Price to Book Value (PBV) = 48.74. Penulis menggunakan rata-rata PBV UNVR 10 tahun terakhir. Sama seperti PER, kita bisa menyesuaikan lebih rendah atau lebih tinggi tergantung keyakinan kita di masa depan.

Menghitung Nilai Intrinsik

Setelah mengumpulkan data-data dasar yang diperlukan, kita siap untuk melakukan perhitungan nilai intrinsik. Ada tiga pendekatan yang penulis pakai:

  1. Pendekatan Akumulasi EPS Sederhana
  2. Pendekatan dengan Memperhitungkan PER
  3. Pendekatan dengan Memperhitungkan PBV

Perhitungan Nilai Intrinsik dengan Akumulasi EPS Sederhana

Secara singkat, perhitungan dengan pendekatan akumulasi EPS dilakukan dengan memperhitungkan akumulasi EPS selama 10 tahun. Kemudian, nilai akumulasi tersebut ditambahkan dengan nilai BVPS saat ini. Hasil yang didapat, kemudian dikonversi ke nilai sekarang (Net Present Value).

Langkah #1: melakukan akumulasi EPS 10 tahun yang akan datang.

Kita ketahui bahwa nilai EPS saat ini (tahun ke-0) adalah sebesar IDR 187.77.

Maka, EPS tahun ke-1:

= (100% + Asumsi CAGR EPS) x EPS tahun ke-0
= (100% + 5%) x IDR 187.77
= IDR 197.16

Dari perhitungan di atas, kita mendapati bahwa EPS di tahun ke-1 adalah sebesar IDR 197.16. Dengan cara yang sama, kita dapati bahwa EPS tahun ke-2 adalah sebesar IDR 207.02. Demikian seterusnya.

Setelah didapat nilai EPS sampai tahun ke-10, semua nilai EPS itu kemudian dijumlahkan, sehingga total akumulasi EPS menjadi sebesar IDR 2,479.84.

Langkah #2: menghitung nilai BVPS di tahun ke-10

Setelah didapat total akumulasi EPS di tahun ke 10, maka kita dapat menghitung nilai BVPS di tahun ke 10 yaitu sebesar:

= BVPS tahun ke-0 + Akumulasi EPS s/d tahun ke-10
= IDR 129.42 + IDR 2,479.84
= IDR 2,609.26

Langkah #3: menghitung nilai sekarang dari BVPS di tahun ke-10

Dari nilai BVPS di tahun ke-10, kita dapat melakukan perhitungan nilai sekarang dari nilai tersebut dengan cara menghitung konversi nilai sekarang dari tahun ke-9 sampai tahun ke-0.

Di tahun ke-9, nilai BVPS tahun ke-10 akan menjadi sebesar:

= BVPS tahun ke-10 / (1 + Risk Premium)
= IDR 2,609.26 / (1 + 6.33%)
= IDR 2,453.92

Dengan cara yang sama, kita dapat menghitung nilai BVPS di tahun ke-8 yaitu sebesar IDR 2,307. Demikian seterusnya sampai dengan di tahun ke-0 (tahun sekarang), kita akan mendapatkan nilai BVPS sebesar IDR 1,412.40.

Nilai BVPS tahun ke-0 sebesar IDR 1,412.40 ini adalah nilai intrinsik dengan pendekatan akumulasi EPS sederhana. Dengan memperhitungkan Margin of Safety (MoS) sebesar 25%, maka menurut kaidah value investing, kita tidak akan membeli sampai harga sahamnya berada di angka IDR 1,059.30.

Sebagai catatan, perhitungan dengan pendekatan akumulasi EPS sederhana, tidak mempertimbangkan apresiasi pasar. Secara sederhana, pasar mengapresiasi harga saham melalui PER atau PBV. Semakin besar PER atau PBV, umumnya disepakati bahwa harga saham itu relatif lebih mahal dari saham yang PER dan PBV yang lebih kecil.

Dengan mengambil nilai BVPS saja, maka kita menghargai saham UNVR di angka PBV 1x. Secara historis, nilai PBV 1x untuk UNVR cukup sulit diterima. Oleh karena itu, untuk perhitungan berikutnya, kita bisa memasukkan nilai PER dan PBV ke dalam perhitungan.

Perhitungan Nilai Intrinsik dengan Memperhitungkan PER

Secara sederhana, perhitungan nilai intrinsik dengan memperhitungkan PER dilakukan dengan terlebih dahulu menghitung EPS di masa depan misal di tahun ke-10. Setelah itu, kita menghitung harga saham di tahun tersebut dengan menggunakan EPS. Terakhir, kita mencari nilai sekarang (NPV) dari harga di masa depan.

Langkah #1: menghitung EPS di tahun ke-10

Untuk menghitung EPS sampai tahun ke-10, kita lakukan dengan cara yang sama seperti sebelumnya. Dengan mengikuti langkah-langkah di perhitungan sebelumnya, kita mendapatkan angka EPS di tahun ke-10 adalah sebesar IDR 305.86.

Langkah #2: mencari harga di tahun ke-10 menggunakan PER

Dengan menggunakan pendekatan PER (Price Earning Ratio), maka kita dapat menghitung harga saham di tahun ke-10 sebesar:

= PER x EPS di tahun ke-10
= 43.9 x IDR 305.86
= IDR 13.427.15

Langkah #3: mencari nilai sekarang dari harga di tahun ke-10

Sama seperti pada perhitungan sebelumnya, maka kita dapat menghitung nilai sekarang dari harga di tahun ke-10. Dengan mengikuti langkah-langkah di perhitungan sebelumnya untuk tahun ke-9, ke-8, dan seterusnya sampai tahun ke-0, kita dapati harga saham di tahun ke-0 menjadi sebesar IDR 7,268.18.

Dengan mempertimbangkan MoS 25%, maka kita dapat mulai memperhitungkan untuk membeli UNVR di harga IDR 5,451.13.

Pendekatan PER memiliki kelemahan di mana nilai wajar sangat ditentukan oleh asumsi nilai PER yang kita gunakan. PER sangat tergantung dari apresiasi saham dan merupakan sesuatu yang sangat susah (bahkan bisa jadi tidak mungkin) untuk diprediksi.

Untuk menghilangkan komponen emosi dalam melakukan prediksi, penulis lebih suka menggunakan angka historis sebagai acuan awal. Misal dengan mengambil nilai rata-rata PER lima tahun terakhir atau 10 tahun terakhir. Kemudian agar lebih konservatif, bisa juga dengan menggunakan angka yang lebih kecil (misal 75% atau 50% dari nilai rata-rata), tergantung dari seberapa percaya kita bahwa pasar akan menghargai lebih rendah atau lebih tinggi di masa depan.

Perhitungan Nilai Intrinsik dengan Memperhitungkan PBV

PBV (Price to Book Value) dibentuk berdasarkan nilai buku per lembar saham alias Book Value Per Share (BVPS). BVPS sendiri dibentuk dari retained earning alias laba ditahan, alias sisa EPS yang tidak dibagikan sebagai dividen.

Untuk menghitung nilai wajar saham dengan memperhitungkan PBV, maka langkah pertama adalah mencari nilai buku (BVPS) di tahun ke-10. Kemudian, kita mencari harga saham tersebut dengan mengalikan nilai BVPS tersebut dengan PBV. Langkah terakhir adalah mencari nilai sekarang (NPV) dari harga di tahun ke-10 tersebut.

Langkah #1: menghitung akumulasi retained earning sampai tahun ke-10

Untuk mencari akumulasi retained earning, pertama-tama kita harus mencari EPS di tahun tersebut.

Dari perhitungan sebelumnya, kita ketahui bahwa EPS di tahun ke-1 adalah sebesar IDR 197.16. Maka dengan asumsi DPR sebesar 96.89%, maka retained earning tahun ke-1 adalah:

= (100% - 96.89%) x EPS tahun ke-1
= 3.11% x IDR 197.16
= IDR 6.13

Jadi retained earning tahun ke-1 adalah sebesar IDR 6.13.

Dengan cara yang sama, retained earning tahun ke-2 adalah sebesar IDR 6.43, retained earning tahun ke-3 adalah sebesar IDR 6.75, dan seterusnya.

Setelah dilakukan perhitungan sampai tahun ke-10, kita akan mendapatkan nilai akumulasi retained earning selama 10 tahun adalah sebesar IDR 67.55.

Langkah #2: menghitung nilai BVPS di tahun ke-10

Untuk menghitung nilai BVPS di tahun ke-10 cukup mudah. Kita tinggal menambahkan akumulasi retained earning ke nilai BVPS saat ini.

Nilai BVPS di tahun ke-10 adalah:

= Akumulasi retained earning sampai dengan tahun ke-10 + Nilai BPVS saat ini
= IDR 67.55 + IDR 129.42
= IDR 206.47

Langkah #3: mencari harga di tahun ke-10 menggunakan PBV

Setelah kita mendapatkan nilai BVPS di tahun ke-10, maka kita tinggal mengalikan nilai tersebut dengan nilai PBV untuk mendapatkan harga di tahun ke-10.

Maka, harga saham di tahun ke-10:

= BVPS tahun ke-10 x PBV
= IDR 206.47 x 48.74
= IDR 10,063.47

Langkah #4: mencari nilai sekarang dari harga di tahun ke-10

Terakhir, kita tinggal mencari nilai sekarang di tahun ke-10 tersebut, dimulai dari tahun ke-9 sampai tahun ke-0.

Dengan mengikuti cara perhitungan NPV sebelumnya, kita akan mendapati bahwa NPV di tahun ke-9 adalah sebesar IDR 9,464.38, NPV di tahun ke-8 adalah sebesar IDR 8,900.95, dan seterusnya. Sampai kita mendapati bahwa harga saham di tahun ke-0 adalah sebesar IDR 5.447.41.

Dengan mengaplikasikan MoS sebesar 25%, maka saham UNVR bisa mulai diakumulasi di harga IDR 4085.55.

Beli atau Tidak? Analisa dengan Rentang Harga

Sampai saat ini, kita mendapati 3 nilai intrinsik sebagai berikut:

  1. Berdasarkan Akumulasi EPS, dengan nilai intrinsik sebesar IDR 1,059.30.
  2. Berdasarkan pendekatan PER, dengan nilai intrinsik sebesar IDR 5,451.13.
  3. Berdasarkan pendekatan PBV, dengan nilai intrinsik sebesar IDR 4,085.55.

Untuk harga pertama, kemungkinan harga tersebut sudah sangat konservatif. Dengan nilai ROE di atas 100%, mungkin agak susah kita membayangkan harga saham UNVR dijual di harga bukunya, alias dengan PBV 1x.

Mungkin saja terjadi! Namun secara historis kemungkinannya sangat kecil.

Untuk pendekatan PER dan PBV, kita mungkin memiliki keraguan, apakah benar apresiasi di masa depan akan sama dengan nilai historisnya? Untuk lebih mereduksi risiko kesalahan perhitungan, kita dapat membuat perhitungan kedua dengan menggunakan asumsi PER dan PBV yang lebih rendah. Katakanlah 50% dari nilai historis PER atau PBV-nya.

Dengan menggunakan langkah-langkah yang sama dengan yang sudah dijelaskan di atas, dengan asumsi PER dan PBV 50% dari asumsi sebelumnya, maka harga wajar setelah MoS adalah sebesar IDR 2,725.57 dengan pendekatan PER, dan sebesar IDR 2,042.78 dengan pendekatan PBV.

Jika disajikan kembali, maka list harga yang didapat adalah:

  1. Berdasarkan Akumulasi EPS, dengan nilai intrinsik sebesar IDR 1,059.30.
  2. Berdasarkan pendekatan PER, dengan nilai intrinsik berada di rentang harga IDR 5,451.13 – IDR 2,725.57. Mean keduanya berada di harga IDR 4,088.35.
  3. Berdasarkan pendekatan PBV, dengan nilai intrinsik berada di rentang harga IDR 4,085.55 – IDR 2,042.78. Mean keduanya berada di harga IDR 3,064.17.

OK, dengan sekian banyaknya perhitungan, lalu kapan kita mulai membeli saham ini?

Well, menurut penulis kembali kepada style masing-masing investor. Namun penulis bisa menyarankan beberapa tips:

  1. Jika amunisi (alias uang dingin) masih banyak dan perut tidak mual-mual jika saham kita sedang floating loss, maka kita bisa mulai masuk di rentang harga yang paling tinggi – yaitu di harga IDR 5,451.13. Dibarengi dengan money management yang baik, mungkin kita bisa melakukan average down setiap terjadi penurunan misalnya 10%.
  2. Kita juga bisa menunggu di harga yang lebih konservatif, misal menunggu sampai harga mencapai harga wajar terendah baik secara PBV maupun PER. Dengan rentang harga di atas, maka kita bisa saja mulai melakukan pembelian di harga IDR 4,085.55.
  3. Variasi lainnya misalnya dengan menggunakan mean dari rentang harga PER atau PBV, yaitu mulai masuk di harga IDR 4,088.35 atau IDR 3,064.17. Semakin rendah, risiko semakin kecil.
  4. Yang paling aman, tentunya masuk di harga terendah. Tapi, mungkin kita harus sedikit waspada, sebab dengan kecenderungan PER dan PBV yang tinggi, masuk di harga IDR 1,059.30 tentunya bisa jadi disebabkan oleh memang ada something wrong dengan perusahaannya.

Yang Harus Diperhatikan

Beberapa hal yang harus diperhatikan setelah penjelasan panjang lebar di atas:

  1. Sekali lagi perhitungan yang dilakukan di atas adalah perhitungan sederhana. Tentunya untuk para fundamentalis, satu perhitungan saja tidak bisa dijadikan sebagai penentu keputusan untuk membeli atau menjual. Menyelami karateristik perusahaan yang diincar dengan menelaah informasi dari Laporan Keuangan dan Laporan Tahunan adalah sebuah keharusan sebelum membuat keputusan investasi.
  2. Nilai PER dan PBV yang penulis gunakan, adalah berdasarkan nilai historis. Tujuannya adalah untuk menghilangkan faktor emosi, sebab kita tidak pernah tahu apakah pasar akan mengapresiasi saham kita dengan PER dan PBV yang lebih tinggi di masa depan atau tidak. Apakah kita bisa menggunakan asumsi yang berbeda? Tentu saja bisa! Untuk para investor yang memiliki pengetahuan yang sangat baik dengan industri di mana perusahaan tersebut berusaha, mungkin akan bisa memberikan forward looking assessment yang lebih baik, sehingga bisa digunakan sebagai acuan untuk menghitung PER dan PBV yang berbeda dengan nilai historisnya.
  3. Kelemahan dari perhitungan ini adalah tidak dapat digunakan untuk industri yang bersifat siklikal. Jadi untuk emiten-emiten batu bara atau kelapa sawit, kita tidak dapat menghitung nilai wajarnya dengan cara di atas sebab laju pertumbuhannya tidak konstan dan tergantung dari harga komoditasnya.
  4. Walaupun sederhana, namun menurut hemat penulis masih lebih baik daripada tidak ada acuan sama sekali. Melakukan keputusan investasi tanpa mengetahui harga wajar saham yang mau kita pakai sebagai instrumen investasi, sama saja dengan berjudi.
  5. Last but not least, perhitungan di atas adalah perhitungan ala LynPF – alias perhitungan yang penulis buat sendiri. Sangat-sangat mungkin apa yang penulis jabarkan di atas SALAH SEMUA. Penulis menyarankan pembaca untuk menjadikannya sebagai referensi saja, dan tidak menjadikan sebagai satu-satunya bahan evaluasi.

Demikian, semoga bermanfaat!

Analisa Saham Unilever Indonesia (UNVR)

PT Unilever Indonesia (UNVR) awalnya didirikan dengan nama Lever’s Zeepfabrieken N.V pada tanggal 5 Desember 1933. Perusahaan ini adalah salah satu perusahaan yang cukup dihormati di Indonesia.

UNVR bergerak di bidang Fast Moving Consumer Goods (FMCG) atau barang-barang konsumen. Unilever menaungi merek-merek pemimpin pasar seperti Pepsodent, Lifebuoy, Axe, Sariwangi, Kecap Bango, dan lain-lain.

Beberapa tahun terakhir, Unilever tumbuh melambat, yang direspon oleh pasar dengan penurunan harga saham sejak tahun 2019.

Logo Unilever
Sebelum mulai, numpang iklan dulu ya! 😀 Barangkali ada yang lagi expecting to have a baby in the near future (selamat ya Moms/Dads), mungkin mau cari-cari ide nama buat adek bayinya, barangkali bisa pake tools teman penulis di nama.bayiunyu.id. 

Analisa Fundamental

Balance Sheet

Aset UNVR menunjukkan pertumbuhan yang melambat. CAGR Total Aset untuk periode 10 tahun sampai dengan 2019 berada di angka 10.68%. Naik dari sebesar IDR 7.4 triliun di tahun 2009, menjadi sebesar IDR 20.6 triliun di tahun 2019. Sedangkan untuk periode yang lebih pendek yaitu 5 tahun sampai dengan tahun 2019, angka CAGR adalah sebesar 7.65%.

Angka pertumbuhan ekuitas malah jauh lebih kecil, dan juga cenderung melambat. CAGR ekuitas untuk periode 10 tahun sampai tahun 2019 berada di angka sebesar 3.6% saja. Sedangkan CAGR periode 5 tahun hanya berada di angka 2.81%.

Rendahnya pertumbuhan ekuitas agaknya tidak terlepas dari kebiasaan UNVR untuk membagi hampir keseluruhan keuntungan usahanya dalam bentuk dividen. Penulis membahas ini lebih lanjut di bawah.

Pertumbuhan Aset, Ekuitas, dan Liabilitas UNVR
Pertumbuhan Aset, Ekuitas, dan Liabilitas UNVR

Dari segi Liabilitas, sekilas terlihat bahwa UNVR memiliki tingkat liabilitas yang sangat besar. Debt to Asset Ratio (DAR), dalam 10 tahun terakhir sampai tahun 2019, secara rata-rata berada di angka 67.06%. Ini pun dengan trend yang meningkat. Pada akhir tahun 2009, DAR UNVR berada di angka 52.24%. Di tahun 2019, angka ini naik menjadi 74.42%.

Debt to Equity Ratio (DER), bahkan menunjukkan ratio yang lebih tinggi. Secara rata-rata dalam periode yang sama, nilai DER UNVR berada di angka 212.18%. Juga dengan trend yang meningkat, DER UNVR tahun 2009 yang berada di angka 109.37%, di tahun 2019 telah naik menjadi 290.95%.

Apakah nilai DER yang tinggi dan cenderung naik ini adalah hal yang buruk? Belum tentu.

Komponen Liabilitas UNVR lebih didominasi oleh Liabilitas Jangka Pendek, ketimbang Liabilitas Jangka Panjang. Sebagai perbandingan, untuk tahun 2019, Liabilitas Jangka Panjang hanya berkontribusi sebesar 14.98% terhadap Total Liabilitas. Akun ini pun jika ditinjau lebih detail, tidak ada yang berupa utang yang bersumber dari pendanaan pihak ketiga (utang bank, obligasi, dan lain-lain).

OK. Liabilitas Jangka Panjang, aman! Lalu bagaimana dengan jangka pendek?

Komponen terbesar Liabilitas Jangka Pendek UNVR setidaknya ada dua: Utang Bank Jangka Pendek, dan Utang Usaha Pihak Ketiga.

Utang Usaha Pihak Ketiga berasal dari kegiatan-kegiatan pembelian bahan baku, bahan pembantu, dan barang jadi. Jumlahnya pun setidaknya dalam 5 tahun terakhir, cenderung stagnan. Berhubung kita tidak pernah mendengar ada supplier UNVR yang sampai tidak dibayar, akun ini seharusnya tidak perlu dikhawatirkan.

Utang Usaha Pihak Ketiga UNVR

Lalu bagaimana dengan Utang Bank Jangka Pendek? Sekilas jika dilihat, trend-nya terlihat meningkat. Namun demikian, menurut Laporan Keuangan UNVR, Utang Bank Jangka Pendek perusahaan umumnya merupakan fasilitas pinjaman tanpa jaminan untuk keperluan modal kerja. Adanya kepercayaan dari berbagai bank yang memberikan fasilitas justru seharusnya menjadi indikator yang positif akan kemampuan UNVR sebagai penghasil kas yang baik dalam jangka pendek. Otherwise, bank-bank tersebut tentu akan meminta jaminan.

Utang Bank Jangka Pendek UNVR

Secara umum, DAR dan DER UNVR memang tinggi, namun lebih disebabkan oleh tingginya modal kerja yang diperlukan UNVR dalam kegiatan produksinya. Sebagai produsen FMCG (Fast Moving Consumer Goods), perputaran arus kas yang baik justru menyebabkan banyak bank berbondong-bondong menawarkan fasilitas pinjaman bagi perusahaan bahkan tanpa jaminan. Bagi UNVR, hal ini tentunya adalah hal yang baik, sebab perusahaan dapat membagi risiko usaha dengan bank-bank tersebut.

Income Statement

Total Pendapatan menunjukkan trend pertumbuhan yang menurun. Di tahun 2009, total pendapatan UNVR adalah sebesar IDR 18.2 triliun. Angka ini tumbuh menjadi sebesar IDR 42.9 triliun di tahun 2019, yang mencerminkan CAGR sebesar 8.93%. Angka CAGR untuk jangka waktu yang lebih pendek (5 tahun dari 2014), rupanya menunjukkan angka yang lebih rendah, yaitu berada di angka 4.46%. Jadi bisa dikatakan pertumbuhan pendapatan UNVR cenderung melambat.

Pendapatan, Laba Kotor, Laba Usaha and Laba Bersih UNVR

Trend perlambatan UNVR lebih mudah diamati dengan menganalisa persentase kenaikan pendapatan setiap tahunnya jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dalam tabel, angka-angka tersebut diperlihatkan di bawah ini.

+/- Pertumbuhan Pendapatan dan Laba UNVR

Jika dituangkan ke dalam sebuah grafik, terlihat jelas bahwa pertumbuhan pendapatan dan laba UNVR cenderung melambat.

+/- Pendapatan dan Laba UNVR dalam Chart
+/- Pendapatan dan Laba UNVR dalam Chart

Terjadinya lonjakan Laba Usaha dan Laba Bersih di tahun 2018 disebabkan oleh adanya keuntungan penjualan aset-aset bisnis spreads (di antaranya merek Blue Band) kepada pihak ketiga.

Penghasilan lain-lain terutama merupakan keuntungan dari penjualan hak untuk mendistribusikan produk Spreads yang menggunakan merek dagang global, merek dagang lokal, dan daftar pelanggan di Indonesia, serta aset takberwujud lainnya kepada PT Upfield Consulting Indonesia sebesar Rp 2.662.540.

UNVR, Laporan Keuangan Tahun 2018

Dari segi margin usaha, kinerja UNVR termasuk baik, namun stagnan. Angka Gross Profit Margin, Operating Profit Margin, dan Net Profit Margin, secara rata-rata dalam sepuluh tahun terakhir sampai dengan tahun 2019, masing-masing berada di angka 51.02%, 23.54%, dan 17.47%.

GPM, OPM, dan NPM UNVR

Cashflow

Arus Kas UNVR secara umum juga menunjukkan trend pertumbuhan yang melambat.

Operating Cashflow dalam 10 tahun terakhir sampai tahun 2019, menunjukan pertumbuhan dengan CAGR sebesar 10.2%. Sedangkan dalam jangka waktu yang lebih pendek (5 tahun sampai 2019), CAGR berada di angka yang lebih rendah yaitu di angka 6.03%.

Free Cashflow juga menunjukkan trend yang sama. CAGR 10 tahun Free Cashflow berada di angka 10.85%, lebih tinggi dari CAGR 5 tahun yang berada di angka 6.02%.

Operating Cashflow dan Free Cashflow UNVR
Operating Cashflow dan Free Cashflow UNVR

Bagaimana dengan efektifitas utang jangka pendek yang dibahas sebelumnya?

Dengan melakukan analisa Operating Cashflow tahun 2019, kita tahu bahwa UNVR berhasil menghasilkan arus kas masuk dari pelanggan sebesar hampir IDR 46.65 triliun. Sedangkan uang kas yang digunakan untuk membayar beban keuangan untuk menghasilkan uang kas sebesar 46 triliun tadi hanya sebesar IDR 230 miliar saja – atau hanya sebesar 0.49% saja – alias sangat-sangat murah.

Analisa Kualitatif

Informasi Segmen

UNVR membagi usahanya ke dalam dua segmen bisnis utama yaitu segmen Home and Personal Care (HPC), dan segmen Foods and Refreshment (FR).

Segmen Home and Personal Care mewadahi merek-merek terkenal seperti Rinso, Sunlight, Molto, Super Pell, Vixal, Wipol, etc, untuk kategori Home Care. Selain itu, terdapat juga merek-merek seperti Axe, Citra, Lux, Pepsodent, Closeup, Pond’s, Dove, Rexona, Sunsilk, Vaseline, Zwitsal, Lifebuoy, etc.

Segmen Foods and Refreshment (FR) tidak kalah mentereng, membawahi merek-merek seperti Bango, Paddle Pop, Buavita, Royco, Sariwangi, Magnum, etc.

Secara subyektif, menurut penulis, merek-merek di atas adalah merek-merek dengan consumer awareness yang kuat. Setidaknya, jika kita mendengar namanya di telinga, kita tahu produk apakah itu dan gunanya buat apa. Sebagian besar di antaranya adalah pemimpin pasar di kategorinya masing-masing.

Kinerja

Secara rata-rata dalam periode lima tahun terakhir, segmen HPC berkontribusi lebih besar daripada segmen FR dengan perbandingan sebesar 69.1% berbanding 30.9%.

Dari segi pertumbuhan, kedua segmen konsisten menunjukkan penurunan. Segmen HPC, untuk periode 10 tahun sampai dengan 2019, berada di angka 7.95%. Angka ini turun ke angka 3.92% untuk periode lima tahunnya yang mengisyaratkan terjadinya penurunan pertumbuhan revenue.

Kondisi yang sama juga terjadi pada segmen FR. Segmen ini menghasilkan CAGR sepuluh tahun sebesar 11.64%, lebih tinggi dari periode lima tahunnya yang berada di angka 5.74%.

Trend yang menurun untuk kedua segmen ini terlihat jelas jika digambarkan ke dalam bentuk diagram seperti di bawah ini.

Grafik Pertumbuhan Pendapatan Antar Segmen UNVR (2009 – 2019)

Diagram di atas, dibuat berdasarkan data yang penulis ambil dari laporan-laporan tahunan UNVR yang dapat disajikan dalam tabel seperti di bawah ini.

Tabel Pendapatan Antar Segmen UNVR (2009 - 2019)
Tabel Pendapatan Antar Segmen UNVR (2009 – 2019)

Pemasaran

Unilever bisa dibilang surganya professional marketer. Ada banyak brand di bawah naungan nama besar Unilever. Sebagian besar merupakan pemimpin pasar.

Hampir setiap hari di jam-jam premier kita melihat iklan-iklan Unilever wara-wiri di televisi. Bahkan dengan jargon-jargon dan tagline yang tidak asing di telinga.

Mungkin Anda pernah mendengar pesan tentang pentingnya cuci tangan karena kampanye iklan Lifebuoy? Atau tagline “Mari Ngeteh Mari Bicara” dari Sariwangi? Keduanya hanyalah sebagian kecil dari kesuksesan kampanye pemasaran Unilever.

Dengan demikian masifnya iklan Unilever di jam-jam tayang premier televisi Indonesia, seberapa efektifkah kampanye yang dilakukan Unilever tersebut?

Tentunya diperlukan analisa yang cukup mendalam untuk bisa menentukan efektif tidaknya. Penulis berusaha melakukan analisa sederhana berdasarkan data-data yang disajikan dalam Laporan Keuangan.

Ada dua akun terkait kegiatan pemasaran yang cukup besar tercatat sebagai Beban yaitu Beban Iklan dan Riset Pasar, dan Beban Promosi.

Iklan dan Riset Pasar adalah kegiatan-kegiatan pemasaran untuk membangun merek. Umumnya kegiatan ini bersifat jangka panjang, sebab dibutuhkan usaha yang bersifat terus-menerus dan konsisten untuk membangun sebuah citra merek yang kuat.

Sedangkan promosi lebih bersifat jangka pendek, misalnya dengan menawarkan diskon, contoh produk, dan lainnya. Umumnya, promosi terkait langsung dengan kinerja penjualan jangka pendek.

Dilihat dari CAGR-nya, akun Iklan dan Riset Pasar dalam periode sepuluh tahun sampai 2019 memiliki CAGR sebesar 4.35%. Sedangkan dalam jangka pendek angka ini turun, bahkan minus menjadi -3.28%. Jadi dalam lima tahun terakhir, alih-alih menaikkan budget untuk beriklan, UNVR memilih untuk menghemat pos tersebut.

Kira-kira kenapa ya?

Dugaan penulis ada beberapa hal. Yang pertama tentunya keyakinan manajemen bahwa merek-merek UNVR telah memiliki citra yang kuat, dengan kesadaran konsumen yang baik. Contohlah merek-merek seperti Rinso, Pepsodent, Axe, Kecap Bango, Buavita, dan Sariwangi.

Yang kedua, mungkin terjadi peralihan channel. Di jaman media sosial sekarang ini, kampanye di kanal-kanal sosmed bisa menjadi alternatif yang baik (dan lebih murah?) untuk menarget konsumen dengan lebih personal dan segmented, ketimbang kampanye broadcast melalui media konvensional seperti televisi.

Promosi justru menunjukkan trend berbeda. Angka CAGR akun ini untuk periode sepuluh tahun dan lima tahun hanya naik tipis, yaitu dari angka 10.42% menjadi 11.15%.

Dugaan penulis, hal ini dilakukan untuk menaklukkan pesaing dan menjaga stabilitas penjualan. Ketatnya persaingan di bisnis FMCG membuat pemain di industri ini bergantung pada kegiatan-kegiatan promosi agar produknya tetap relevan.

Salah satu contoh kegiatan promosi yang dilakukan UNVR misalnya mengadakan Festival Jajanan Bango yang rutin diadakan setiap tahunnya.

Jika digabungkan kedua akun ini memiliki angka CAGR sebesar 6.45% untuk periode sepuluh tahunnya. Angka ini turun menjadi 1.37% untuk CAGR periode lima tahunnya.

Jika dihubungkan dengan penjualan di mana angka penjualan menunjukkan trend CAGR menurun, mungkin saja disebabkan oleh menurunnya budget pemasaran secara umum.

Pesaing

Sektor consumer adalah salah satu sektor dengan jumlah pemain yang sangat banyak. Besarnya jumlah penduduk Indonesia tentunya menjadi daya tarik luar biasa. Merek-merek yang mampu menjadi pemimpin pasar di sektor ini dapat menikmati pertumbuhan jangka panjang yang baik, dengan margin profitabilitas yang baik pula.

Pesaing UNVR tentunya tidak hanya satu dan tergantung dari segmen produknya. Penulis berusaha menyebutkan beberapa saja yang menarik perhatian penulis. Menariknya, semua perusahaan yang disebutkan bukan merupakan perusahaan terbuka sehingga sulit mengukur kinerjanya.

Wings Group

Mendengar nama Wings, penulis teringat dengan produk lawas mereka yaitu Wings Biru (yang ternyata masih ada sampai sekarang). Produk-produk Wings yang menjadi pesaing UNVR di antaranya adalah Daia dan So Klin untuk produk deterjen.

Orang Tua Group

Mendengar nama Orang Tua, mungkin yang terbayang adalah produk anggur kolesom cap Orang Tua. Ternyata OT Group memiliki banyak portofolio merek, namun sebagian besar adalah produk-produk makanan dan minuman.

Persaingan dengan UNVR sendiri salah satunya adalah pada merek pasta dan sikat gigi serta penyegar mulut, di mana OT memproduksi produk-produk di segmen ini dengan merek Formula.

P&G

Procter and Gamble (P&G) adalah perusahaan multinasional yang berbasis di Amerika Serikat. Perusahaan ini mungkin adalah salah satu penantang paling serius UNVR terutama di sektor Shampoo. Unilever merupakan pemilik produk Sunsilk, Dove, dan yang paling anyar Tresemme. Sedangkan P&G menantang Unilever dengan merek Head & Shoulder, Rejoice, dan Pantene.

Selain itu, P&G juga menjadi merupakan pemilik merek Oral-B sebagai penantang Pepsodent.

Reckitt

Reckitt adalah perusahaan yang berbasis di Inggris. Perusahaan ini adalah penantang Unilever di segmen sabun mandi. Unilever dengan merek Lifebouy, sedangkan Reckitt adalah pemilik merek Dettol.

Campina

Campina adalah produsen es krim dalam negeri yang dikendalikan oleh keluarga Sabana Prawirawidjaja – pemilik Ultrajaya. Campina adalah penantang UNVR di segmen es krim di mana UNVR merupakan pemilik brand Walls.

Manajemen

Selayaknya perusahaan multinasional lainnya dengan induk perusahaan di luar negeri, manajemen UNVR semuanya diisi oleh orang-orang dalam yang telah bergabung puluhan tahun dengan perusahaan. Saat ini posisi President Director dipimpin oleh Ira Noviarti profesional berkebangsaan Indonesia, setelah sebelumnya dipimpin oleh Hemant Bakshi yang saat ini menjadi Komisaris Utama perusahaan.

Penulis hanya bisa menduga-duga bahwa selain karena pengalamannya menduduki berbagai posisi manajemen senior di Unilever Indonesia dan global, keputusan penunjukan Ira Noviarti mungkin juga untuk memberikan flavour ke-Indonesiaan-an dalam keputusan bisnis Unilever di Indonesia. Dengan semakin ketatnya persaingan terutama oleh perusahaan-perusahaan di dalam negeri, pemahaman terhadap karakter orang Indonesia tentunya menjadi penting jika UNVR ingin mempertahankan kinerjanya di Indonesia.

Dividen

UNVR adalah salah satu emiten yang rajin membagikan dividen. Setiap tahun perusahaan ini tidak pernah absen membagikan dividen, bahkan dua kali dalam setahun.

Dari tahun 2008 – 2020, Dividend Payout Ratio yang dibayarkan UNVR mencapai angka rata-rata sebesar 93.95%. Namun secara yield tidak terlalu menarik, sebab hanya berada di kisaran 2% saja disebabkan oleh mahalnya harga saham UNVR.

Dengan trend penurunan harga saham UNVR saat ini tentunya menjadi salah satu game changer sebab semakin turun harga, maka dividend yield menjadi semakin baik. Di harga saat artikel ini ditulis (IDR 4,220), dengan asumsi pembayaran dividen seperti tahun 2020, maka dividend yield yang ditawarkan UNVR saat ini adalah sebesar 4.6%. Berhubung tahun 2020, kinerja UNVR masih dipengaruhi oleh pandemi, maka setelah pandemi tentunya cukup realistis untuk memprediksi angka dividend yield yang lebih tinggi lagi.

Akuisisi

Sebagai perusahaan global dengan kekuatan finansial yang sangat besar, salah satu strategi Unilever global untuk mempertahankan pertumbuhannya adalah dengan melakukan akuisisi. Unilever gencar mengakuisisi merek-merek baik global maupun lokal, kemudian menjual produk-produk tersebut dengan cakupan pasar yang lebih luas.

Di dalam negeri UNVR melakukan akuisisi merek Sariwangi di tahun 1989, Bango di tahun 2001, dan Buavita pada tahun 2008. Kesemuanya menurut penulis adalah contoh akuisisi yang sukses, sebab semuanya menjadi pemimpin pasar di segmennya masing-masing.

Untuk akuisisi merek global yang cukup sukses dipasarkan di Indonesia, yang terbaru menurut penulis adalah Tresemme. Merek perawatan rambut asal Amerika Serikat ini diakuisisi oleh Unilever di tahun 2010. Saat ini Tresemme menjadi salah satu produk perawatan rambut yang cukup dikenal di Indonesia.

Sampai saat ini, Unilever global tetap gencar melakukan akuisisi. Yang terbaru adalah akusisi merek Paula’s Choice.

Menurut penulis, sudah saatnya Unilever mempertimbangkan akuisisi merek-merek asli Indonesia lainnya. Dan jika itu terjadi, mungkin akan menjadi game changer lain harga saham Unilever.

Valuasi

Nilai Intrinsik

Untuk perhitungan nilai intrinsik, penulis melakukan sedikit perbaikan dari cara perhitungan sebelumnya. Cara perhitungan yang baru akan penulis jelaskan di artikel yang lain. Secara singkat, perhitungan nilai intrinsik dilakukan dengan menggunakan pendekatan estimasi pertumbuhan EPS selama 5 dan 10 tahun ke depan, serta memperhitungkan ekspektasi nilai PER dan PBV dalam periode tersebut.

Penulis menggunakan asumsi CAGR sebesar 5%, PER 28x, dan PBV 26x.

Untuk periode lima tahun, dengan menggunakan pendekatan PER, penulis mendapati bahwa harga wajar UNVR akan berada di rentang harga IDR 4,305 (optimistik) dan IDR 2,436 (pesimistik). Nilai pesimistik didapat dengan memasukkan setengah dari asumsi PER dan PBV yang dipakai. Sehingga secara rata-rata, nilai intriksik UNVR berada di angka IDR 3,371. Perhitungan ini sudah dengan margin of safety sebesar 25%. Sedangkan dengan pendekatan PBV, penulis mendapati harga intrinsik di rentang IDR 3,375 sampai dengan IDR 1,971. Rata-rata dividend yield yang didapat jika masuk di harga optimistik adalah sebesar 3.52%.

Dengan metode dan asumsi data yang sama, untuk periode 10 tahun, dengan pendekatan PER penulis mendapati bahwa nilai intrinsik UNVR berada di rentang IDR 3,317 – IDR 2,665. Sedangkan dengan pendekatan PBV, nilai intrinsik akan berada di rentang IDR 2,920 – IDR 1,815. Rata-rata dividend yield yang didapat jika masuk di harga optimistik adalah sebesar 3.58%.

Untuk berada di harga intrinsik yang lebih tinggi, UNVR harus meningkatkan kinerjanya dan memproduksi growth dengan CAGR di atas 5%.

PER

Dengan trend penurunan harga saham UNVR yang masih terus terjadi saat artikel ini ditulis, justru menawarkan kesempatan bagi investor untuk membeli saham UNVR. Saat ini UNVR berada di angka PER sebesar 24.43x yang merupakan angka yang bahkan lebih rendah dari -2 standar deviasi 10 tahun terakhir.

PER UNVR 10 Tahun Terakhir

PBV

Dari segi PBV juga menunjukkan trend yang sama. Di harga saat ini, UNVR berada di angka PBV 40.11x yang merupakan nilai yang lebih rendah dari rata-rata sepuluh tahunnya. UNVR bahkan sempat menyentuh angka PBV sampai 28x.

PBV UNVR 10 Tahun Terakhir

Kesimpulan

Ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil setelah analisa di atas:

  1. UNVR adalah perusahaan yang baik. Perusahaan ini menaungi berbagai merek-merek terkenal di sektor FMCG, di mana sebagian besar di antaranya adalah pemimpin pasar.
  2. Pertumbuhan Aset dan Ekuitas UNVR cenderung melambat di mana CAGR 10 tahunnya lebih besar dari CAGR 5 tahunnya. Pertumbuhan pendapatan juga menunjukkan trend yang sama.
  3. Dari segi utang, perusahaan memiliki nilai DER yang tinggi. Hal ini terutama disebabkan oleh tingginya utang jangka pendek. Walaupun tinggi, namun utang jangka pendek ini terutama merupakan fasilitas yang diberikan bank tanpa jaminan. Hal ini menjadi sinyal positif atas kemampuan perusahaan menghasilkan arus kas.
  4. Profit margin UNVR berada di angka yang baik namun cenderung stagnan.
  5. UNVR adalah pembayar dividen yang royal bahkan dua kali dalam setahun. Sebelumnya, UNVR secara rata-rata memberikan dividend yield yang kecil yaitu sekitar 2% saja.
  6. UNVR saat ini berada di bawah rata-rata nilai PER dan PBV-nya dalam sepuluh tahun terakhir. Khusus untuk PER, nilai PER saat ini telah mencapai area di bawah -2 standar deviasinya, yang menunjukkan harga yang murah.
  7. Manajemen UNVR umumnya diisi oleh para profesional yang telah meniti karir cukup lama di UNVR. Saat ini posisi Presiden Direktur dipegang oleh orang Indonesia, menjadi sinyal positif bagi pemahaman pasar dalam negeri.

Jadi apakah UNVR layak untuk dikoleksi ke dalam portfolio?

UNVR adalah perusahaan yang baik, bahkan merupakan salah satu perusahaan yang disegani di Indonesia. Hanya saja beberapa tahun belakangan ini, perusahaan mengalami perlambatan. Dengan rate pertumbuhannya saat ini, bisa dikatakan UNVR berada di kategori slow growth.

Namun demikian, trend harga saat ini menawarkan kesempatan bagi investor retail untuk mengkoleksi saham ini ke dalam portfolio. Secara pribadi, penulis mempertimbangkan untuk mulai melakukan akumulasi di harga IDR 4,300. Di harga sekarang, dividend yield yang ditawarkan sudah cukup menarik. Dengan asumsi dividend sama seperti tahun 2020, yaitu sebesar IDR 197, memberikan dividend yield sebesar 4.5% – setara deposito saat tulisan ini dibuat.

Asumsi CAGR 5% penulis merasa sudah cukup konservatif. Kita berharap pandemi Covid-19 segera berakhir. Dan penulis yakin, jika pandemi selesai, sektor FMCG akan bergairah kembali.

Demikian semoga bermanfaat!

Analisa Saham PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP)

PT PP London Sumatra Indonesia Tbk, yang dikenal sebagai “Lonsum”, didirikan pada tahun 1906 pada saat Harrisons & Crosfield Plc, perusahaan perdagangan dan perkebunan yang berbasis di London, Inggris, memulai lahan perkebunan pertamanya di Indonesia berlokasi dekat kota Medan, Sumatera Utara.

Pada tahun 2007, Indofood Agri Resources Ltd. (IndoAgri) melalui entitas anaknya PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) mengakuisisi dan menjadi pemegang saham utama Lonsum. Sejak akuisisi tersebut, Lonsum menjadi bagian dari Grup PT Indofood Sukses Makmur Tbk (Indofood) serta bersinergi dengan perusahaan-perusahaan lainnya dalam Grup Indofood.

Sebagai salah satu perusahaan perkebunan terkemuka di Indonesia, apakah LSIP layak untuk dijadikan sebagai portfolio investasi?

PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP)
PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP)
Sebelum mulai, numpang iklan dulu ya! 😀 Barangkali ada yang lagi expecting to have a baby in the near future (selamat ya Moms/Dads), mungkin mau cari-cari ide nama buat adek bayinya, barangkali bisa pake tools teman penulis di nama.bayiunyu.id. 

Analisa Fundamental

LSIP adalah perusahaan perkebunan dengan hasil produksi utama kelapa sawit. Oleh karena itu, naik-turunnya performa perusahaan sedikit banyak ditentukan oleh naik turunnya harga minyak kelapa sawit (CPO).

Grafik berikut ini menunjukkan trend harga minyak kelapa sawit (CPO) dari pertengahan 2005 sampai dengan awal 2021.

Harga CPO pertengahan 2005 sampai dengan awal 2021
Harga CPO pertengahan 2005 sampai dengan awal 2021

Balance Sheet

Yang paling penting, tentunya tingkat utang emiten. Untuk LSIP, tingkat utang sangat aman. Sejak tahun 2010, perusahaan tercatat tidak pernah berutang jangka panjang terutama dari bank.

Akun-akun liabilitas jangka panjang umumnya berasal dari Liabilitas Pajak, serta Liabilitas Imbalan Kerja. Jumlahnya pun masih berada pada tingkatan yang cukup aman.

Secara umum Debt to Equity Ratio (DER) dan Debt to Asset Ratio (DAR) berada di angka yang aman. Rata-rata 10 tahun dan 5 tahun DER adalah sebesar 23.81% dan 21.021%. Sedangkan rata-rata 10 tahun dan 5 tahun DAR berada di angka 18.83% dan 17.35%.

DER dan DAR LSIP 10Y dan 5Y
DER dan DAR LSIP 10Y dan 5Y

Yang menjadi catatan adalah dari sisi growth alias pertumbuhan. Secara CAGR, pertumbuhan aset LSIP selama 10 tahun (2009 – 2019) “hanya” berada di angka 7.74% saja. Sedangkan jika dianalisa dengan periode yang lebih pendek yaitu dari tahun 2014 – 2019, angka CAGR pertumbuhan asetnya menjadi “hanya” sebesar 3.39% saja.

Pertumbuhan ekuitas juga menunjukkan trend yang kurang lebih sama, di mana CAGR 10 tahun ekuitas pada periode 2009 – 2019 berada di angka 8.35%, sedangkan CAGR 5 tahun ekuitas pada periode 2014 – 2019 berada di angka 3.32%.

Pertumbuhan Aset dan Ekuitas LSIP (2008 – 2020)

Income Statement

Dari segi pendapatan, selayaknya perusahaan siklikal, LSIP memiliki pertumbuhan pendapatan naik turun. Untuk tahun-tahun yang baik, seperti tahun 2010, 2011, 2014, dan 2017, LSIP mampu menunjukkan pertumbuhan dari tahun sebelumnya, sedangkan di tahun-tahun lainnya menunjukkan penurunan.

Dalam periode 10 tahun – dari tahun 2009 sampai dengan 2019 – Pendapatan LSIP bisa dibilang tidak ke mana-mana. Di tahun 2009, pendapatan LSIP adalah sebesar IDR 3.8 triliun, sedangkan di tahun 2019, angka ini malah turun menjadi hampir sebesar IDR 3.7 triliun.

Gambar di bawah ini menyajikan Pendapatan, Laba Kotor, Laba Usaha, dan Laba Bersih LSIP dari periode 2008 – 2020. Dapat kita amati bahwa dalam periode tersebut, pendapatan LSIP cenderung di situ-situ saja, dengan trend pertumbuhan meningkat di tahun-tahun tertentu di mana harga CPO sedang naik.

Pendapatan, Gross Profit, Operating Profit, dan Net Profit LSIP (2008 – 2020)

Pengaruh siklus industri CPO mungkin lebih terlihat jelas jika kita menganalisa naik-turunnya pendapatan, seperti terlihat pada grafik di bawah ini. Bisa dilihat bahwa untuk tahun-tahun yang baik, pertumbuhannya positif.

Pertumbuhan Pendapatan dan margin-margin usaha LSIP (2008 – 2020)

Yang menarik justru pada tahun 2020.

Kita tahu di tahun 2020 pendapatan LSIP turun, yaitu dari angka IDR 3.7 triliun di tahun 2019 menjadi IDR 3.5 triliun di tahun 2020. Namun demikian, profit margin justru mengalami kenaikan signifikan. Di tahun 2020, Gross Profit Margin perusahaan meningkat dari angka 15.19% di tahun 2019 menjadi 30.42%. Pun demikian halnya dengan Net Profit Margin yang meningkat signifikan dari hanya sebesar 6.84% menjadi 19.65% di tahun 2020.

Meningkatnya angka profit margin tersebut, menurut analisa penulis tidak lain disebabkan oleh meningkatnya harga CPO, di mana di tahun 2020, harga CPO terus menguat sejak awal Mei 2020, sampai sempat menyentuh harga tertinggi sebesar 4,500 MYR di pertengahan Mei 2021.

Secara rata-rata margin usaha LSIP bisa dibilang cukup baik. Dari tahun 2008 – 2020, Gross Profit Margin rata-rata berada di angka 34.06%; Operating Profit Margin di angka 25.48%; dan Net Profit Margin di angka 19.76%. Namun demikian, setidaknya dari tahun 2015, angka GPM dan OPM LSIP tidak pernah berada di atas angka rata-ratanya. Pun demikian halnya dengan NPM sejak tahun 2013. Artinya, angka yang baik tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh kinerja masa lalu.

Dengan periode analisa yang lebih pendek, rata-rata GPM, OPM, dan NPM LSIP ternyata lebih rendah yaitu masing-masing berada di angka 23.96%, 16.19%, dan 13.24%.

Gross Profit Margin, Operating Profit Margin, dan Net Profit Margin LSIP (2008 - 2020)
Gross Profit Margin, Operating Profit Margin, dan Net Profit Margin LSIP (2008 – 2020)

Cashflow

Cashflow LSIP secara umum baik. Operating Cashflow dari tahun ke tahun tetap positif, dengan kecenderungan naik-turun mengikuti trend harga CPO. Misalnya pada tahun 2019, harga CPO yang rendah agaknya berimpas pada menurunnya pendapatan, yang secara tidak langsung mempengaruhi Operating Cashflow.

Capex secara umum digunakan untuk penambahan aset tetap serta investasi pada entitas asosiasi.

Operating Casflow vs Capex LSIP

Analisa Kualitatif

Segmen Usaha

LSIP membagi usahanya ke dalam tiga segmen usaha yaitu Produk Kelapa Sawit, Karet, Benih, dan Usaha Lainnya.

Secara rata-rata, segmen Produk Kelapa Sawit merupakan penyumbang pendapatan terbesar. Selama 12 tahun sampai dengan tahun 2019, segmen Produk Kelapa Sawit memberikan kontribusi sebesar rata-rata 86.29%. Dalam lima tahun terakhir sampai 2019, angka ini meningkat tipis menjadi 91.32%. Artinya, dalam lima tahun terakhir, kontribusi pendapatan terhadap pendapatan meningkat.

Namun harus diingat, yang meningkat adalah kontribusi segmen terhadap Total Pendapatan. Secara kuantitas, pendapatan segmen ini memiliki trend naik-turun mengikuti harga acuan industri.

Pendapatan Segmen Kelapa Sawit LSIP 2008 - 2019
Pendapatan Segmen Kelapa Sawit LSIP 2008 – 2019

Segmen Karet memiliki trend sebaliknya. Dalam periode 12 tahun terakhir sampai tahun 2019, segmen ini rata-rata berkontribusi sebesar 8.69%. Dalam lima tahun sampai 2019, angka ini turun menjadi sebesar 5.37%.

Segmen Benih, memiliki trend kontribusi yang sama, di mana kontribusi rata-rata 12 tahunnya lebih tinggi daripada rata-rata 5 tahunnya, yaitu masing-masing di angka 3.60% dan 1.89%.

Secara kuantitas, Segmen Karet dan Benih sama-sama mengalami trend menurun. Segmen Karet, mengalami trend penurunan semenjak tahun 2011 (di angka IDR 595 miliar), turun menjadi hanya sebesar IDR 184 miliar saja. Trend yang sama terjadi pada segmen benih sejak tahun 2012. Di tahun tersebut segmen ini berkontribusi sebesar hampir IDR 274 miliar, turun menjadi hanya sebesar IDR 45 miliar saja di tahun 2019.

Pendapatan LSIP di Segmen Karet, Benih, dan Lainnya 2008 - 2019
Pendapatan LSIP di Segmen Karet, Benih, dan Lainnya 2008 – 2019

Volume Produksi

Menganalisa volume produksi dalam jangka panjang (masih sampai tahun 2019), penulis mendapati hasil yang hampir sama. Pertumbuhannya stagnan, atau kalaupun naik – tidak signifikan.

Hal ini kita bisa amati di produksi Tandan Buah Segar. Total produksi Tandan Buah Segar (Total TBS) mengalami kenaikan dari tahun 2010. Namun setelahnya, produksi Total TBS naik-turun dan terkesan di situ-situ saja. Di tahun 2010, total produksi TBS mendekati angka 1.6 juta ton kemudian naik turun mencapai puncaknya di angka 2.1 juta ton di tahun 2015. Di tahun 2019, angka ini turun menjadi sebesar 1.7 juta ton.

Pun demikian halnya dengan TBS Inti, walapun cenderung lebih konsisten meningkat, namun menunjukkan pertumbuhan yang lambat. Di tahun 2006, total produksi TBS Inti adalah sebesar 1 juta ton. Di tahun 2019, angka ini naik mencapai hampir 1.46 juta ton (CAGR = 2.77%).

Produksi Total TBS dan TBS Inti LSIP 2006 - 2019
Produksi Total TBS dan TBS Inti LSIP 2006 – 2019

Produksi CPO dan Inti Sawit juga menunjukkan trend yang serupa seperti terlihat di chart di bawah ini.

Produksi CPO dan Inti Sawit LSIP 2006 - 2018
Produksi CPO dan Inti Sawit LSIP 2006 – 2018

Sampai saat ini, penulis berkesimpulan bahwa walaupun berfluktuasi, namun produksi produk-produk CPO LSIP secara umum meningkat, namun dalam trend yang lambat – bahkan cenderung stagnan.

Trend menurun justru ditunjukkan oleh segmen selain Kelapa Sawit, terutama produksi karet.

Semenjak tahun 2007, produksi Karet LSIP cenderung menurun. Di tahun 2007, total produksi berada di angka 31 ribu ton, sedangkan di tahun 2019 menjadi hanya sebesar 8 ribu ton saja.

Total Produksi LSIP untuk Segmen Karet, Kakao, dan Teh 2006 - 2018
Total Produksi LSIP untuk Segmen Karet, Kakao, dan Teh 2006 – 2018

Tabel total produksi per-segmen beserta CAGR-nya ditunjukkan pada table berikut.

Total Produksi Per Segmen LSIP
Total Produksi Per Segmen LSIP

Walaupun tidak signifikan, namun trend produksi yang menurun tentunya harus menjadi catatan. Apakah segmen yang menurun ini disebabkan oleh trend industri yang juga menurun terutama di segmen Karet? Ataukah mungkin perusahaan menganggap segmen ini tidak lagi menarik, sehingga tidak “serius” digarap?

Kinerja Sang Induk SIMP

Sampai sejauh ini, kita tahu bahwa lebih dari 90% Total Pendapatan LSIP didapat dari segmen Produk Kelapa Sawit. Kita juga tahu bahwa pertumbuhan di segmen ini cenderung stagnan, baik dari segi nilai Pendapatan maupun Volume Produksi.

Dari Annual Report (AR) LSIP tahun 2020, perusahaan menginformasikan bahwa hampir 90% dari Produk Kelapa Sawit dijual kepada PT Salim Invomas Pratama (SIMP).

Sekitar 96% dari total volume penjualan CPO dijual ke PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP), entitas induk Lonsum. Semua transaksi penjualan dengan SIMP dilaksanakan berdasarkan syarat dan ketentuan komersial yang wajar.

LSIP, AR 2020

Oleh karena itu, untuk mengetahui bagaimana potensi pertumbuhan LSIP ke depannya, perlu juga diketahui bagaimanakah kinerja SIMP selaku “konsumen” utama LSIP.

Dalam waktu sepuluh tahun terakhir sampai dengan tahun 2019, Total Pendapatan SIMP memiliki trend yang meningkat, namun lambat. Angka CAGR Pendapatan pada periode 2009 – 2019, hanya sebesar 4.21% saja. Untuk periode lima tahun (2014 – 2019), angka CAGR Pendapatan malah berada di posisi -1.82% – alias pendapatannya turun.

SIMP membagi usahanya ke dalam dua segmen, yaitu segmen Perkebunan, serta segmen Minyak dan Lemak Nabati. Melihat data 10 tahun (2009 – 2019) ternyata didapat trend yang sama. Segmen Perkebunan hanya mampu tumbuh dengan CAGR 1.99%, sedangkan segmen Minyak dan Lemak Nabati hanya mampu tumbuh dengan angka CAGR sebesar 2.41% saja.

CAGR periode 5 tahun (2014 – 2019) pun tidak lebih baik. Pertumbuhan segmen Perkebunan bahkan menurun yaitu dengan CAGR sebesar -4.2%, sedangkan segmen Minyak dan Lemak Nabati cenderung stagnan dengan CAGR hanya sebesar 0.87% saja.

Apa yang Terjadi?

Terus terang penulis tidak tahu dan tidak berusaha mencari tahu lebih dalam.

Namun dengan mengamati beberapa fakta bahwa:

  1. Pertumbuhan LSIP cenderung stagnan,
  2. Pertumbuhan sang induk SIMP sebagai konsumen utama produksi LSIP yang juga stagnan,
  3. LSIP dan SIMP adalah perusahaan yang tergabung dalam kelompok usaha Indofood, sehingga kemampuan manajemen seharusnya tidak perlu diragukan,

Penulis memiliki beberapa hipotesis bahwa:

  1. Memang pasar produk-produk CPO sudah stagnan (dalam dan luar negeri),
  2. CPO adalah salah satu industri yang cukup sulit dikelola dengan prediktabilitas yang baik – alias bisnis ini ribet. Bahkan mungkin lebih ribet dari bisnis energi seperti batubara.

Untuk hipotesis pertama, sentimen negatif industri CPO terkait dengan sustainability dan implikasi negatifnya pada lingkungan – bisa jadi adalah salah satu faktor.

Hipotesis kedua, didasari oleh keyakinan bahwa dengan manajemen group sekelas Indofood, pertumbuhan pendapatan yang cenderung stagnan bisa jadi karena industri ini adalah industri yang cukup sulit untuk dikelola.

Sebagai perbandingan, PTBA yang sama-sama perusahaan komoditas dapat menghasilkan pertumbuhan pendapatan yang cukup tinggi. Tentunya mengolah batubara yang sudah ada di alam dan tinggal diambil, berbeda pengelolaannya dibandingkan dengan kelapa sawit yang harus ditanam terlebih dahulu, serta perkembangannya sampai panen sangat tergantung dari alam.

Dividen

LSIP adalah salah satu emiten di BEI yang rajin membagikan dividen. Untuk tahun 2020 sendiri, LSIP membagikan dividen sebesar IDR 15. Angka ini mencerminkan Dividend Payout Ratio sebesar 40.3%.

Dividen LSIP (sumber: stockbit)
Dividen LSIP (sumber: stockbit)

Dari segi Dividend Yield, LSIP pernah mencapai angka yield yang cukup baik, yaitu di angka >6% di medio tahun 2013. Namun beberapa tahun belakangan, Dividend Yield LSIP cenderung minim, yaitu berada di bawah 2%.

Analisa Valuasi

Nilai Intrinsik

Penulis tidak dapat menghitung nilai intrinsik LSIP dengan menggunakan metode yang penulis gunakan untuk menghitung nilai intrinsik saham EKAD. Hal ini disebabkan oleh angka CAGR EPS LSIP dalam 10 tahun menunjukkan angka negatif.

PER

Melihat chart PER LSIP di stockbit, penulis agak kesulitan menentukan apakah PER saat ini murah atau tidak. Hal ini karena angka PER LSIP di sekitaran tahun 2019 sampai 2020 melonjak sangat tinggi, diakibatkan oleh saking rendahnya EPS LSIP saat itu. Lonjakan angka PER ini mendistorsi angka mean standar deviasi PER LSIP.

PER LSIP 10 tahun terakhir
PER LSIP 10 tahun terakhir

PBV

Chart PBV agaknya lebih bersahabat untuk diamati. Secara rata-rata, PBV LSIP berada di angka 1.68x. Dengan angka PBV saat ini yang berada di angka 1.25x, secara relatif LSIP saat ini dihargai lebih murah oleh pasar.

PBV LSIP 10 tahun terakhir
PBV LSIP 10 tahun terakhir

Kesimpulan

Ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari analisa sederhana di atas:

  1. Secara fundamental, LSIP adalah perusahaan yang sehat. Angka DER dan DAR dalam jangka 10 tahun maupun 5 tahun terakhir menunjukkan angka yang baik.
  2. Aset dan Ekuitas bertumbuh, namun laju pertumbuhan 5 tahunnya lebih kecil dari 10 tahun. Artinya beberapa tahun belakangan, LSIP tumbuh melambat.
  3. Pendapatan juga menunjukkan pertumbuhan yang lambat dan cenderung stagnan. Bahkan untuk segmen selain kelapa sawit, cenderung menunjukkan penurunan kinerja.
  4. Margin usaha cenderung naik-turun mengikuti harga CPO. Untuk tahun-tahun yang baik di mana harga CPO naik, angka-angka margin profitabilitas relatif lebih tinggi.
  5. Pertumbuhan yang cenderung stagnan bisa jadi disebabkan oleh permintaan pasar yang stagnan – baik untuk produk jadi, dan komoditas. Selain itu, bisa jadi industri kelapa sawit (dan komoditas perkebunan yang lain) adalah salah satu industri yang cukup challenging untuk dikelola.
  6. LSIP termasuk emiten yang rajin membagikan dividen. Saat ini Dividend Yield yang ditawarkan cenderung kecil – yaitu di angka 1.4% saja. Namun di masa lalu, LSIP dapat menawarkan Dividend Yield bahkan di atas 6%.
  7. Dari segi valuasi sederhana, analisa PBV paling mungkin digunakan. Menghitung nilai intrinsik menggunakan estimasi pertumbuhan EPS tidak dapat dilakukan, karena trend pertumbuhan EPS LSIP negatif. Demikian juga analisa PER, yang agak sulit dilakukan sebab PER medio 2019 – 2020 terlalu tinggi sehingga menimbulkan distoris pada angka mean standar deviasi PER-nya.

Apakah LSIP layak di-invest?

Tidak diragukan bahwa LSIP memiliki underlying fundamental yang cukup baik (utang sedikit, dan margin usaha yang baik). Hanya saja, secara pribadi penulis akan cenderung memilih skip dan mencari peluang di emiten yang lain saja, dengan beberapa alasan:

  1. Pendapatan stagnan, bahkan untuk segmen non-CPO cenderung turun.
  2. Bisnis CPO agaknya adalah salah satu bisnis yang susah dimengerti. Pendapatan dan margin menunjukkan trend naik-turun sesuai harga CPO di pasar. Volume produksi menunjukkan trend naik-turun yang mungkin sangat dipengaruhi oleh faktor alam.

I try to buy stock in businesses that are so wonderful that an idiot can run them. Because sooner or later, one will.

Never invest in a business you cannot understand.

Warren Buffet

Tentunya analisa sederhana ini tidak dapat dijadikan acuan untuk menentukan baik-buruknya saham LSIP.

Ada beberapa sentimen positif yang tidak penulis bahas, seperti program biodiesel yang dicanangkan pemerintah yang diharapkan dapat menyerap produksi CPO dalam negeri. Selain itu, sikap negara-negara Uni Eropa terhadap produk CPO Indonesia juga perlu dianalisa lebih jauh apakah memiliki dampat negatif yang signifikan bagi perusahaan-perusahaan CPO di Indonesia.

Faktor-faktor eksternal ini justru semakin menunjukkan betapa rumitnya untuk berinvestasi di sektor yang satu ini.

Demikian, semoga bermanfaat!

LynPF Two Minutes Drill ala Peter Lynch

Untuk para fans Om Peter Lynch, mungkin tidak asing dengan metode two minutes drill.

Peter Lynch sit down
Om Peter Lynch. Source: Googling.

Singkatnya menurut Om Lynch, sebelum membeli suatu saham, kita harus bisa melakukan monolog selama dua menit yang dapat menceritakan bagaimana sebuah perusahaan yang kita akan beli sahamnya bisa sukses, serta apa saja yang dapat menghalangi perusahaan untuk mencapai kesuksesan itu. Kalau bisa menceritakannya pada orang lain seperti keluarga, teman, bahkan anak-anak; maka kita bisa yakin bahwa kita tahu apa yang kita beli,

Berikut ini adalah beberapa saham yang penulis coba untuk membuat ringkasannya. Lebih tepatnya sih, berupa rangkuman dari artikel aslinya.

Selain itu untuk semua saham, penulis coba untuk memberikan rating. Bukan berarti satu perusahaan lebih baik dari yang lainnya, tetapi lebih kepada penilaian subyektif penulis mengenai apakah saham tersebut cukup menarik untuk dikoleksi atau tidak.

Sekali lagi, penilaiannya bersifat subyektif. Jadi tidak ada metode tertentu untuk melakukan scoring. Karena subyektif, Anda tentu sangat boleh untuk tidak setuju! 🙂

Saham yang dibahas, tidak mencerminkan portfolio manapun, termasuk milik penulis.

Sebelum mulai, numpang iklan dulu ya! 😀 Barangkali ada yang lagi expecting to have a baby in the near future (selamat ya Moms/Dads), mungkin mau cari-cari ide nama buat adek bayinya, barangkali bisa pake tools teman penulis di nama.bayiunyu.id. 

Summary

Kode SahamRating
HMSP
ULTJ
SIDO
IFII
MLBI
PTBA
PWON
Summary Rating

HMSP

Logo HMSP
Logo HMSP

PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) adalah salah satu produsen rokok terbesar di Indonesia. HMSP adalah pemegang merek Sampoerna, Dji Sam Soe, serta pemegang hak distribusi rokok Marlboro di Indonesia.

Dari segi fundamental, karakteristik HMSP sebagai pemimpin pasar jelas terlihat di mana perusahaan nyaris tidak memiliki utang.

Perusahaan juga bertipe cash-rich. Setidaknya di Q1 2021, nilai Cash per Share HMSP adalah sebesar IDR 120.54 yang meredengan nilai Book Value per Share sebesar IDR 282.40. Jadi sebesar 42.55% nilai sahamnya berupa uang cash.

Dari segi growth sayangnya tidak terlalu baik. CAGR Pendapatan dari tahun 2014 – 2019 hanya sebesar 5.06%. Hampir sama dengan CAGR Laba bersih yang berada di angka 5.92%.

Tahun 2020 agaknya menjadi tahun yang kurang baik bagi HMSP. Selain terjadinya penurunan pendapatan karena pandemi, perusahaan juga mengalami penurunan profit margin imbas dari kenaikan tarif cukai. Pendapatan perusahaan sebesar IDR 94.2 triliun, turun dari tahun sebelumnya sebesar IDR 106 triliun. Pun demikian halnya dengan profit margin. Gross Profit Margin turun menjadi “hanya” sebesar 20.23%, anjlok dari rata-rata 5 tahun sebelumnya yang berada di angka 25%.

Harga HMSP konsisten turun dari tahun 2019. Hal ini agaknya disebabkan oleh sentimen sunset industry bagi industri rokok. Hal ini justru memberikan kesempatan bagi investor untuk membeli saham HMSP di harga murah.

Ketika artikel ini ditulis, harga sama ada di angka IDR 1,210. Jika dibeli sekarang, ketika pandemi berakhir, dan dengan asumsi pembagian dividen sama yang sama seperti tahun 2020, maka Dividend Yield yang ditawarkan cukup menarik, yaitu di angka 9.83%.

Untuk sentimen sunset industri sendiri, ada beberapa catatan mengapa hal ini tidak mudah terjadi di HMSP. Pertama, HMSP terlalu penting bagi Phillip Morris. Kedua, kontribusi cukai tembakau bagi pendapatan negara masih cukup besar. Belum lagi jumlah peningkatan jumlah pengangguran kalau perusahaan rokok pada tutup.

Cukai boleh naik terus. Tapi membunuh industri rokok akan sama dengan menghilangkan sumber pendapatan negara. Mungkin itu pula sebabnya sehingga Indonesia belum menandatangani FCTC.

Phillip Morris sendiri telah mengubah visinya untuk menjadi yang terdepan di dalam mentransformasi industri rokok menjadi industri bebas asap rokok. Terdengar absurd kan? Namun faktanya, PMI habis-habisan melakukan R&D untuk produk IQOS – rokok elektronik bebas asap pembakaran miliknya.

Ke depannya, agaknya kesuksesan PMI melakukan transformasi industri akan menjadi penentu apakah industri tembakau benar-benar sunset atau tidak.

Caveat

Turunnya harga saham HMSP, menawarkan Dividend Yield yang menarik di harga saat ini. Kekuatan modal investor untuk mengoleksi di harga bawah menjadi kunci. Tentunya dibarengi risiko menangkap pisau jatuh. Tidak ada yang tahu seberapa dalam harga akan jatuh.

Transformasi industri tembakau oleh PMI agaknya masih akan menemui jalan panjang dan penuh tantangan. PMI sendiri mengakui bahwa tidak ada yang bisa menjamin mereka akan sukses melakukannya.

Satu lagi.

Saat ini, dengan tidak ditandatanganinya FCTC oleh pemerintah Indonesia, maka industri rokok dalam negeri bisa dikatakan “aman” dari sunset. Namun jika pemerintah berganti di tahun 2024, tidak ada yang bisa menjamin apa yang akan terjadi kemudian.

Analisa saham HMSP, pernah penulis ulas di sini.

Verdict:

ULTJ

Logo ULTJ

ULTJ adalah pemimpin pasar produk susu UHT.

Perusahaan ini adalah salah satu cash-rich company. Sampai dengan tahun 2019, perusahaan nyaris tidak memiliki utang.

Perusahaan ini memiliki growth yang baik. Selama 10 tahun sampai tahun 2019, perusahaan mampu mencapai pertumbuhan pendapatan sebesar 14.48%.

CAGR Laba Bersih bahkan sangat baik, yaitu sebesar 32.59% dalam periode yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan tidak hanya mampu meningkatkan pendapatannya, tapi juga mampu meningkatkan efisiensinya secara bersamaan.

Profitabilitas perusahaan juga cukup baik. Selama 10 tahun hingga tahun 2019, rata-rata GPM berada di angka 31.08%; OPM sebesar 20.26; NPM sebesar 10.38%.

Perusahaan ini dikelola oleh keluarga pendiri dan saat ini dikelola oleh generasi kedua dan ketiga. Sang CEO sekaligus PSP – Sabana Prawirawidjaja – rajin membeli saham perusahaan yang mencerminkan keyakinan pemilik akan masa depan perusahaan.

Perusahaan melakukan strategi fokus dalam menjalankan usaha, di mana produk yang dikembangkan umumnya bertipe UHT dan olahan susu.

Secara supply chain, perusahaan mengendalikan sebagian dari bahan baku (susu sapi) melalui peternakan-peternakan yang dikelola perusahaan, atau melalui kerjasama dengan para peternak. Selain itu, perusahaan juga mengelola rantai distribusi sendiri. Kendali yang kuat terhadap supply chain, bisa jadi merupakan kunci peningkatan efisiensi perusahaan setiap tahunnya.

Di tahun 2020, perusahaan mengeluarkan surat utang jangka menengah sebesar 3 triliun. Menurut perusahaan hal ini dilakukan untuk menjaga likuiditas perusahaan dan ekspansi seperti penambahan fasilitas produksi termasuk peternakan. Kemungkinan perusahaan sengaja mencari dana murah di tengah turunnya tingkat suku bunga akibat resesi.

Secara valuasi nilai intrinsik, perusahaan berada di harga wajarnya dengan nilai PER 15x. Namun untuk perusahaan consumer goods, nilai PER termasuk rendah. PER ULTJ, sangat mungkin naik jika perusahaan konsisten menjaga pertumbuhan, melakukan efisiensi, dan meningkatkan nilai dividen.

Caveat

ULTJ termasuk emiten pelit dividen. Tahun 2020, DPR ULTJ hanya sebesar 13%, dengan Dividend Yield hanya sebesar 0.8%. Sebagai perusahaan dengan aset kas yang besar, dividend yield yang kecil seringkali menimbulkan pertanyaan apakah PSP “bermain” dan menyalurkan kas perusahaan yang besar ke kantong sendiri.

Analisa saham ULTJ, pernah penulis ulas di sini.

Verdict:

SIDO

Logo SIDO
Logo SIDO

Sidomuncul (SIDO) adalah salah satu contoh usaha keluarga yang sukses. Dengan produk andalan berupa jamu tradisional dengan merek Tolak Angin, SIDO sukses menjadi salah satu produsen produk jamu herbal terkemuka di Indonesia.

Secara umum, SIDO adalah perusahaan dengan fundamental baik. Perusahaan ini nyaris tidak memiliki utang jangka panjang yang berasal dari pendanaan eksternal dan bank.

Aset dan ekuitas setiap tahun bertumbuh namun dengan growth yang cukup lambat (CAGR 3.87% dan 2.97% masing-masing).

CAGR pendapatan dalam periode 2012 – 2020 termasuk biasa-biasa saja yaitu hanya sebesar 4.47%. Namun demikian, tiga tahun terakhir yaitu tahun 2018-2020, pendapatan SIDO tumbuh sebesar 7.34%, 11%, dan 8.74% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Dari segi profitabilitas, SIDO termasuk sangat baik dan menunjukkan peningkatan. Di tahun 2020, Gross Profit Margin berada di angka 55.14% (naik dari 38.50% di tahun 2012), dan Net Profit Margin berada di angka 28.01% (naik dari 17.12% di tahun 2012).

Beberapa tahun belakangan, SIDO mulai melakukan ekspansi ke luar negeri, yaitu ke Filipina dan Nigeria. Untuk memuluskan agenda ekspansi di luar negeri, SIDO menggandeng Affinity Equity Partners yang pada tahun 2020 mengakuisisi saham SIDO sebanyak 21%. Strategi ekspansi ini tentunya menjadi sinyal positif untuk pertumbuhan SIDO di masa depan.

SIDO termasuk emiten yang rajin membagikan dividen dan dengan yield yang cukup menarik. Dividend Yield SIDO berada di rentang 3% – 6%, bahkan sempat mencapai 8%.

Caveat

SIDO termasuk barang MAHAL. PER dan PBV SIDO konsisten berada di atas standar deviasinya untuk periode 3, 5, dan 10 tahun terakhir. Dengan growth “hanya” sebesar 9% (rata-rata tiga tahun terakhir), PER 22x dan PBV 7.3x sepertinya harga yang cukup premium. Penganut aliran Quality Investing bisa jadi tidak setuju.

Analisa saham SIDO, pernah penulis ulas di sini.

Verdict:

IFII

Logo IFII
Logo IFII

IFII berdiri tahun 2007 adalah perusahaan produsen produk-produk olahan kayu yaitu Medium Density Board (MDF) dan Plywood.

Perusahaan ini adalah anak usaha group Adrindo yang merupakan PSP emiten SMSM, perusahaan produsen filter merk Sakura (suku cadang mobil / otomotif).

Tingkat utang IFII sangat kecil, terutama utang jangka panjang. Menurut LK Q1 2021, perusahaan tidak memiliki utang jangka panjang yang berasal dari pendanaan pihak ketiga, atau bank.

Profit margin termasuk baik, di mana rasio Gross Margin berada di angka 28.2%, Net Profit Margin berada di angka 10.7% (per akhir tahun 2020). Sebagai perusahaan yang sedang bertumbuh, angka ini termasuk baik.

Produk MDF merupakan penyumbang pendapatan terbesar saat ini terutama dari hasil ekspor ke Jepang. Selain itu perusahaan juga mengekspor produk-produknya ke negara-negara Timur Tengah. Ekspor MDF berkontribusi sebesar hampir 56% dari total pendapatan.

Pada tahun 2020, tiga perusahaan Jepang ikut bergabung sebagai pemegang saham. Mereka adalah SMB Kenzai Co Ltd, Noda Corporation dan Ishinomaki Plywood Mfg Ltd dengan total kepemilikan gabungan sebesar 32.44%. Kehadiran ketiga pemegang saham asal Jepang ini tentunya mempermudah akses ke pasar Jepang.

Pada tahun 2021, perusahaan berencana menambah fasilitas produksi MDF serta fasilitas pendukungnya. Menurut keterbukaan informasi yang disampaikan ke BEI, aksi korporasi ini akan menghabiskan dana investasi sebesar sebanyak-banyaknya IDR 650 miliar, di mana sekitar IDR 450 miliar pendanaan berasal dari bank.

Valuasi IFII saat ini berada di angka PER 18x dan PBV sebesar 1.31x. Sebagai perbandingan, SMSM dihargai investor sebesar 3x.

Saat ini, IFII termasuk saham yang tidak likuid dengan nilai transaksi per hari rata-rata hanya sekitar IDR 100 jutaan. Sepinya jumlah transaksi harian, berarti IFII rawan digoreng bandar. Namun di sisi lain, belum banyaknya big fund yang melirik berarti IFII berpotensi multi-bagger di masa depan.

Caveat

IFII baru beroperasi selama kurang lebih 14 tahun, jadi ibarat manusia, masih “belum cukup umur”. Selain itu, peminatnya masih sedikit, sehingga rentan digoreng bandar.

Rencana ekspansi dengan sumber pendanaan pihak ketiga akan membebani keuangan perusahaan setidaknya selama lima tahun ke depan.

Analisa saham SIDO, pernah penulis ulas di sini.

Verdict:

MLBI

Logo MLBI
Logo MLBI

MLBI adalah pemimpin pasar produk bir di Indonesia. Bir Bintang dan Bir Guiness adalah dua merek yang sangat dikenal dan merupakan pemimpin pasar di segmennya masing-masing. Merek Bir Bintang dimiliki oleh perusahaan. Sedangkan untuk Bir Hitam Guiness, perusahaan memiliki hak eksklusif untuk memasarkannya di Indonesia.

PSP MLBI adalah Heineken B.V, sebuah perusahaan multinasional pemilik merek Bir Heineken. Manajemen perusahaan ini tentu tidak perlu diragukan lagi, sebab sepenuhnya dikelola oleh profesional.

Layaknya perusahaan pemimpin pasar, MLBI profit margin yang baik. Gross Profit Margin (GPM) di tahun 2019 berada di angka 61.75%; sedangkan Operating Profit Margin (OPM) berada di angka 32.50%. Tingginya kedua margin tersebut merupakan bukti kesuksesan manajemen melakukan efisiensi, sebab 15 tahun sebelumnya di tahun 2004, angka GPM dan OPM masing-masing ada di angka 43.22% dan 12.24%.

Pendapatan MLBI terus naik dari tahun ke tahun. Namun, pertumbuhan dalam 5 tahun (CAGR=2.19%) lebih kecil ketimbang periode 10 tahun (CAGR=8.67%) – alias pertumbuhannya melambat. Trend yang sama juga terjadi pada pertumbuhan aset perusahaan.

Dari sisi utang, perusahaan ini bebas utang jangka panjang terutama yang berasal dari bank. Jadi bisa dikatakan fundamental sangat solid.

Produk minuman beralkohol masih merupakan penyumbang pendapatan terbesar perusahaan, di mana segmen ini menyumbang sebesar 91.17% pendapatan di tahun 2019. Selain Bir Bintang, penjualan Bir Hitam Guiness ternyata juga memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi pendapatan perusahaan – yaitu sebesar rata-rata 13.82%.

Secara geografis, Bali menyumbang hampir 25.51% pendapatan di tahun 2019 melalui distribusi yang dilakukan oleh PT Bintang Bali Indah (anak perusahaan). Adanya pandemi Covid-19 yang memukul pariwisata di Bali tentunya berdampak sangat signifikan, di mana pendapatan turun dari sebesar IDR 3.7 triliun di tahun 2019, menjadi IDR 1.9 triliun di tahun 2020 (-46.51%).

Pandemi menciptakan kesempatan bagi investor retail untuk serok bawah di angka PBV 10.82x, yang mana merupakan angka yang bahkan lebih rendah dari mean PBV perusahaan ini dalam 10 tahun terakhir. Jika pandemi berakhir, MLBI sangat berpotensi turn-around dan menawarkan profit yang menarik – terutama untuk para dividend hunter.

Caveat

MLBI adalah tipe perusahaan yang sudah mature – artinya pertumbuhannya telah mengalami perlambatan. Untuk tipe growth investor, berinvestasi di perusahaan ini dalam jangka panjang mungkin bukan pilihan yang menarik.

Analisa saham MLBI, pernah penulis ulas di sini.

Verdict:

PTBA

Logo PTBA
Logo PTBA

PT Tambang Bukit Asam Tbk (PTBA) adalah salah satu perusahaan pertambangan batubara tertua di Indonesia. PTBA memiliki peran penting dalam penyediaan energi di Indonesia, hampir setengah dari produksi batubaranya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri, terutama penyediaan batubara bagi PLN dan Indonesia Power.

Fundamental keuangan termasuk baik. Aset dan Ekuitas tumbuh dengan CAGR sebesar 14.12% dan 14.69% dari tahun 2008 – 2019.

Perusahaan nyaris tidak memiliki utang jangka panjang yang bersumber dari pendanaan pihak ketiga. Hanya saja Imbalan Pasca Kerja jangka panjang yang mencapai 11.08% dari total aset perlu tetap diperhatikan pengelolaannya.

Sebagai perusahaan siklikal, pendapatan PTBA dipengaruhi oleh naik-turunnya harga batubara. Dalam rentang tahun 2008 – 2019, PTBA “hanya” mengalami penurunan pendapatan di tahun 2010, 2013, dan 2020. Tahun 2020, tentunya secara umum disebabkan oleh pandemi.

Selain itu, pengaruh siklus harga batubara juga dapat dilihat dari besar-kecilnya margin profitabilitas. Untuk tahun-tahun yang baik, PTBA secara umum mencatatkan margin profit yang lebih besar dari rata-rata.

CAGR pendapatan dari 2008 – 2019 adalah sebesar 10.57%. Margin profitabilitas pun cukup baik. Nilai GPM, OPM, dan NPM rata-rata di periode yang sama masing-masing berada di angka 39.34%, 26.07%, dan 21.06%. Sebagai perusahaan price taker, margin profitabilitas perusahaan termasuk sangat baik.

Dari segi segmen, PTBA membagi pendapatannya dari sumber domestik dan ekspor. Pendapatan domestik berkontribusi sebesar 59.15% dari total pendapatan. Selain itu, pendapatan PTBA juga dipengaruhi oleh kebijakan DMO di mana produsen batubara wajib menjual sebanyak 25% dari total produksinya guna pemenuhan kebutuhan dalam negeri.

Trend pemanfaatan green energy, secara umum memberikan sentimen negatif bagi industri batubara. Di Indonesia sendiri, pemerintah telah menetapkan bauran energi batubara menjadi hanya sebesar 30% di tahun 2030, dan lebih turun lagi ke angka 25% di tahun 2050. Namun agaknya implementasi di Indonesia seperti masih jauh panggang dari api. Sampai akhir tahun 2020, batubara masih berkontribusi sebesar 65% dari total bauran energi Indonesia.

Salah satu strategi perusahaan saat ini adalah hilirisasi batubara. Dengan adanya hilirisasi, diharapkan di masa depan perusahaan tidak terlalu tergantung pada penjualan batubara saja, dan dapat bertransformasi menjadi perusahaan penyedia energi – sesuai dengan semangat BeyondCoal yang menjadi tagline PTBA.

Kenaikan harga batubara dari awal tahun 2021, menjadikan emiten batubara terutama dengan fundemantal kuat seperti PTBA menjadi menarik untuk dikoleksi. Ketika artikel ini dibuat, harga batubara sempat menyentuh $125 per ton.

Caveat

Selain DMO, kebijakan lain yang kurang menguntungkan bagi PTBA adalah harga batubara untuk listrik yang dipatok di harga $70 per ton. Karena hasil produksi PTBA sebagian besar dijual ke PLN dan Indonesia Power, hal ini tentu menjadi sentimen negatif, sebab PTBA jadi tidak dapat menikmati sepenuhnya potensi kenaikan pendapatan ketika harga batubara naik tinggi.

Analisa saham PTBA, pernah penulis ulas di sini.

Verdict (4 stars)

PWON

Logo PWON
Logo PWON

Selama 30 tahun beroperasi, Pakuwon Jati (PWON) mantap mengukuhkan diri sebagai perusahaan properti terkemuka di Indonesia. Perusahaan ini membagi bisnisnya ke dalam tiga segmen: pengusahaan pusat perkantoran dan perbelanjaan, real estat, dan perhotelan.

Perkantoran dan Mall serta real estat adalah penyumbang pendapatan terbesar dengan hampir 90% pendapatan berasal dari dua sektor ini. Sedangkan perhotelan, walaupun kontribusinya tidak signifikan, namun tumbuh sangat pesat dengan CAGR sebesar 24.57% dalam waktu 10 tahun terakhir.

PWON adalah tipe high-growth company. Aset dan ekuitas 10 terakhir sampai dengan tahun 2019 tumbuh dengan CAGR masing-masing sebesar 22.33% dan 30.68%.

DER terus menurun dari angka 179.05% di tahun 2009, menjadi sebesar 21.49% saja di tahun 2019. Menandakan bahwa perusahaan cukup konservatif dalam mengelola utangnya.

Layaknya perusahaan properti yang dipengaruhi naik-turunnya permintaan, kinerja PWON juga dipengaruhi oleh siklus bisnisnya. Hanya saja, pengaruhnya lebih kepada tebal tipis margin usaha. Secara umum, dari tahun ke tahun, pendapatan perusahaan tetap tumbuh.

Salah satu keunggulan PWON adalah besarnya recurring income – alias pendapatan berulang. Recurring income PWON berkontribusi terhadap 51.4% pendapatan di tahun 2019. Besarnya recurring income, tentunya memberikan likuiditas yang baik, sehingga perusahaan tidak selalu ketergantungan pada sumber pendanaan eksternal untuk ekspansi.

Saat ini perusahaan memiliki Land Bank yang cukup untuk melakukan development selama 10 tahun ke depan. Ditambah lagi, spesialisasi perusahaan adalah kawasan superblock, alias properti vertikal yang relatif lebih irit lahan.

Tahun 2020, terjadi penurunan pendapatan yang sangat signifikan akibat pandemi Covid-19, yaitu dari sebesar IDR 7.2 triliun, menjadi IDR 3.9 triliun.

Namun demikian, situasi pandemi tidak menghalangi perusahaan untuk melakukan ekspansi, di mana di tahun ini perusahaan melakukan akuisisi dua buah mall dan satu hotel di daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Akuisisi ini bisa menjadi sinyal positif. Pertama, perusahaan sepertinya masih memiliki likuiditas yang cukup untuk bertahan di tengah kondisi pandemi yang tidak kunjung selesai. Kedua, lokasi akusisi di luar Jakarta dan Surabaya, menjadi sinyal positif di mana perusahaan mulai melirik growth ke daerah lainnya.

PWON bisa dipertimbangkan untuk dikoleksi dalam masa pandemi, dengan harapan jika terjadi economic book pasca pandemi, sektor properti (dan PWON) akan ikut menikmati hasilnya.

Caveat

Kita tidak tahu kapan pandemi berakhir. Jika berkepanjangan, tentu PWON akan sangat terpukul dengan rendahnya angka kunjungan ke mall, dan sentimen Working From Home (which means people no longer need an office).

Dari segi valuasi, tidak ada cara yang mudah untuk memastikan berapa harga yang pantas untuk PWON. Yang paling mendekati mungkin menggunakan PBV, di mana saat artikel ini ditulis (Juni 2019), PBV PWON sedang berada di area di bawah standar deviasinya.

Analisa saham PTBA, pernah penulis ulas di sini.

Verdict:

Demikian, semoga bermanfaat!

Analisa Saham Pakuwon Jati (PWON)

Kawasan superblok seperti Gandaria City (Jakarta), Kota Kasablanka (Jakarta), Tunjungan City (Jakarta), dan Pakuwon Mall (Jakarta), adalah empat kawasan superblok yang dikelola oleh PT Pakuwon Jati Tbk (PWON).

Berdiri sejak tahun 1982, selama lebih dari 3 dekade, Pakuwon Jati (PWON) telah menghadirkan portofolio perusahaan di berbagai sektor utama properti seperti ritel, perumahan, komersial dan perhotelan. Pakuwon Jati kini juga semakin dikenal sebagai perintis konsep superblok di Indonesia yang mengusung konsep terintegrasi berskala besar antara ritel shopping mall, perkantoran, kondominium, dan hotel.

Di tengah lesunya sektor properti akibat pandemi Covid-19, apakah PWON adalah salah satu emiten yang layak dikoleksi ke dalam portfolio?

Logo PWON
Logo PWON
Sebelum mulai, numpang iklan dulu ya! 😀 Barangkali ada yang lagi expecting to have a baby in the near future (selamat ya Moms/Dads), mungkin mau cari-cari ide nama buat adek bayinya, barangkali bisa pake tools teman penulis di nama.bayiunyu.id. 

Analisa Fundamental

Balance Sheet

Dari segi pertumbuhan aset dan ekuitas, PWON menunjukkan tingkat pertumbuhan yang baik. CAGR aset selama sepuluh tahun dari tahun 2009 – 2019 berada di angka 22.33%. Pun demikian halnya dengan pertumbuhan ekuitas. Dalam kurun waktu yang sama, PWON berhasil meningkat ekuitasnya dengan CAGR sebesar 30.68%.

Dilihat dari tingkat utangnya, DER PWON di tahun 2020 berada di angka 50.34%. Angka ini lebih tinggi dari angka tahun sebelumnya yaitu di angka 44.21%. Hal ini bisa dipahami karena adanya pandemi Covid-19.

Jika dilihat selama 10 tahun dari tahun 2009 sampai 2019, trend DER PWON terus menunjukkan trend penurunan dari angka 179.05% di tahun 2009, menjadi 44.21% di tahun 2019. Hal ini tentunya merupakan hal yang baik, di mana perusahaan secara konsisten mampu menurunkan tingkat utangnya dari tahun ke tahun.

DER PWON 2008 - 2020
DER PWON 2008 – 2020

Utang jangka panjang PWON juga menunjukkan trend yang sama, di mana tingkat perbandingan utang jangka panjang berbanding ekuitas dari tahun ke tahun mengalami trend yang menurun. Di tahun 2009, utang jangka panjang berbanding ekuitas berada di angka 74.72%, sedangkan di tahun 2019 angka ini telah turun signifikan menjadi hanya sebesar 21.49% saja.

Ekuitas vs Liabilitas PWON - 2008 - 2020
Ekuitas vs Liabilitas PWON – 2008 – 2020

Dari grafik yang ditampilkan di atas, terlihat bahwa sampai dengan tahun 2014, Total Liabilitas PWON selalu berada di atas Ekuitas. Namun sejak 2015, PWON mampu mengelola utangnya dengan baik, sehingga chart menjadi terbalik, di mana Ekuitas lebih di atas Total Ekuitas.

Secara umum, tingkat pertumbuhan aset dan ekuitas konsisten mengalami pertumbuhan, dan tingkat utang konsisten mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan posisi balance sheet PWON berada dalam kondisi yang sehat.

Income Statement

Penulis melakukan analisa Income Statement dengan menganalisa data LK PWON dari tahun 2009 – 2020. Catatan khusus harus diberikan pada tahun 2014, di mana di tahun tersebut terjadi peningkatan Laba Bersih yang sangat signifikan lebih dari 100%. Penulis menemukan catatan berikut ini di LK PWON tahun 2014.

Kenaikan laba bersih terutama disebabkan oleh keuntungan pembelian PT Pakuwon Permai dengan diskon dan keuntungan investasi yang dimiliki sebelumnya di PT Centrum Utama Prima sebesar Rp 1.120 miliar.

Laba komprehensif di luar kedua keuntungan tersebut di atas adalah sebesar Rp 1.477 miliar naik 30% dari 2013, akibat adanya kenaikan di recurring revenue dan development revenue.

PWON, AR 2014

Melihat Incoment Statement PWON, terlihat jelas bahwa PWON merupakan tipe growth company, bahkan bisa dibilang pertumbuhan PWON selama periode 10 tahun dari tahun 2009 – 2019 cukup luar biasa. Dalam periode tersebut, pertumbuhan Pendapatan, Laba Kotor, Laba Usaha, dan Laba Bersih kompak menunjukkan CAGR growth di atas 20%. CAGR Pendapatan pada periode tersebut adalah sebesar 26.31%; CAGR Laba Kotor berada di angka 31.47%; CAGR Laba Usaha dan Laba Bersih berada di angka 32.62% dan 36.25%.

Tahun pandemi tentunya sangat memukul PWON dengan adanya pembatasan sosial oleh pemerintah. Di tahun 2020, penurunan Pendapatan tercatat sebesar -44.78%, serta laba bersih turun sebesar -65.46%.

Pendapatan, Laba Kotor, Laba Usaha, Laba Bersih PWON 2009 - 2020

Dilihat dari naik turunnya selisih dari Pendapatan dan Laba dengan tahun sebelumnya, kita dapat melihat karakteristik PWON sebagai cyclical company, seperti yang terlihat dari chart di bawah ini.

Naik Turun Pendapatan dan Laba PWON dibandingkan tahun sebelumnya

Gambar di atas menunjukkan persentase kenaikan Pendapatan, Laba Kotor, Laba Usaha, dan Laba Bersih PWON dari tahun 2010 – 2020. Walapun terus mengalami pertumbuhan, namun besarnya pertumbuhan setiap tahunnya mengalami persentase naik-turun yang mengikuti sebuah siklus.

Seperti di tahun 2011, walaupun secara umum Pendapatan dan Laba naik, namun persentase kenaikannya relatif lebih rendah dari tahun sebelumnya, sebelum kemudian kembali naik di tahun 2012. Setelah itu, persentase pertumbuhan Pendapatan dan Laba terus mengalami penurunan, sampai akhirnya mencapai titik terendah di tahun 2016. Tahun 2017 dan 2018, kembali tumbuh sebelum akhirnya nyungsep di tahun 2019, dan dihajar pandemi di tahun 2020.

Bagaimana dengan margin usahanya? Walaupun bersifat siklikal, efisiensi dan kinerja manajemen sepertinya cukup baik, sehingga secara rata-rata dalam 10 tahun margin usaha PWON berada di angka yang sangat baik. Gross Margin secara rata-rata berada di angka 53.35%; sedangkan Operating Margin, dan Net Profit Margin masing-masing berada di angka rata-rata sebesar 44.72% dan 32.97%.

Margin Usaha PWON periode 2009 - 2020

Cashflow

Secara umum, Operating Cashflow PWON dari tahun ke tahun selalu positif. Naik-turunnya Operating Cashflow menunjukkan trend yang hampir sama dengan naik-turunnya Pendapatan.

Operating Cashflow PWON

Dari segi Free Cashflow pun, performa PWON masih baik. Free Cashflow dari tahun ke tahun selalu menunjukkan angka positif (kecuali tahun 2015). Artinya bahwa sebagai perusahaan properti yang cenderung padat modal (karena harus terus melakukan pembangunan properti baru), PWON masih tetap dapat menghasilkan cashflow yang positif.

Free Cashflow PWON
Free Cashflow PWON

Analisa Kualitatif

Segmen Bisnis

PWON membagi bisnisnya ke dalam tiga segmen yaitu: pengusahaan pusat perkantoran dan perbelanjaan, real estat, dan perhotelan.

Untuk segmen pusat perbelanjaan, PWON telah berhasil mengembangkan luas pusat perbelanjaan yang dikelolanya dari seluas 333,000 m2 di tahun 2013 menjadi seluas 776,000 m2 di akhir tahun 2020 (CAGR = 12.85%%). Adapun pusat perbelanjaan yang dikelola oleh PWON meliputi Kota Kasablanka, Gandaria City, dan Blok M Plaza di Jakarta; Tunjungan Plaza, Pakuwon Mall, Pakuwon Trade Center, Royal Plaza, dan Pakuwon City Mall di Surabaya, serta Hartono Mall Yogyakarta dan Hartono Mall Solo. Mall Pakuwon Surabaya dan Tunjungan Plaza merupakan salah dua mall terbesar di Indonesia.

Untuk area perkantoran, PWON telah memiliki total luas gedung perkantoran yang dikelola sebesar 159.000 m2, yaitu Kota Kasablanka Office 88, Prudential Tower, Pakuwon Tower, dan Gandaria Tower di Jakarta; serta Pakuwon Center dan Pakuwon Tower di Surabaya.

Untuk segmen hotel, PWON saat ini mengoperasikan beberapa properti hotel dan servis apartemen yaitu Sheraton Grand Jakarta dan Somerset Berlian di Jakarta; Sheraton Surabaya, Four Points Surabaya, Four Points Pakuwon, The Westin Surabaya, dan Ascott Waterplace di Surabaya; serta Marriot Hotel Yogyakarta.

Untuk segmen real-estat, PWON fokus pada pengembangan kawasan superblock, di antaranya Kota Kasablanka, Gandaria City, Pakuwon Residences Bekasi, Tunjungan City, Pakuwon City, dan lain-lain.

Pendapatan Per Segmen

Dua segmen pertama yaitu Pengusahaan Pusat Perkantoran dan Perbelanjaan, dan Real Estat, merupakan penyumbang pendapatan terbesar dengan rata-rata kontribusi lebih dari 90% setiap tahunnya. Antara segmen pertama dan kedua, saling saling-menyalip dalam hal kontribusi terhadap total pendapatan, tergantung siklus industri properti itu sendiri. Namun demikian, secara rata-rata 5 tahun dan 10 tahun terakhir, segmen real-estat memiliki kontribusi rata-rata terbesar dengan jumlah sebesar 49.82% (5Y) dan 50.45% (10Y).

Secara CAGR 10 tahun (2009 – 2019) segmen real-estat menjadi jawara dengan nilai CAGR pertumbuhan sebesar 28.87%, disusul oleh segmen pusat perkantoran dan perbelanjaan dengan CAGR sebesar 25.33%, dan terakhir perhotelan dengan CAGR sebesar 17.49%. Namun demikian, dengan periode waktu yang lebih pendek 5 tahun (2014 – 2019), ternyata perhotelan menjadi segmen dengan pertumbuhan paling pesat 5 tahun terakhir dengan nilai CAGR sebesar 25.57%; disusul oleh pusat perkantoran dan perbelanjaan (CAGR = 14.21%), serta real estat (CAGR = 11%).

Pendapatan Segmen Bisnis PWON
Pendapatan Segmen Bisnis PWON

Kontribusi masing-masing segmen terhadap pendapatan dapat dilihat pada grafik di bawah ini.

Persentase Segmen PWON Terhadap Pendapatan
Persentase Segmen PWON Terhadap Pendapatan

Dari grafik di atas, terlihat bahwa ketika siklus industri properti sedang membaik, pendapatan dari sektor real-estat memberikan pendapatan lebih tinggi dari segmen Pusat Perkantoran dan Perbelanjaan. Sebaliknya, segmen Pusat Perkantoran dan Perbelanjaan memberikan kontribusi yang lebih baik ketika siklus properti mengalami penurunan (misal tahun 2009 dan 2016).

Recurring Income

Recurring Income adalah jenis pendapatan perusahaan properti yang sifatnya berulang. Pendapatan ini umumnya didapatkan dari segmen usaha penyewaan properti dan sejenisnya. Dalam kasus PWON, recurring income didapat dari segmen Pusat Perkantoran dan Perbelanjaan dan segmen Perhotelan.

PWON adalah perusahaan properti dengan recurring income terbesar di Indonesia di mana secara rata-rata selama 10 tahun terakhir, hampir setengah dari pendapatan PWON berasal dari recurring income. Di tahun 2019, recurring income menyumbang sebesar 51.4% dari total pendapatan.

Di tahun 2020 sendiri, recurring income berada di angka 57.95%. Hal ini dapat dipahami sebab dengan adanya pandemi Covid-19, tentunya masyarakat sangat berhati-hati dalam melakukan pembelian properti dan komitmen konsumsi dengan pembiayaan yang bersifat jangka panjang.

Jika dilihat secara pertumbuhan, dalam periode 5 tahun terakhir (2014 – 2019), recurring income PWON justru memiliki pertumbuhan yang lebih baik daripada pendapatan real-estat, di mana pendapatan dari segmen recurring memiliki laju pertumbuhan dengan CAGR sebesar 15.43%.

Recurring vs Non-Recurring Income PWON
Recurring vs Non-Recurring Income PWON

Mengapa recurring income menjadi penting?

Well, recurring income menawarkan sumber pendapatan yang lebih pasti dibandingkan dengan segmen real-estat yang sangat dipengaruhi oleh naik-turunnya siklus industri properti. Dengan stabilitas cash inflow yang lebih stabil, perusahaan tentunya dapat merencanakan kegiatan bisnisnya dengan lebih baik.

Land Bank

Saat ini PWON memiliki Land Bank seluas 464.3 hektar. Dari total luas tersebut, hanya 5.4% terletak di kota Jakarta, sedangkan sisanya terletak di daerah Surabaya. Menurut perusahaan, setidaknya masih akan tersedia lahan yang cukup untuk pengembangan selama 10 tahun ke depan.

Daftar Land Bank PWON berikut penulis ambil dari Corporate Update perusahaan per Q1 2021.

Land Banks PWON per Q1 2021
Land Banks PWON per Q1 2021

Akuisisi

Pada akhir tahun 2020, PWON melakukan setidaknya tiga akusisi aset properti yaitu dua mall (Hartono Mall Yogyakarta dan Solo), serta 1 hotel (Marriot Yogyakarta). Luar biasanya, akusisi ini dilakukan di tengah pandemi dan dengan menggunakan kas internal perusahaan.

Akusisi yang dilakukan menunjukkan bahwa setidaknya saat ini perusahaan berada pada kondisi keuangan yang baik. Melakukan aksi korporasi anorganik di tengah resesi akibat pandemi, tentu harus dilakukan dengan perhitungan yang baik.

Selain itu, lokasi aset properti yang berada di Solo dan Yogyakarta, berarti perusahaan telah mulai memikirkan langkah ekspansi di luar Surabaya dan Jakarta.

Valuasi

Nilai Intrinsik

Dengan menggunakan cara yang saham untuk menghitung Nilai Intrinsik Saham EKAD, penulis mendapati bahwa untuk PWON berada di rentang harga IDR 1,193 – IDR 1,397 (PER 15x – 17.96x). Dengan harga ketika tulisan ini dibuat yaitu di harga IDR 462, maka setidaknya tersedia margin of safety sebesar 61%.

Tentunya kita harus hati-hati menerima hasil perhitungan dengan cara seperti ini, sebab PWON merupakan perusahaan properti yang bisnisnya cenderung siklikal.

PER

Kalau menggunakan analisa PER, maka saat ini tentunya PER PWON menjadi sangat tinggi karena berkurangnya profit akibat situasi pandemi. Saat ini menurut penulis, menggunakan PER sebagai dasar evaluasi adalah tidak tepat.

PER PWON 10 Tahun Terakhir
PER PWON 10 Tahun Terakhir

PBV

Dari segi valuasi PBV, terlihat bahwa nilai PBV PWON memiliki trend menurun, walaupun di sela-selanya mengalami kenaikan layaknya sebuah siklus. Menurut penulis, hal ini karena tingkat apresiasi investor terhadap saham PWON tidak berbanding lurus dengan pertumbuhan nilai ekuitasnya. Artinya kecepatan pertumbuhan nilai saham PWON tidak serta merta membuat para pelaku pasar menghargai mahal sahamnya.

Mengapa demikian? Terus terang penulis tidak tahu.

Anyway, jika melihat trend PBV saat ini, PWON berada di bawah rata standar deviasinya. Apakah hal ini berarti bahwa harga saham sedang berada di harga yang murah? Penulis kembalikan kepada masing-masing pembaca. Jika pembaca merasa bahwa nilai buku yang tertulis di laporan keuangan secara akurat merefleksikan nilai perusahaan, boleh jadi pembaca beranggapan bahwa harga saham PWON saat ini sedang murah.

PBV PWON 10 Tahun Terakhir
PBV PWON 10 Tahun Terakhir

Valuasi RNAV

Penulis menemukan satu video dari Youtuber Kefas Evander yang kebetulan membahas valuasi saham PWON dengan menggunakan metode RNAV. Penulis tampilkan videonya di sini karena menurut penulis perhitungan dengan menggunakan metode RNAV ini bisa menjadi salah satu alternatif yang baik sebelum mengambil keputusan berinvestasi di PWON.

Kesimpulan

Ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari analisa yang telah dilakukan di atas:

  1. PWON adalah perusahaan yang baik. Dari tahun 2009 – 2019, PWON mampu menumbuhkan asetnya dengan CAGR sebesar 22.33%; serta menumbuhkan ekuitasnya dengan CAGR sebesar 30.68%. Dari segi utang, PWON mampu mengelola tingkat utangnya dengan baik, sehingga memiliki trend yang menurun dari sebesar 179.05% di tahun 2009 menjadi hanya sebesar 44.21% saja di tahun 2019.
  2. Dari segi profitabilitas, PWON mampu menjaga profit margin yang tinggi. Rata-rata Gross Profit Margin, Operating Profit Margin, dan Net Profit margin selama 10 tahun terakhir, masing-masing berada di angka 54.77%, 46.11%, dan 34.05% (exclude tahun 2020 – karena pandemi).
  3. Industri properti yang bersifat siklikal tentunya mempengaruhi kinerja PWON. Namun demikian, pengaruhnya adalah bahwa pertumbuhan profit perusahaan cenderung lebih sedikit ketika market sedang lesu. Catat: pertumbuhan. Artinya walaupun industri sedang dalam situasi yang kurang mendukung, perusahaan masih tetap profit – namun dengan persentase kenaikan yang lebih kecil.
  4. Strategi PWON yang mengoptimalkan keseimbangan antara pendapatan recurring dengan non-recurring agaknya berdampak pada point nomor 3 di atas. Besarnya pendapatan recurring PWON, berimbas pada konsistensi arus kas masuk bagi perusahaan, sehingga dapat lebih meminimalkan berkurangnya pendapatan ketika sektor properti sedang lesu.
  5. PWON memiliki portolio properti yang baik. Setidaknya dua buah mall yang dikelola PWON adalah salah dua mall terbesar di Indonesia. Selama masyarakat urban Indonesia masih suka nge-mall, revenue PWON akan tetap terjaga di masa depan.
  6. Dari segi valuasi, PER saat ini berada di angka yang tinggi diakibatkan oleh pandemi Covid-19 sehingga profit perusahaan menurun. Dari segi PBV, saat ini PWON berada di valuasi yang cukup rendah, namun hal ini sepertinya disebabkan oleh nilai ekuitas PWON yang naik cukup pesat.
  7. Dari segi valuasi nilai intrinsik sederhana, PWON menawarkan margin of safety sebesar 61%. Namun tentu penggunaan perhitungan nilai intrinsik sederhana ini tidak serta merta dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan – sebab sifat industri properti yang siklikal.

Jadi, apakah PWON layak dimasukkan ke dalam portfolio?

Menurut penulis ada beberapa hal yang cukup menarik dari PWON:

  1. Pertumbuhan aset dan ekuitas yang baik.
  2. Utang yang cenderung menurun.
  3. Portfolio properti yang baik.
  4. Recurring income yang besar.

Kondisi pandemi saat ini, menawarkan peluang yang baik untuk mempertimbangkan investasi di emiten-emiten properti. Kondisi pandemi Covid-19 menyebabkan pendapatan sektor properti menjadi seret, ikut menyeret turun harga-harga saham di sektor ini. Seperti yang sudah-sudah, habis resesi, terbitlah economic boom.

Sektor properti tentunya menjadi salah satu sektor yang seksi, ketika resesi ini berakhir. PWON sebagai salah satu emiten properti dengan kondisi fundamental yang baik, sepertinya layak untuk dipertimbangkan.

Demikian, semoga bermanfaat!

Analisa Saham PT Bukit Asam Tbk (PTBA)

PT Bukit Asam Tbk (PTBA) adalah salah satu perusahaan tambang batubara tertua di Indonesia. Walaupun secara resmi berdiri tahun 1981, cikal bakal PTBA sendiri sebenarnya telah dimulai sejak era konolial Belanda yang ditandai dengan beroperasinya tambang Air Laya di Tanjung Enum di tahun 1919.

Logo PTBA

Sejarah panjang PTBA memasuki babak barunya, setelah pemerintah melalui Kementrian BUMN melakukan restrukturisasi perusahaan-perusahaan plat merah dengan membentuk sub-holding. PTBA sendiri akhirnya bergabung dalam Holding Industri Pertambangan yang dipimpin oleh PT Indonesia Asahan Aliminium.

Di tengah semakin meningkatnya kesadaran global tentang green energy yang menimbulkan sentimen negatif terhadap industri ini, apakah PTBA yang merupakan salah satu big player dalam negeri layak untuk diadopsi ke dalam portfolio?

Sebelum mulai, numpang iklan dulu ya! 😀 Barangkali ada yang lagi expecting to have a baby in the near future (selamat ya Moms/Dads), mungkin mau cari-cari ide nama buat adek bayinya, barangkali bisa pake tools teman penulis di nama.bayiunyu.id. 

Fundamental

Sebagai perusahaan komoditas, kinerja PTBA dipengaruhi oleh harga batubara di pasar. Karena itu, dalam melakukan analisa kinerja keuangan PTBA, tentu harus dibandingkan dengan harga pasar di tahun-tahun yang bersangkutan.

Berikut ini adalah chart harga batubara di pasar internasional yang penulis ambil dari tradingeconomics.com.

Harga Batubara dari tradingeconomics.com

Sebagai perbandingan, chart Harga Batubara Acuan (HBA), ditampilkan di bawah ini. Chart ini diambil dari situs kementrian ESDM.

Chart Harga Batubara Acuan dari Tahun 2010

Batubara adalah komoditas, sehingga harganya bergerak berdasarkan keseimbangan antara penawaran dan permintaan. Harganya yang bergerak naik turun mengikuti sebuah siklus, setelah naik pasti turun, demikian juga sebaliknya.

Dari chart di atas, kita tahu bahwa batubara mencapai masa jayanya di sekitar tahun 2011. Setelah mencapai puncaknya di tahun tersebut, harga batubara perlahan-lahan longsor sampai sekitar tahun 2016. Terakhir, di 2021, harga batubara kembali mengalami kenaikan setelah mengalami penurunan sepanjang akhir 2018 sampai pertengahan 2020.

Balance Sheet

Dari segi aset dan ekuitas, pertumbuhan PTBA termasuk baik. Dengan menggunakan rentang waktu dari tahun 2008 sampai dengan 2019, aset PTBA tumbuh dari angka IDR 6.1 triliun menjadi sebesar IDR 26 triliun di tahun 2019. Angka ini mencerminkan CAGR sebesar 14.12%.

Trend yang sama juga terjadi pada ekuitas PTBA, di mana ekuitas PTBA tumbuh dari sebesar IDR 4 triliun di tahun 2008, menjadi sebesar IDR 18.4 triliun di tahun 2019. Angka CAGR nya sedikit lebih baik dari pertumbuhan asetnya, yaitu sebesar 14.69%.

Highlights Balance Sheet PTBA 2008 – 2020

Dari segi ketersediaan kas cenderung menurun, tetapi agaknya lebih karena meningkatnya nilai aset PTBA setiap tahunnya. Di tahun 2008, kas / setara kas PTBA berkontribusi sebesar 49.82% dari total aset. Sedangkan di tahun 2019, kontribusinya menjadi hanya sebesar 18.23%. Tahun 2020 bahkan sedikit berkurang, menjadi sebesar 18.04%. Anyway, walaupun hanya sebesar 18%, tapi secara rupiah jumlahnya tetap cukup besar, yaitu sekitar IDR 4.3 triliun.

Apakah hal ini hal yang buruk? Hmmm, tidak juga. Menurut penulis, walaupun ketersediaan kas PTBA secara rata-rata sekitar hanya 19% saja (data 5 tahun terakhir), namun tingkat hutang PTBA sangat kecil. Artinya, ketersediaan kas perusahaan sangat cukup untuk operasional perusahaan.

Dari sisi utang, PTBA pernah memiliki utang di tahun 2014, 2015, 2016, dan 2018. Utang terakhir di tahun 2018 digunakan untuk pembelian alat berat pertambangan.

Utang PTBA

Dana Pensiun

Salah satu akun yang cukup menarik perhatian penulis adalah Imbalan Pasca Kerja jangka panjang.

Perbandingan akun ini dengan Total Aset menurut penulis cukup besar. Dengan menggunakan data laporan keuangan dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2020, perbandingannya mencapai 11.08%. Dianalisa lebih jauh, setidaknya hampir 87% dari liabilitas imbalan pascakerja PTBA adalah imbalan kesehatan pascakerja.

Sebagai perbandingan, ITMG memiliki angka ratio sebesar 3.89%, sedangkan ADRO memiliki angka ratio sebesar 0.98%.

Apakah besaran 11.08% tersebut adalah angka yang buruk. Menurut penulis, mungkin tidak terlalu.

Imbalan pasca kerja adalah sesuatu yang akan terjadi cukup jauh di masa depan, jadi realisasinya liabilitas tidak akan terjadi dalam waktu dekat.

Tingginya imbalan kesehatan untuk pekerja adalah salah satu hal positif terutama bagi karyawan. Namun tentu saja manajemen harus dapat mengelola rasionya dengan baik sehingga efisiensi dapat lebih ditingkatkan.

Perusahaan telah melaksanakan program “Jaminan Hari Tua” (JHT), dana Pensiun Bukit Asam, Program Pensiun“ Tabungan Hari Tua” dan Program Pensiun Iuran Pasti bekerjasama dengan lembaga yang kompeten sebagai bagian dari pemenuhan kesejahteraan karyawan. Perusahaan juga menyediakan layanan kesehatan melalui Rumah Sakit Bukit Asam Medika (RSBAM) dan program asuransi Kesehatan Pertamedika untuk pegawai dan pensiunan pegawai.

PTBA, AR 2020

Income Statement

Naik turunnya harga komoditas batubara dan faktor-faktor eksternal lainnya terlihat lebih jelas pengaruhnya dalam laporan laba rugi. Beberapa data penting dari Laporan Laba Rugi PTBA dari tahun 2008 – 2020 bisa dilihat di tabel berikut.

Akun-akun Penting Laporan Laba Rugi PTBA 2008 – 2020

Jika tabel di atas disajikan dalam bentuk chart, hasilnya adalah sebagai berikut.

Pendapatan, Gross Margin, Operating Margin, dan Net Margin PTBA 2008 – 2020

Sebagai sebuah perusahaan komoditas yang bersifat siklikal, harus diakui bahwa kinerja PTBA cukup baik. Di tengah naik turunnya harga batubara, perusahaan mampu meningkatkan pertumbuhan perusahaan dalam jangka panjang.

CAGR pendapatan PTBA dari tahun 2008 – 2019 adalah sebesar 10.57%. Menurut penulis angka ini cukup baik. Untuk Gross Profit Margin (GPM), Operating Profit Margin (OPM), dan Net Profit Margin (NPM), angka CAGR pertumbuhannya masing-masing adalah sebesar 7.24%, 6.55%, dan 8.14%. Walaupun tidak istimewa, tetapi masih cukup baik.

GPM secara rata-rata di periode yang sama berada di angka 39.34%. Sedangkan OPM dan NPM secara rata-rata, masing-masing berada di angka 26.07% dan 21.16%. Sebagai perusahaan komoditas yang berkarakteristik sebagai price taker, efisiensi PTBA cukup baik sehingga rasio NPM nya bisa berada di atas 20%.

Karakteristik PTBA sebagai perusahaan siklikal terlihat lebih jelas jika kita melakukan perbandingan angka GPM, OPM, dan NPM dari tahun ke tahun yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Perbandingan GPM, OPM, dan NPM PTBA dari 2008 – 2020

Pada tabel di atas, terlihat jelas terjadi penurunan nilai GPM, OPM, dan NPM di periode 2013 – 2016, dan di periode 2019 dan 2020. Di periode-periode tersebut, profit margin PTBA selalu berada di bawah rata-rata profit margin dari seluruh periode dari 2008 sampai dengan 2020.

Jika melihat grafik harga batubara di awal tulisan ini, terjadi penurunan harga batubara di periode-periode tersebut. Ditambah lagi terjadi kenaikan nilai tukar USD/IDR dari sekitaran tahun 2013, yang menyebabkan efisiensi perusahaan semakin tergerus.

Jika digambarkan ke dalam chart, terlihat jelas naik turunnya profit margin, sehingga karakteristik siklikal PTBA semakin terlihat.

Naik Turun Profit Margin PTBA terhadap Nilai Rata-Ratanya

Catatan khusus harus diberikan untuk tahun 2020. Faktor pertama tentunya karena situasi pandemi yang menyebabkan turunnya permintaan batubara secara umum. Faktor berikutnya adalah patokan harga jual batubara kepada PLN (klien terbesar PTBA) yang dipatok pemerintah berada di angka USD 70 per metrik ton. Dengan adanya kebijakan ini dan kebijakan DMO yang “memaksa” perusahaan menjual produksinya untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri, tentunya menurunkan potensi perusahaan untuk menikmati kenaikan harga batubara secara maksimal.

Sebagai perbandingan lain, jika kita melihat pertumbuhan pendapatan PTBA dari tahun ke tahun, terlihat pendapatan PTBA turun di tahun 2010, 2013, dan 2019 – mengikuti siklus harga batubara. Namun sebagai catatan, setiap terjadi penurunan, PTBA mampu kembali meningkatkan pendapatannya di tahun-tahun berikutnya.

Plus Minus Pendapatan dan Laba PTBA Tahun ke Tahun

Sebagai contoh, ketika di tahun 2013 PTBA mengalami penurunan pendapatan sebesar -3.42%, setelahnya di tahun 2014 – 2018, PTBA tetap bisa menjaga pertumbuhan di tengah menurunnya harga batubara. Penulis menduga hal ini terjadi karena PTBA berhasil secara konsisten menjaga pertumbuhan produksinya, sehingga penurunan harga bisa di-offset dengan penjualan dengan volume lebih banyak.

Sebagai kesimpulan sementara, kita ketahui bahwa walaupun sebagai perusahaan siklikal kinerja perusahaan banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, namun secara internal PTBA mampu menjaga pertumbuhan pendapatannya.

Cashflow

Secara umum, dari tahun ke tahun, PTBA selalu mencatatkan Operating Cashflow positif. Pertumbuhan yang cukup signifikan bisa dilihat terjadi pada 2011 dan 2018, sejalan dengan trend penguatan harga batubara di tahun-tahun tersebut.

Operating Cashflow PTBA dari tahun 2008 – 2020

Jika dianalisa berdasarkan pertumbuhan operating cashflow per tahun, maka didapat grafik seperti di bawah ini. Terlihat bahwa lonjakan Operating Cashflow di tahun 2018 sangat signifikan.

Kualitatif

Produksi

Penulis berhasil mengumpulkan data produksi PTBA dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2020. Secara umum, total produksi batubara PTBA selalu mengalami kenaikan, kecuali di tahun 2020, tentunya karena pandemi.

Dengan mengambil dua periode waktu yaitu 10 tahun (2009 – 2019) dan 5 tahun (2014 – 2019), penulis mendapati nilai CAGR pertumbuhan produksi yang berbeda. Dengan menggunakan periode waktu 10 tahun, CAGR produksi batubara PTBA adalah sebesar 9.62%; sedangkan dengan menggunakan periode waktu 5 tahun, didapatkan angka yang lebih tinggi yaitu 12.18%.

Dengan demikian bisa disimpulkan secara sementara bahwa laju produksi batubara PTBA selama 5 tahun terakhir relatif lebih cepat dari 10 tahun terakhir.

Domestik vs Ekspor

Market PTBA terbagi menjadi dua segmen utama: domestik dan ekspor. Secara volume rata-rata, penjualan segmen domestik sedikit lebih besar daripada segmen ekspor.

Secara rata-rata dari tahun 2006 – 2020, segmen domestik berkontribusi sebesar 59.15% dari total penjualan, sementara sisanya sebesar 40.85% dari ekspor.

Namun demikian, jika dilakukan analisa pertumbuhan (CAGR) kedua segmen dengan dua periode yang berbeda (10 tahun dan 5 tahun) seperti sebelumnya, penulis mendapati bahwa ternyata setidaknya dalam 5 tahun belakangan, pertumbuhan segmen domestik lebih besar daripada ekspor.

CAGR domestik 10 tahun vs 5 tahun adalah sebesar 7.53% vs 12.39%. Artinya dalam 5 tahun terakhir, laju penjualan pasar domestik lebih cepat dibandingkan sebelumnya.

CAGR ekspor menunjukkan angka sebaliknya, yaitu CAGR 10 tahunnya sebesar 9.67%, lebih besar dari CAGR 5 tahunnya yang sebesar 4.20%. Artinya pertumbuhan segmen ekspor lebih lambat dalam 5 tahun terakhir.

Chart berikut ini menunjukkan trend pertumbuhan kedua segmen PTBA serta komposisi bauran keduanya.

Trend Penjualan Domestik vs Ekspor PTBA (dalam Ton)
Komposisi Penjualan PTBA Berdasarkan Target Market (dalam Ton)

Dari chart pertama, terlihat bahwa sebelum 2014, trend pertumbuhan ekspor terlihat lebih curam daripada domestik. Pasca 2014, terjadi sebaliknya, di mana trend pertumbuhan domestik lebih curam daripada ekspor. Demikian pula di chart kedua, terlihat bahwa semakin tahun, area berwarna biru (domestik) terlihat semakin menebal dibandingkan area berwarna orange (ekspor).

Untuk pasar domestik, PLN dan PT Indonesia Power adalah dua konsumen terbesar PTBA. Penjualan ke kedua perusahaan ini untuk tahun 2019 dan 2020 adalah sebesar IDR 10.6 triliun dan IDR 7.3 triliun yang memberikan kontribusi sebesar 82.61% dan 76.78% dari total penjualan domestik.

Pasar ekspor sendiri, negara tujuan ekspor terbesar PTBA adalah India sebesar 13% di tahun 2020 dan sebesar 10% di tahun 2019. Selebihnya adalah China, Taiwan, Hongkong, Korea Selatan, Thailand, Vietnam, dan Malaysia.

Negara Tujuan Eskpor PTBA (screenshot dari AR PTBA 2020)

Cadangan Batubara

Menurut AR tahun 2020, PTBA memiliki cadangan tertambang sebesar 3.18 miliar ton, dan sumber daya sebesar 8.58 miliar ton. Dengan asumsi jumlah produksi batubara tetap sebesar sebesar 25 juta ton per tahun, maka PTBA masih akan mampu berproduksi selama lebih dari 100 tahun ke depan.

Paris Agreement

Paris Agreement (Persetujuan Paris), adalah sebuah persetujuan di dalam United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Persetujuan ini ditandatangani pada tanggal 22 April 2016 di New Work, Amerika Serikat di mana Indonesia sendiri adalah salah satu negara yang menandatangani perjanjian tersebut. Sampai dengan Maret 2021, sebanyak 191 negara-negara anggota UNFCCC telah menyetujui perjanjian tersebut.

Secara umum, Paris Agreement bertujuan untuk menahan laju peningkatan temperatur global hingga di bawah 2 derajat celcius dari angka sebelum masa Revolusi Industri, dan mencapai upaya dalam membatasi perubahan temperatur hingga setidaknya 1.5 derajat Celcius. Hal ini dilakukan dengan secara signifikan mengurangi jumlah emisi gas rumah kaca secara global.

Paris Agreement tentunya menimbulkan sentimen negatif bagi investasi di sektor batubara. Setidaknya komitmen untuk mengurangi konsumsi batubara telah diimplementasikan oleh Uni Eropa (EU) yang berkomitmen untuk melakukan penutupan pembangkit-pembangkit listrik berbahan bakar batubara sebelum tahun 2030. Menurut data statistica.com, konsumsi batubara EU telah mengalami penurunan hampir setengahnya dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2019.

Konsumsi Batubara Uni Erope tahun 2005 – 2019

Implementasi Paris Agreement di Uni Eropa, tentu saja tidak diikuti dengan mudah oleh negara-negara lain. Setidaknya di China dan India, konsumsi batubara masih cenderung meningkat walaupun dengan laju yang lebih rendah.

Konsumsi Batubara di China tahun 1998 - 2019
Konsumsi Batubara di China tahun 1998 – 2019
 Konsumsi Batubara di India tahun 1998 - 2019
Konsumsi Batubara di India tahun 1998 – 2019

Australia sebagai salah satu negara maju sekaligus eksportir terbesar batubara dunia, sepertinya juga mengalami hambatan dalam implementasinya. Konsumsi energi berbasis batubara dalam negeri Australia sendiri memang menurun, akan tetapi tidak dengan jumlah produksinya. Mengurangi jumlah produksi tentunya bukan hal yang mudah, sebab akan mengganggu ekonomi Australia secara keseluruhan.

Konsumsi Batubara Australia 1998 - 2019
Konsumsi Batubara Australia 1998 – 2019
Produksi Batubara Australia 1998 – 2019

Kondisi di Indonesia

Berdasarkan Perpres Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi nasional, pemerintah menargetkan bauran energi batubara sebesar 30% pada 2025, dan diturunkan menjadi 25% di tahun 2050. Namun sampai dengan tahun 2020, kontribusi batubara pada bauran energi nasional bahkan mencapai angka 65%.

Trend angka produksi pun masih menunjukkan peningkatan. Setidaknya dari data BPS, di tahun 2014, produksi batubara Indonesia mencapai angka 435.7 juta ton; naik menjadi 616.1 juta ton di tahun 2019, yang menunjukkan angka CAGR sebesar 7.17%.

Di tahun 2020 sendiri, terlepas dari situasi pandemi, realisasi produksi batubara nasional berada di angka 557.54 juta ton – melebihi target yang ditetapkan yaitu sebanyak 550 juta ton. Sedangkan di tahun 2021, produksi batubara nasional ditargetkan sebesar 625 juta ton.

Terlepas dari komitmen pemerintah untuk ikut serta dalam mengurangi emisi gas rumah kaca sebagai bagian dari implementasi Paris Agreement di Indonesia, implementasi di industri batubara sepertinya menimbulkan tantangan yang cukup signifikan karena masih cukup tingginya ketergantungan Indonesia terhadap bahan baku energi dari fosil ini. Dari sudut pandang investasi, setidaknya kita masih akan melihat permintaan batubara domestik dalam beberapa tahun mendatang.

BeyondCoal dan Hilirisasi Batubara

Tagline beyondcoal pertama kali terlihat di AR PTBA tahun 2018, di mana PTBA menambahkan tagline tersebut di bagian kanan bawah logonya – lengkap dengan warna hijau di tulisan “beyond“.

Guna mendukung transformasi menjadi Perusahaan Energi Kelas Dunia maka perlu dibuat branding Bukit Asam dengan penambahan slogan beyondcoal yang bermakna Perseroan tidak hanya mempunyai usaha di bidang generik tetapi juga mempunyai usaha di bidang power serta akan berkembang ke bidang benefisiasi.

AR PTBA, 2018

Meningkatnya kesadaran akan kebutuhan energi hijau tentu menimbulkan ancaman bagi eksistensi PTBA di masa mendatang jika hanya tergantung pada hasil penjualan produksi tambangnya saja. Oleh karena itu, PTBA berkomitmen untuk melakukan transformasi bisnisnya menjadi tidak hanya bisnis batubara saja, melainkan juga produk-produk turunannya seperti pembangkit listrik dan gasifikasi batubara menjadi DME.

Menurut penulis, inisiatif yang dilakukan PTBA sudah sangat tepat. Jika tidak merencanakan transformasi bisnis dari hari ini dan melakukan inovasi, bukan tidak mungkin PTBA bubar di masa depan karena bisnisnya tidak lagi relevan.

Salah satu inovasi yang dilakukan PTBA adalah dengan melakukan hilirisasi. Proyek hilirasasi dilakukan dengan melakukan gasifikasi batubara menjadi Dimethyl Ether (DME). Proyek ini akan dilakukan di Tanjung Enim selama 20 tahun. Tiga pihak yang terlibat, yaitu Pertamina, PTBA, dan Air Products & Chemicals, Inc (APCI) telah melakukan pendandatanganan Amandemen Perjanjian Kerja Sama di Los Angeles, Amerika Serikat, dan Jakarta pada tangal 11 Mei 2021

Investasi asing yang didatangkan dari APCI adalah senilai US$ 21 miliar (setara IDR 30 triliun). Diharapkan dengan adanya proyek ini, terserap sekitar 6 juta ton batubara per tahun untuk menghasilkan 1.4 juta DME, sehingga dapat mengurangi impor LPG sekitar 1 juta per tahun.

Bagaimana porsi pembagian keuntungannya belum diekspose oleh PTBA. Namun hanya dari supply batubaranya saja, kita bisa berharap akan terjadi peningkatan penjualan sebesar 6 juta ton per tahun (sekitar 23% dari angka penjualan tahun 2020).

Proyek gasifikasi ini tentunya bukan tanpa kritik. Salah satu kritik datang dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) yang menyatakan bahwa proyek ini justru akan menimbulkan kerugian hingga IDR 5 triliun per tahun. Publikasi IEEFA tersebut dapat dilihat di sini. Hasil studi ini dibantah oleh pemerintah dengan argumen bahwa terdapat perbedaan yang sigfinikan dari asumsi dan metode yang digunakan.

Apa pun itu, dengan telah ditandatanganinya kesepakatan untuk go-ahead, sebagai investor retail, kita bisa berharap bahwa proyek ini akan mampu meningkatkan revenue PTBA di masa depan.

Dividen

Sebagaimana perusahaan-perusahaan BUMN lainnya, PTBA adalah perusahaan yang tidak pernah absen membagi dividen. Bahkan di periode 2009, 2010, dan 2011, perusahaan membagi dividen sebanyak dua kali dalam setahun.

Tahun ini, PTBA membagikan dividen sebesar IDR 74.69 per lembar saham. Dividen yield yang didapat sedikit di atas 3%. Tetapi jangan salah, di tahun 2020 PTBA membagikan angka dividen yang bisa dibilang jumbo, yaitu sebesar IDR 326.46, setara dengan dividen yield sebesar 14%++.

Jadwal Pembagian Dividen PTBA
Jadwal Pembagian Dividen PTBA (sumber: stockbit)

Valuasi

Seperti biasa, penulis melakukan valuasi secara sederhana dengan menghitung nilai intrinsik, PER, dan PBV. Catatan khusus harus diberikan pada perhitungan nilai intrinsik, sebab untuk menghitung nilai intrinsik, asumsi yang digunakan adalah pertumbuhan perusahaan yang konstan. Dalam kasus PTBA, hal ini mungkin menjadi kurang tepat karena sifat perusahaan yang siklikal. Penulis tetap melakukannya di tulisan ini hanya sebagai perbandingan.

Nilai Intrinsik

Seperti biasa, penulis menggunakan teknik yang sama dengan yang penulis gunakan pada perhitungan nilai intrinsik saham EKAD. Kalau menggunakan CAGR pertumbuhan EPS dari tahun 2009 – 2019 sebesar 5.96%, maka nilai intrinsik yang didapat berada di angka IDR 2,676. Namun jika kita menggunakan CAGR EPS 2008 – 2018 sebesar 13.4%; maka nilai intrinsik PTBA akan berada di angka IDR 4,619.

Angka mana yang harus kita pakai? Well, jika kita merasa bahwa PTBA akan bisa tumbuh sampai 13.4% per tahun selama 10 tahun ke depan, maka mungkin harga yang kedua bisa dipakai. Menurut pendapat penulis, secara realistis, konsistensi perusahaan siklikal untuk menghasilkan pertumbuhan di atas 10% per tahun secara konsisten agak susah dicapai.

PER

Dengan melihat grafik PER PTBA 10 tahun terakhir, nilai PER nya berada di area di atas rata-rata PER 10 tahun terakhir. Dapat dipahami sebab performa PTBA di tahun 2020 tidak terlalu baik akibat pandemi.

Mean PER PTBA sendiri berada di angka 11.16x. Angka ini sedikit lebih mahal dibandingkan dengan ITMG yang berada di angka 10.7x, dan sedikit lebih murah dari ADRO di angka 12.15x.

PER PTBA 10 Tahun Terakhir
PER PTBA 10 Tahun Terakhir

PBV

Secara PBV, saat ini PTBA berada di bawah area -1 Standard Deviation 10 tahun terakhirnya. Secara rata-rata dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, PBV PTBA berada di angka 3.22x. Angka ini berada di atas nilai rata-rata PBV ADRO yang berada di angka 1.34x, dan ITMG yang berada di angka 2.51x.

PBV PTBA 10 Tahun Terakhir
PBV PTBA 10 Tahun Terakhir

Kesimpulan

Terdapat beberapa kesimpulan setelah analisa di atas sebagai berikut:

  1. Secara fundamental, PTBA adalah perusahaan yang sehat. Aset dan ekuitas terus bertumbuh dengan CAGR di atas 10% adalah sinyal yang baik. Perusahaan juga nyaris tidak memiliki hutang jangka panjang dari bank. Namun nilai imbalan pasca kerja yang cukup besar sepertinya harus menjadi catatan bagi manajemen untuk dapat mengelolanya dengan baik.
  2. Secara income dan efisiensi, layaknya perusahaan siklikal, performa perusahaan dipengaruhi oleh naik turun harga batubara di pasar. Ketika harga naik, profit margin PTBA cenderung lebih baik ketimbang di tahun-tahun ketika harga sedang turun.
  3. Secara umum, pendapatan perusahaan menunjukkan pertumbuhan yang agaknya disebabkan oleh meningkatnya total volume produksi dan penjualan – walaupun dengan kondisi pasar di mana harga sedang turun.
  4. Operating cashflow rata-rata positif, dengan surplus kas terbesar tentunya terjadi di tahun-tahun ketika harga naik.
  5. Dari segi volume produksi, laju pertumbuhan volume produksi PTBA 5 tahun terakhir relatif lebih tinggi dibandingkan dengan 10 tahun terakhir.
  6. Pasar domestik berkontribusi hampir 60% dari total pendapatan PTBA dengan pelanggan utama yaitu PLN dan Indonesia Power. Dalam 5 tahun terakhir, penjualan ke pasar domestik meningkat dengan pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan 10 tahun terakhir. Kondisi sebaliknya terjadi di pasar ekspor, di mana dalam 5 tahun terakhir pertumbuhannya cenderung melambat. Untuk pasar ekspor, India merupakan negara tujuan utama.
  7. Cadangan PTBA masih cukup untuk ditambang sampai 100 tahun ke depan dengan laju produksi saat ini.
  8. Indonesia adalah salah satu negara yang menandatangani Paris Agreement. Sebagai konsekuensi, pemerintah telah menetapkan target Bauran Energi Nasional, di mana komposisi batubara hanya menjadi 30% di tahun 2030, kemudian turun menjadi 25% di tahun 2050. Realisasi bauran energi tersebut sepertinya cukup akan mengalami tantangan yang cukup signifikan bagi Indonesia. Sampai tahun 2020, kontribusi batubara terhadap bauran energi nasional masih berada di angka 65%.
  9. Seperti halnya di Indonesia, Implementasi Paris Agreement juga memiliki sejumlah tantangan di banyak negara. Uni Eropa sepertinya cukup berkomitmen untuk mengurangi produksi dan penggunaan batubara sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Hanya saja, negara-negara lain seperti India dan China yang merupakan konsumen utama batubara dunia, masih menunjukkan trend konsumsi yang meningkat. Dari segi supply, Australia juga masih konsisten meningkatkan jumlah produksinya, walaupun secara konsumsi dalam negeri mengalami trend yang menurun.
  10. BeyondCoal menunjukkan komitmen perusahaan untuk menjaga agar bisnis PTBA tetap relevan. Salah satunya adalah dengan mewujudkan proyek gasifikasi batubara menjadi DME.
  11. Secara nilai intrinsik, dengan asumsi pertumbuhan yang rendah (sedikit di atas 5%), maka PTBA saat ini berada di harga wajarnya. Secara PER, PTBA saat ini sedang berada di atas rata-rata. Sedangkan dari segi PBV, PTBA saat ini sedang berada di bawah rata-rata.

Secara umum, PTBA adalah perusahaan yang baik. Bahwa ada sentimen negatif terhadap industri batubara secara umum dengan adanya kesadaran global tentang green energy, menurut penulis tidak akan serta merta membunuh industri ini dalam waktu dekat. Setidaknya untuk pemenuhan energi dalam negeri, kontribusi PTBA masih sangat signifikan.

Menurut penulis saat ini PTBA sedang berada di harga wajarnya. PER saat ini boleh jadi kurang tepat untuk dijadikan dasar pengambilan keputusan untuk membeli, sebab di tahun 2020 performa PTBA turun karena pandemi. Secara PBV, saat ini valuasi PTBA berada di range -1 standar deviasinya, jadi bisa dikatakan murah.

Jadi kapan saatnya membeli? Setidaknya menurut penulis, dua hal berikut bisa menjadi pertimbangan:

  1. Ketika harga batubara sedang jatuh, artinya siklus sedang berada di bawah. Namun tentunya harus berhati-hati, sebab tidak ada orang yang bisa menebak harga akan jatuh sampai di angka berapa. Jika harga batubara naik (saat artikel ini ditulis, harga batubara tembus USD 104/ton), maka harga PTBA mungkin naik melebihi harga wajarnya. Di tengah euforia pasar, harga saham bisa menjadi tidak wajar dan cenderung irasional.
  2. Membeli di harga sekarang dengan dividen yang diberikan tahun ini tentunya menawarkan dividen yield yang tidak terlalu menarik. Namun jika harga batubara membaik, yield yang diberikan tentunya bisa lebih menarik.

Demikian, semoga bermanfaat!

Analisa Saham Multi Bintang Indonesia (MLBI)

PT Multi Bintang Indonesia Tbk (MLBI) awalnya didirikan di Medan pada tahun 1929 di Medan dengan nama NV Nederlandsch-Indische Bierbrouwerijen. Perseroan mengalami perubahan nama lebih lanjut pada tahun 1972, menjadi P.T. Perusahaan Bir Indonesia, dan pada tahun 1973 membuka brewery baru di Tangerang.

Pada tahun 1981, perseroan mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya dengan nama PT Multi Bintang Indonesia (MLBI). Bisa dibilang, MLBI adalah salah satu dari beberapa emiten-emiten awal yang listing di bursa saham Indonesia, setelah bursa saham diaktifkan kembali di tahun 1977.

Logo MLBI

Produk utama perusahaan adalah Bir Bintang yang merupakan pemimpin pasar bir putih di Indonesia. Selain itu, perusahaan juga merupakan produsen dan penjual Bir Heineken yang mereknya dimiliki oleh induk perusahaan.

Pandemi Covid-19 saat ini agaknya berkontribusi pada penurunan pendapatan perusahaan. Harga saham emiten ini pun ikut-ikutan drop.

Apakah saat ini MLBI layak dijadikan koleksi portfolio?

Sebelum mulai, numpang iklan dulu ya! 😀 Barangkali ada yang lagi expecting to have a baby in the near future (selamat ya Moms/Dads), mungkin mau cari-cari ide nama buat adek bayinya, barangkali bisa pake tools teman penulis di nama.bayiunyu.id. 

Analisa Fundamental

MLBI adalah perusahaan yang sudah cukup lama listing di BEI, sehingga cukup banyak data historis dari Laporan Keuangan dan Laporan Tahunan (AR) yang bisa didapatkan. Dari website perusahaan, penulis berhasil mendapatkan AR dari tahun 2005.

Tahun 2020 tidak penulis ikutkan dalam semua perhitungan rata-rata ataupun pertumbuhan CAGR karena seperti yang kita ketahui bahwa COVID-19 sangat memukul industri pariwisata yang merupakan pasar utama penjualan MLBI di Indonesia.

Balance Sheet

Dilihat dari segi aset, MLBI berhasil mengembangkan aset nya dari angka IDR 535 miliar di tahun 2004 menjadi senilai hampir IDR 2.9 triliun di 2019. Angka ini menggambarkan CAGR sebesar 11.67% dalam waktu 15 tahun.

Namun apakah angka ini menggambarkan pertumbuhan yang konsisten. Hmm, rupanya tidak.

Jika kita menghitung angka CAGR dalam 2 periode timeframe yang lebih pendek, kita akan mendapati hasil yang sedikit berbeda. Dengan menggunakan timeframe 10 tahun terakhir, CAGR aset MLBI berada di angka 11.30% – hampir sama dengan periode 15 tahun terakhir. Sedangkan untuk periode yang lebih pendek yaitu 5 tahun terakhir, CAGR yang dihasilkan adalah sebesar 2.65%.

Apakah artinya? Benar! Pertumbuhan aset MLBI walaupun tetap bertumbuh, tetapi mengalami trend perlambatan.

Jika dituangkan ke dalam chart, bentuknya kira-kira seperti di bawah ini.

Pertumbuhan Aset MLBI 2004 – 2020

Bisa kita lihat, kenaikan dari sekitar tahun 2008 sampai dengan kira-kira tahun 2018 menunjukkan kenaikan yang cukup curam, sebelum akhirnya mulai mendatar.

Bagaimana dengan likuiditas perusahaan?

Well, MLBI sepertinya bukan tipe perusahaan yang suka menimbun kas dalam perusahaan. Bauran kas terhadap aset, menunjukkan angka yang konsisten dalam tiga timeframe tadi (5 tahun, 10 tahun, dan 15 tahun), yaitu di angka mendekati 12% secara rata-rata. Bisa dimaklumi, karena MLBI termasuk perusahaan yang cukup generous dalam memberikan dividen.

Bagaimana dengan tingkat hutang? Well, tentunya tidak ada masalah. MLBI termasuk cash generator sehingga tidak perlu bantuan bank (setidaknya dalam jangka panjang) untuk melakukan ekspansi.

Short Term dan Long Term Debt MBLI – screenshot dari Stockbit

Bagaimana dengan short term? Kok sepertinya banyak hutangnya? Don’t worry! Hampir sebagian besar adalah dengan pihak berafiliasi.

Income Statement

Pendapatan MLBI ternyata menunjukkan trend yang serupa.

Dari tahun 2004, MLBI berhasil menumbuhkan pendapatannya dari semula sebesar IDR 711 miliar sehingga menjadi sebesar IDR 3.7 triliun di tahun 2019. Angka ini menunjukkan pertumbuhan secara CAGR sebesar 11.65% dalam periode 15 tahun.

Jika dilihat dalam periode yang lebih pendek, terlihat bahwa terjadi perlambatan. Dengan timeframe 10 tahun terakhir angka CAGR-nya adalah sebesar 8.67%; sedangkan dalam 5 tahun terakhir adalah sebesar 2.19%.

Jika dilihat dari rata-rata pertumbuhan per tahun (beda lho dengan CAGR), dengan menggunakan timeframe yang sama akan didapatkan angka rata-rata sebesar 15.08% (15 tahun terakhir), 13.46% (10 tahun terakhir), dan 4.89% (5 tahun terakhir).

Jika disajikan dalam chart, trend ini terlihat. Sama seperti trend pertumbuhan asetnya, pertumbuhan pendapatan MLBI terlihat mulai melambat dari tahun 2018 – setelah ngegas dari sekitaran tahun 2008.

Anyway, jika dilihat terdapat patahan di tahun 2012 dan 2013. Ini karena ternyata MLBI menyajikannya dua tahun tersebut dengan periode yang berbeda yaitu 9 bulan untuk 2012, dan 15 bulan untuk 2013. Entah mengapa mereka melakukan itu.

Chart Pendapatan MLBI

Dari segi efektifitas management, MLBI menunjukkan kinerja yang sangat baik. Gross Margin dan Operating Margin menunjukkan trend peningkatan. Di tahun 2004, Gross Margin dan Operating Margin masing-masing berada di angka 43.32% dan 12.24%. Di akhir tahun 2019, efisiensi perusahaan meningkat di mana angka Gross Margin berada di angka 61.57%, sedangkan Operating Margin meningkat lebih dari dua kali lipat yaitu di angka 32.50%.

Secara rata-rata selama 10 tahun terakhir, Gross Margin MLBI berada di angka 62.15%, dan Operating Margin berada di angka 29.41%.

Trend peningkatan efisiensi MLBI ditunjukkan pada chart berikut.

Gross Margin vs Operating Margin MLBI

Cash Flow

Trend perlambatan juga terjadi pada arus kas / cash flow MLBI.

MLBI berhasil meningkatkan Operating Cash Flow dari sekitar IDR 150 miliar di tahun 2004 menjadi sekitar IDR 1.3 triliun di tahun 2019, yang menunjukkan CAGR sebesar 11.69%. Dengan timeframe 10 tahun terakhir, CAGR menunjukkan angka yang lebih rendah yaitu di angka 9.74%. Sedangkan 5 tahun terakhir berada di angka 3.87%.

Analisa Kualitatif

MLBI adalah produsen Bir Bintang sang pemimpin pasar. Tapi apakah benar perusahaan hanya memproduksi Bir saja?

Produk

Bauran produk MLBI bisa dikategorikan dalam dua segmen utama yaitu produk alkohol dan non-alkohol.

Dalam segmen alkohol, produk utama tentunya adalah Bir Bintang. Kemudian Bir Heineken yang menargetkan segmen premium. Varian lainnya adalah Bintang Radler dengan kandungan alkohol 2%. Radler sendiri juga memiliki varian non-alkohol dengan merek Bintang Radler 0.0%.

Ada satu portfolio lagi dalam segmen alkohol yaitu produk bir hitam dengan merek Guinness. MLBI memiliki hak untuk memproduksi dan mengemas produk ini. Guinness sendiri bukan merupakan merek dari group Heineken.

Walaupun bukan merupakan merek sendiri, namun pendapatan dari segmen bir hitam ini tidak bisa dianggap enteng. Secara rata-rata, bir hitam menjadi penyumbang pendapatan sebesar 13.82% untuk tahun-tahun di mana angkanya muncul di LK MLBI (alias kontribusinya di atas 10%). Dari tahun 2011 – 2020, hanya tiga kali pendapatan dari segmen ini berada di bawah 10% yaitu tahun 2018, 2017, dan 2015.

Segmen non-alkohol memiliki beberapa portolio produk seperti Bintang Zero, Radler 0.0%, Green Sands, Strongbow, dan Fayrouz. Dua produk terakhir diluncurkan sekitar tahun 2016, jadi mungkin penetrasinya tidak sekuat merek-merek lainnya (baca: kurang terkenal).

Secara kinerja, tentunya segmen alkohol merupakan penyumbang pendapatan terbesar. Segmen ini menyumbang hampir 90% pendapatan perusahaan. Jika dilihat secara trend, komposisi 90:10 antara dua segmen ini terlihat cukup konsisten antara tahun 2011 sampai dengan 2019.

Pendapatan segmen alkohol vs non-alkohol MLBI

Pasar

MLBI mengasosiasikan produk mereka dua hal – musik dan olahraga. Setidaknya secara garis besarnya.

Bir Bintang memiliki program-program marketing seperti “sounds of Bintang”, “Bersama Kita Bintang”, serta aktif mensponsori acara-acara musik seperti Java Jazz dan Soundrenaline. Sedangkan Heineken, aktif melakukan kampanye melalui program-program olahraga seperti Liga Champions dan Piala UEFA.

Bali, adalah salah satu pasar terpenting perusahaan. Seperti produk alkohol lainnya, daerah pariwisata seperti Bali tentu adalah pasar yang seksi. Menikmati minuman beralkohol seringkali menjadi salah satu cara bersantai dan bersenang-senang saat liburan, tentunya untuk mereka yang boleh melakukannya.

Distribusi produk-produk MLBI di Bali dilakukan oleh PT Bintang Bali Indah (BBI). Kontribusi penjualan ke BBI memberikan kontribusi rata-rata sebesar 18.47% dari tahun 2011 sampai dengan 2019. Trend-nya pun meningkat. Di tahun 2011, kontribusi penjualan ke BBI adalah sebesar 16.42%, sedangkan tahun 2019 angka ini tumbuh menjadi sebesar 25.51%.

Dengan kontribusi pasar yang sedemikian besarnya, turunnya aktivitas pariwisata di Bali sampai hampir mendekati nol akibat pandemi tentunya sangat memukul kinerja perusahaan. Pendapatan dari BBI turun dari angka IDR 947 miliar di tahun 2019, menjadi hanya sebesar IDR 345 miliar di tahun 2020 – turun sebesar hampir 64%.

Kinerja di quarter I 2021 juga tidak terlalu menggembirakan. Pendapatan dari penjualan ke BBI turun dari quarter yang sama tahun sebelumnya sebesar IDR 189 miliar, menjadi hanya sebesar hampir IDR 70 miliar saja. Angka ini setara dengan penurunan sebesar hampir 63%.

Jika dibandingkan dengan periode yang sama sebelum pandemi, angka ini bahkan menjadi jauh lebih buruk. Q1 2019, penjualan ke BBI mencapai hampir IDR 321 miliar, sehingga angka di Q1 2019 menunjukkan penurunan sebesar 78%.

Namun demikian, dalam AR 2020, manajemen melaporkan bahwa pasar lainnya justru terjadi penguatan. Walaupun rata-rata mengalami penurunan di awal pandemi, pasar-pasar di luar Bali mengalami pemulihan yang jauh lebih cepat. Hal ini tentunya adalah hal positif.

Multi Bintang tetap memimpin di pasar bir. Kami melihat adanya pertumbuhan pangsa pasar di seluruh wilayah kecuali Bali, serta di segmen premium sebagai hasil dari kekuatan merek Heineken yang terus berlanjut dan kinerja yang kuat selama periode perayaan akhir tahun.

Jawa, kontributor utama bisnis kami lainnya, tidak terlalu terpengaruh. Volume penjualan menurun secara signifikan pada awal krisis, tetapi mulai menguat di akhir tahun. Pasar lainnya di Sumatera Utara, Batam, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, mengalami pemulihan yang jauh lebih cepat, terutama pada kuartal terakhir. Hal ini sebagaimana dialami daerah tujuan yang disebut “Bali Baru”, termasuk Labuan Bajo dan Lombok.

AR MLBI, 2020

Management

Seperti umumnya PMA di Indonesia, posisi-posisi penting di MLBI diisi oleh para profesional dari group induk (Heineken NV). Dukungan dari group induk sepertinya memiliki faktor yang sangat penting dalam usaha perusahaan meningkatkan profit margin. MLBI rajin melakukan peningkatan-peningkatan proses dan fasilitas produksinya, dengan dukungan teknologi dan manajemen dari group induk.

Layaknya perusahaan mature lainnya, MLBI rajin membagikan deviden bahkan dua kali dalam setahun. Tahun ini, MLBI membagikan dividen sebesar IDR 475, yang mana dengan harga saat artikel ini ditulis (IDR 8,975) setara dengan deviden yield sebesar 5.3%.

MLBI rajin membagikan deviden dua kali dalam setahun

Valuasi

Seperti biasa, penulis melihat valuasi dilihat dari tiga hal sederhana: perhitungan nilai intrinsik, PER, dan PBV.

Nilai Intrinsik

Dengan menggunakan data-data sebelum pandemi yaitu CAGR EPS sebesar 8.69%, dengan menggunakan perhitungan yang sama ketika melakukan perhitungan nilai intrinsik saham EKAD, dengan menggunakan deviden payout ratio konservatif sebesar 30%, penulis mendapati nilai intrinsik MLBI berada di rentang IDR 6,995 – IDR 14,225. Jadi bisa dikatakan bahwa saat ini MLBI sedang berada di harga wajarnya.

Sebagai produsen produk konsumsi (consumer products) dan dengan merek sekuat Bintang, bisa dikatakan saat ini MLBI sedang dihargai murah oleh pasar.

PER

Dengan penurunan pendapatan yang sangat signifikan akibat pandemi saat ini, PER MLBI berada pada angka 64.20x. Jika melihat angka PER saja untuk menilai murah atau tidaknya saham MLBI saat ini tentunya sangat tidak tepat sebab angka PER 64.20 adalah valuasi yang sangat tinggi.

PER MLBI 10 Tahun Terakhir

PBV

PBV MLBI saat ini berada di angka 11.96x. Angka ini berada di bawah rentang -1 Standar Deviasinya. PBV MLBI saat ini bahkan merupakan yang terendah dalam 10 tahun terakhir. Jadi bisa dikatakan secara PBV, saat ini valuasi MLBI bisa dikatakan murah.

PBV MLBI 10 Tahun Terakhir

Kesimpulan

Terdapat beberapa kesimpulan setelah paparan sederhana di atas sebagai berikut:

  1. Dalam jangka pendek – setidaknya tiga tahun terakhir, pertumbuhan MLBI bisa dibilang melambat. Hal ini tercermin pada angka pertumbuhan CAGR yang lebih kecil jika dihitung dengan menggunakan periode waktu yang lebih kecil (misal 5 tahun), dibandingkan jika dihitung menggunakan periode yang lebih panjang (misal 10 atau 15 tahun). Perlambatan ini tercermin terutama pada pendapatan, pertumbuhan aset, dan operating cashflow.
  2. Dari segi efisiensi, MLBI menunjukkan kinerja yang sangat baik. Terbukti dari peningkatan Gross Margin dan Operating Margin dari tahun ke tahun.
  3. Pendapatan terbesar MLBI adalah dari produk alkohol dengan merek Bintang sebagai merek utama, didukung oleh Heineken yang bermain di kelas premium.
  4. Bali adalah pasar yang sangat strategis. Bali menyumbang pendapatan sebesar lebih dari 25% dari total pendapatan perusahaan. Kondisi pandemi saat ini yang memukul pariwisata di Bali agaknya memiliki imbas yang cukup signifikan pada perusahaan, walaupun pasar-pasar di luar Bali pulih lebih cepat.
  5. Sebagai perusahaan yang mature, perusahaan rajin memberikan deviden, bahkan dua kali dalam setahun. Di harganya yang sekarang, dividen yield yang ditawarkan cukup menarik (di atas 5%) – lebih tinggi dari bunga deposito.
  6. Dari segi nilai intrinsik, MLBI berada di rentang harga wajarnya. Sedangkan dari valuasi PBV, valuasi saat ini bisa dibilang murah.

Dari semua item-item di atas, MLBI bisa dikatakan sebagai emiten turn-around – entah sedang turning, atau akan turning. Dengan pertumbuhannya yang cenderung melambat, ekspekstasi bagger di emiten ini tentunya lebih kecil dibandingkan emiten lain yang memiliki trend pertumbuhan yang lebih tinggi.

Kondisi pandemi saat ini tentunya berimbas pada perusahaan. Jika pandemi berkepanjangan, maka kegiatan-kegiatan pariwisasta serta event-event baik musik maupun olahraga tidak dapat dilakukan. Kondisi ini ikut memukul harga saham perusahaan.

Hanya saja, harga saham yang turun saat ini justru memberikan kesempatan bagi mereka yang hobi mengoleksi emiten dengan dividen yield yang tinggi. Jika mulai dikoleksi dari sekarang, ketika pandemi sudah selesai dan orang-orang mulai berwisata kembali, maka pendapatan perusahaan tentu akan meningkat, sehingga dividen yield yang ditawarkan di masa depan akan jauh lebih menarik.

Tidak ada yang tahu kapan pandemi akan berakhir. Tidak ada yang tahu pula apakah harga saham MLBI akan semakin turun, atau justru berbalik naik.

Menurut penulis, mulai mengoleksi MLBI saat ini secara perlahan-lahan mungkin bisa dipertimbangkan. Tentunya dengan money management yang baik. Jadi kalau harganya tambah turun, kita masih punya amunisi untuk serok.

Demikian, semoga bermanfaat.

Analisa Saham Sido Muncul Tbk (SIDO)

Sido Muncul awalnya didirikan sebagai usaha jamu rumahan, dirintis di Yogyakarta pada tahun 1930an oleh Ibu Rahmat Sulistio. Pada tahun 1940, Ibu Rahmat Sulistio untuk pertama kalinya meracik ramuan jamu godogan untuk masuk angin yang dinamakan “Tolak Angin”.

Hari ini, Tolak Angin adalah pemimpin pasar dalam produk jamu herbal. Dengan tagline “Orang pintar minum Tolak Angin”, produk ini bahkan mulai merambah pasar luar negeri.

Logo Sido Muncul
Sebelum mulai, numpang iklan dulu ya! 😀 Barangkali ada yang lagi expecting to have a baby in the near future (selamat ya Moms/Dads), mungkin mau cari-cari ide nama buat adek bayinya, barangkali bisa pake tools teman penulis di nama.bayiunyu.id. 

Analisa Fundamental

Karena SIDO baru IPO pada tahun 2013, penulis menggunakan data dari tahun 2012 sampai dengan 2020. Kebanyakan data penulis ambil dari stockbit.

Balance Sheet

Tidak banyak yang penulis bisa bahas secara khusus dari sisi Balance Sheet. Secara umum, aset dan ekuitas SIDO bertumbuh dari tahun ke tahun. Secara CAGR, pertumbuhan aset dari tahun 2013 – 2019 adalah sebesar 3.87%, dan untuk periode yang sama CAGR ekuitas SIDO adalah sebesar 2.97%. Secara relatif, menurut penulis angka ini bukan angka yang luar biasa.

SIDO hampir tidak pernah memiliki hutang jangka panjang (terutama yang berasal dari bank). Liabilitas jangka panjang tercatat diisi oleh akun-akun yaitu imbalan kerja karyawan, pajak tangguhan, dan sewa.

SIDO nyaris tidak memiliki hutang dari tahun ke tahun

Income Statement

Pendapatan SIDO dari tahun ke tahun secara umum meningkat. Hanya saja peningkatannya tidak terlalu signifikan. Tahun 2012, Total Pendapatan SIDO adalah sebesar IDR 2,392 miliar (hampir mencapai IDR 2.4 T). Sedangkan di tahun 2020, Total Pendapatan SIDO adalah sebesar IDR 3,335 miliar. Angka ini menghasilkan CAGR sebesar 4.47% yang mana bisa dibilang biasa saja.

Walaupun demikian, pertumbuhan pendapatan SIDO sebenarnya mulai membaik dari tahun 2018, di mana dari 2018 sampai dengan tahun 2020, pendapatan SIDO tumbuh sebesar 7.34%, 11%, dan 8.74%.

Dari segi profitabilitas, SIDO mencatatkan peningkatan margin dari tahun ke tahun.

Untuk Laba Kotor, dalam kurun waktu 8 tahun, SIDO mampu meningkatkan perolehan Laba Kotor dari angka IDR 921 miliar di tahun 2012, menjadi IDR 1,823 miliar di tahun 2020. CAGR Laba Kotor dalam periode ini adalah sebesar 9.03%. Margin Laba Kotor pun meningkat, dari sebesar 38.50% di tahun 2012, menjadi 55.14% di tahun 2020.

Hampir mirip dengan Laba Kotor, dari segi Laba Bersih, SIDO juga menunjukkan pertumbuhan yang baik. Di tahun 2012, Laba Bersih SIDO adalah sebesar IDR 388 miliar, sedangkan di tahun 2020 angka ini tumbuh menjadi sebesar IDR 934 miliar – nilai CAGR sebesar 11.61%. Dari segi margin, juga terjadi peningkatan, yaitu dari angka 17.12% di tahun 2012, menjadi 28.01% di tahun 2020.

Total Pendapatan, Laba Kotor, dan Laba Bersih SIDO 2012 – 2020
Peningkatan margin SIDO 2012 – 2020

Jadi, Total Pendapatan SIDO secara rata-rata bisa dikatakan biasa saja. Namun SIDO konsisten melakukan efisiensi di sana sini sehingga mampu terus meningkatan profit margin-nya.

Cashflow

Setelah IPO, cashflow SIDO meningkat cukup pesat. Di tahun 2014 (pasca IPO), SIDO mencatatkan operating cashflow sebesar IDR 369 miliar. Sedangkan di tahun 2020, angka ini naik menjadi sebesar IDR 1,036 miliar. Angka-angka ini menunjukkan CAGR sebesar 18.77%.

Sebuah angka yang luar biasa.

Sampai di sini mungkin muncul pertanyaan, dengan pertumbuhan cashflow yang luar biasa, mengapa pertumbuhan aset dan ekuitas SIDO terkesan biasa-biasa saja? Penulis menduga jawabannya adalah dividen.

Sebagai perbandingan, Ultrajaya adalah tipe perusahaan yang lebih memilih untuk menahan laba atau cash di dalam perusahaan ketimbang membagikannya dalam bentuk dividen. Sebagai hasilnya, pertumbuhan aset dan ekuitas Ultrajaya lebih baik dari SIDO.

Pertanyaannya kemudian, kalau SIDO lebih memilih untuk memberikan dividen ketimbang melakukan ekspansi, apakah dividen yield yang dihasilkan di masa kini (dan akan datang) cukup menarik untuk dijadikan investasi?

Analisa Kualitatif

Produk

Sejak tahun 2015, SIDO mengklasifikasi bisnisnya ke dalam tiga segmen usaha: Jamu Herbal, Makanan dan Minuman, dan Farmasi.

Segmen Jamu Herbal agaknya didominasi oleh Tolak Angin yang terdiri dari beberapa varian yaitu Tolak Angin Cair, Tolak Angin Cair Anak, Tolak Angin Bebas Gula dan Tolak Angin Flu, Tolak Linu Cair, Tolak Linu Mint, Jamu Komplit, Sari Kulit Manggis, dan Sari Kunyit. Pada tahun 2020, Sido Muncul meluncurkan produk softcapsule yang terdiri dari 7 macam, yaitu: Tolak Angin, Tolak Linu, Sari Kunyit, Vit E100, Vit E300, VCO, dan Vit D 400iu serta Kapsul JSH.

Produk unggulan untuk segmen Food & Beverage antara lain Kuku Bima Ener-G! dengan berbagai macam varian rasa antara lain Anggur, Mangga, Jeruk, Original, Kopi, Susu Soda, Jambu dan Nanas, Susu Jahe, Kopi Jahe, serta berbagai macam minuman kesehatan lainnya. Sedangkan produk farmasi unggulan antara lain Anacentine Sirup, Inflasone, dan Licodexon.

Kalau secara pribadi, penulis setidaknya pernah mendengar Tolak Angin dan Kuku Bima Ener-G. Yang pertama sukses dengan tagline “Orang pintar minum tolak angin”, sedangkan Kuku Bima Ener-G rajin menggandeng public figure seperti Ade Rai, Chris John, Iko Uwais, dan lain-lain. Agaknya dari segi marketing, dua merek andalan SIDO ini cukup sukses membangun product awareness.

Lalu bagaimanakah performa masing-masing segmen? Dengan menggunakan data dari laporan keuangan tahun 2014 – 2020, terdapat beberapa catatan menarik.

Performa Segmen Bisnis SIDO 2014 – 2020

Segmen Jamu Herbal saat ini adalah segmen penyumbang pendapatan terbanyak dan dengan trend yang meningkat. Segmen ini di tahun 2014 menyumbang pendapatan sebesar IDR 1,076 miliar yang setara dengan 48.96% dari total pendapatan. Di tahun 2020, jumlah pendapatan dari segmen ini telah berkembang lebih dari dua kali lipatnya, menjadi sebesar IDR 2,221 miliar yang mewakili kontribusi pendapatan sebesar 66.60%. Secara CAGR, pertumbuhan segmen ini berada di angka 12.84% untuk periode 2014 – 2020.

Segmen makanan dan minuman ternyata menunjukkan pertumbuhan yang stagnan, bahkan sedikit menurun. Tahun 2014, segmen ini menyumbang pendapatan sebesar IDR 1,095 miliar (49.82 % dari total pendapatan). Sedangkan di tahun 2020, segmen ini memberikan kontribusi pendapatan sebesar IDR 1,005 miliar (30.15% dari total pendapatan). CAGR segmen ini untuk periode 2014 – 2020 adalah sebesar -1.41%.

Segmen farmasi adalah segmen teranyar SIDO. Segmen ini agaknya ditandai dengan akusisi PT Berlico Mulia Farma di tahun 2014. Walaupun saat ini kontribusi segmen ini masih sangat kecil yaitu sebesar IDR 108 miliar di tahun 2020 (sekitar 3.25% dari total pendapatan); tetapi segmen ini bertumbuh sangat cepat. Dari tahun 2014 sampai 2020, angka CAGR di segmen ini adalah sebesar 26.23%.

Kontribusi Segmen Terhadap Pendapatan SIDO 2020

Pasar

Dari analisa LK diketahui bahwa secara agregat, nilai penjualan SIDO hanya tumbuh dengan angka CAGR sebesar 4.47%. Angka CAGR sebesar 4.47% dalam waktu 8 tahun tentunya bukan merupakan angka yang spektakuler. Walaupun demikian, dalam jangka pendek, dari tiga tahun terakhir SIDO berhasil menggenjot pertumbuhan pendapatan dari tahun ke tahun di atas angka CAGR bahkan mencapai 11% di tahun 2019.

Angka pertumbuhan yang stagnan, tentunya menimbulkan pertanyaan, apakah pasar SIDO sudah jenuh alias pasar yang saat ini sudah dijangkau sudah digarap dengan maksimal? Mungkin iya, mungkin tidak.

Agaknya hal ini menjadi pertimbangan bagi SIDO. Ketika existing market sudah mulai stagnan, yang bisa kita lakukan adalah merambah pasar baru atau membuat produk baru. SIDO melakukan keduanya. Khusus untuk yang pertama, dijawab SIDO dengan melakukan penetrasi pasar ekspor.

Tahun 2017, SIDO mendirikan cabang perusahaan di Filipina. Langkah ini menjadi salah satu langkah strategis SIDO untuk mulai menggarap pasar ekspor “dengan lebih serius”, dimulai dari pasar ASEAN.

Di tahun 2017, Perseroan berencana untuk memperkuat aktivitas ekspor dengan target meningkat dari 2% saat ini menjadi 5% dari total penjualan. Walaupun produk Perseroan sudah dijual di 15 negara, porsi ekspor masih sangat kecil, karena perseroan tidak mengekspor secara langsung. Produk Sido Muncul sudah diekspor ke negara-negara seperti Malaysia, Brunei, Singapura, Filipina, Myanmar, Suriname, Afrika Selatan, Nigeria, Australia, Belanda, serta negara-negara Eropa dan Amerika, tetapi tidak melalui jaringan distribusi sendiri. Tahun 2017 Perseroan merencanakan untuk melakukan sendiri kegiatan ekspor dengan mendaftarkan produk-produk Sido Muncul di negara-negara tersebut dan membentuk semacam perwakilan. Aturan mengenai produk herbal dengan pemahaman yang berbeda-beda di negara tujuan ekspor merupakan tantangan tersendiri dalam meningkatkan volume penjualan di pasar ekspor.

SIDO, AR 2017

Di tahun yang sama, SIDO memperoleh izin dari BPOM Filipina, yang kemudian dilanjutkan dengan melakukan ekspor perdana di tahun 2018.

Di tahun yang sama, SIDO mendirikan Muncul Nigeria Limited untuk mengembangkan potensi pasar di Afrika. Dan yang paling terakhir, SIDO melakukan ekspor perdana produk Tolak Angin ke Arab Saudi di bulan Agustus 2020.

Sayangnya penulis tidak dapat menemukan seberapa besar kontribusi pasar ekspor bagi perusahaan di AR SIDO tahun 2020. Di AR tahun sebelumnya, perusahaan hanya menyebutkan bahwa pasar ekspor berkontribusi sebesar 5% dari total penjualan, naik dari tahun sebelumnya yang hanya sebesar 2%.

Keseriusan SIDO untuk menggarap pasar ekspor juga tercermin dalam agenda rapat direksi. Update kinerja ekspor hampir menjadi agenda tetap dalam rapat bulanan direksi.

Di tahun 2021, Affinity Equity Partners mengakuisisi sebanyak 21% saham SIDO. Keterlibatan Affinity di SIDO sebenarnya telah dimulai dari tahun 2018 dengan masuknya dua orang perwakilan mereka di kursi Dewan Komisaris. Kehadiran Affinity tentunya diharapkan mampu meningkatkan performa SIDO dalam menggenjot pengembangan pasar internasional terutama Asia Pasifik.

Sebagai investor retail, kinerja pasar ekspor SIDO menarik untuk diamati. Dengan brand Tolak Angin yang sangat kuat, mungkin SIDO bisa mengikuti kesuksesan Indofood dengan ekspor Indomie-nya. Kinerja ekspor SIDO menjadi kunci pertumbuhan SIDO di masa mendatang.

Management

Dividen

SIDO termasuk perusahaan yang rajin menyetor dividen kepada pemegang sahamnya, bahkan bisa dua kali dalam setahun. Dividen Yield secara fluktuatif berada di kisaran 3% – 6%, bahkan sempat mencapai 8%. Payout ratio rata-rata berada di atas 80%.

Chart Dividen Yield SIDO

Untuk laba tahun 2020 sendiri, SIDO mengalokasikan 60.7% laba perusahaan untuk melakukan pembayaran dividen, dengan Dividen Yield sebesar 2.4%.

Buyback

SIDO tercatat melakukan buyback saham pada tahun 2015 dan 2016. Menurut management, hal tersebut dilakukan mengingat pasar saham yang cukup fluktuatif saat itu menyebabkan saham SIDO dijual di bawah harga wajarnya. Saham treasuri hasil buyback tersebut telah dijual kembali secara perlahan. Sampai saat ini SIDO masih memiliki sekitar 0.76% saham treasuri yang rencananya tetap akan dipegang perusahaan setidaknya sampai tahun 2022.

Pembelian / Penjualan Saham Treasuri SIDO AR 2020

Langkah buyback SIDO ketika market crash patut diapresiasi. Namun, buyback yang dilakukan SIDO agak sedikit berbeda dengan continuous buyback seperti yang dilakukan PSP EKAD atau ULTJ.

Dalam kasus EKAD dan ULTJ, PSP secara rutin membeli saham perusahaan. Kita tentunya hanya bisa menebak-nebak mengapa mereka melakukan itu, dan tentunya berharap motifnya adalah karena mereka yakin akan prospek bisnis perusahaan di masa depan.

Buyback yang dilakukan SIDO sepertinya dilakukan dengan motif jangka pendek untuk “mengamankan harga”, ketimbang motif jangka panjang seperti dalam kasus EKAD / ULTJ.

Royalti

Keluarga Hidayat sebagai pemegang lisensi rahasia dagang SIDO (penulis menduga ini resep jamunya), akhirnya melepas hak tersebut kepada perusahaan di tahun 2018, seharga IDR 33.95 miliar. Sebelumnya, SIDO harus membayar royalti sebesar 1.5% dari penjualan neto kepada CV Mekar Subur.

Penjualan lisensi kepada perusahaan tentunya akan memastikan kelangsungan kualitas produk SIDO di masa depan. Walapun, penulis menduga mungkin juga hal ini dilakukan untuk menyambut kehadiran investor lain (Affinity). Tentunya akan sangat berisiko bagi investasi mereka, kalau lisensi dagang masih dimiliki keluarga Hidayat.

Apa-pun itu, menurut penulis, penjualan lisensi ke perusahaan dalam jangka penjang akan menguntungkan investor.

Valuasi

OK, so far kita tahu bahwa SIDO adalah perusahaan dengan fundamental yang baik. Bagaimana dengan valuasinya? Seperti biasa, penulis melakukan analisa sederhana seperti di bawah ini.

Nilai Intrinsik

Dengan asumsi growth EPS sebesar 12.74% (berdasarkan data historis tahun 2012 – 2020), penulis mendapati nilai intrinsik SIDO berada di rentang harga IDR 598 – 912. Dengan harga saat ini di kisaran IDR 785, SIDO sedang berada di rentang harga wajarnya dengan potensi kenaikan hanya sebesar 16.27% saja.

Karena SIDO tidak menyediakan margin of safety yang cukup, maka menurut pakem value investing, harga SIDO saat ini bisa dikatakan mahal.

PER

Dari segi PER, valuasi SIDO konsisten meningkat. Artinya pasar semakin menghargai mahal harga saham SIDO. Standar deviasi PER SIDO berada di angka 20.74x. Dengan harga saat ini, PER SIDO berada di kisaran 25.21x, di atas +1 standar deviasinya. Jadi secara PER, valuasi SIDO juga bisa dikatakan mahal.

PER SIDO 5 tahun terakhir

PBV

Trend valuasi SIDO juga menunjukkan hal yang sama. Semakin hari, saham SIDO semakin dihargai mahal oleh para investornya. Berdasarkan PBV, SIDO saat ini berada di angka 7.31x, cukup jauh berada bahkan di atas +1 standar deviasinya di kisaran 6.10x. Secara PBV, SIDO bisa dikatakan mahal.

PBV SIDO 5 tahun terakhir

Kesimpulan

Terdapat beberapa hal yang penulis bisa simpulkan dari analisa sederhana yang sudah kita lakukan di atas:

  1. SIDO adalah perusahaan dengan fundemental yang baik. Perusahaan memiliki likuiditas yang cukup bahkan cenderung cash-rich. Selain itu, perusahaan nyaris tidak memiliki hutang yang bersifat jangka panjang dan terutama yang berasal dari bank.
  2. Penjualan SIDO 10 tahun menunjukkan angka CAGR yang rendah. Namun demikian, terjadi peningkatan kinerja penjualan setidaknya selama 3 tahun terakhir dengan angka pertumbuhan setidaknya 7% dari tahun sebelumnya.
  3. Angka CAGR yang rendah, patut diduga diakibatkan oleh pasar SIDO yang sudah stagnan di dalam negeri. Mungkin saja penetrasi pasarnya sudah maksimal.
  4. Perusahaan berkomitmen untuk terus menggenjot pasar ekspor sebagai salah satu langkah strategis untuk meningkatkan pertumbuhan. Sampai saat ini pasar ekspor setidaknya berkontribusi sebanyak 5% dari total penjualan.
  5. Secara bauran produk, jamu herbal dengan merek utama Tolak Angin masih menjadi produk andalan. Setidaknya dua kali ekspor perdana ke Filipina dan Arab Saudi adalah untuk produk Tolak Angin. Di Filipina sendiri produk ini telah mendapatkan izin dari BPOM setempat.
  6. Secara cashflow, SIDO menunjukkan angka CAGR yang luar biasa, yaitu sebesar 18.77%. Namun laju pertumbuhan cashflow yang tinggi tidak dibarengi dengan tingkat pertumbuhan aset dan ekuitas yang sama. Agaknya hal ini disebabkan oleh pembagian dividen yang rutin dilakukan perusahaan.
  7. SIDO rajin membagikan dividen bahkan sampai 2 kali dalam setahun dengan yield yang cukup menarik.
  8. Secara valuasi, saat ini SIDO bisa dikatakan mahal.

Apakah SIDO cukup menarik untuk dimasukkan ke dalam portfolio?

Well… aliran value investing mungkin akan menjawab tidak karena valuasinya yang cenderung mahal. Sedangkan aliran quality investing akan menjawab iya dan menjadikan valuasi yang mahal tersebut sebagai justifikasi atas kualitas perusahaan.

Menurut penulis sendiri:

  1. Untuk tetap berada di kisaran valuasi premium, SIDO harus mampu melakukan dua hal: meningkatkan pertumbuhan, dan rutin membayar dividen dengan yield yang menarik.
  2. Khusus untuk yang pertama, strategi ekspor akan menjadi salah satu faktor strategis. Jika SIDO sukses melakukan penetrasi pasar luar negeri, penulis yakin saham SIDO akan dihargai bahkan lebih mahal dari harganya saat ini.

Demikian, semoga bermanfaat.

Analisa Saham Ultrajaya (ULTJ) – Pelit Dividen?

PT Ultrajaya Milk Industry & Trading Company Tbk (ULTJ) adalah perusahaan produsen minuman UHT (Ultra High Temperature). Berdiri sejak tahun 1960an sebagai usaha keluarga, ULTJ berhasil menjadi produsen terbesar susu UHT di Indonesia dengan omset triliunan rupiah.

Berbicara tentang ULTJ, akhir-akhir ini yang paling banyak dibicarakan adalah tentang kecenderungan management untuk menimbun cash-nya, ketimbang memberikannya kepada investor sebagai dividen. Pelit, gitu lah katanya. 🙂

Apakah benar demikian? Dan jika benar, layakkah untuk dikoleksi ke dalam portfolio kita?

Logo Ultrajaya
Sebelum mulai, numpang iklan dulu ya! 😀 Barangkali ada yang lagi expecting to have a baby in the near future (selamat ya Moms/Dads), mungkin mau cari-cari ide nama buat adek bayinya, barangkali bisa pake tools teman penulis di nama.bayiunyu.id. 

Fundamental

Seperti biasa, penulis akan melakukan analisa fundamental secara singkat dengan melihat Balance Sheet, Income Statement, dan Cashflow.

Balance Sheet

ULTJ adalah salah satu cash rich company. Saking banyaknya uang kas perusahaan, tidak sedikit pelaku pasar yang memberikan opini yang negatif pada perusahaan ini. Mulai dari keraguan akan kemampuan manajemen melakukan ekspansi (uang kas segitu banyak kok ga bikin apa-apa?); sampai dengan kecurigaan mengalirnya dividen dengan “cara-cara siluman” yang hanya menguntungkan kantong PSP.

Untuk masalah “cara-cara siluman”, penulis tidak membahasnya. 😉

Sebenarnya, berapa banyakkah uang kas perusahaan ini?

Menganalisa dari LK 2009 sampai 2019, sepertinya memang perusahaan ini “hobi” menumpuk uang kas. Bahkan dengan persentase yang cenderung meningkat. Di tahun 2009, aset lancar berupa kas atau setara kas adalah sebesar 215 miliar. Angka ini merepresentasikan 12.41% total aset. Persentase ini meningkat lebih dari dua kali lipatnya di tahun 2019, di mana ULTJ mempunyai aset kas sebesar 2 triliun lebih, yang mencerminkan persentase sebesar 30.89% dari total aset.

Secara rata-rata, dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2019, uang kas merepresentasikan aset ULTJ sebanyak 23.72%.

Kas ULTJ dibandingkan dengan total aset tahun 2009 – 2019

ULTJ adalah perusahaan yang nyaris tidak memiliki hutang (analisa 2019 ke belakang lho ya). Data stockbit menunjukkan bahwa dari tahun 2013, perusahaan nyaris tidak pernah memiliki hutang jangka panjang (terutama dari bank) – di mana hutang bank jangka panjang hanya pernah tercatat di tahun 2018 saja, yaitu sebesar IDR 17 miliar.

ULTJ nyaris tidak memiliki hutang jangka panjang dari bank (sampai tahun 2019)

Dengan posisi kas yang berlimpah dan hutang yang sangat sedikit, bisa disimpulkan bahwa ULTJ adalah perusahaan yang sangat sehat.

NOTE: Di tahun 2020, ULTJ menerbitkan surat hutang jangka menengah (MTN) sebesar 3 triliun. Jadi untuk beberapa tahun ke depan, sepertinya beban perusahaan akan bertambah untuk melunasinya. More on this later…

Income Statement

ULTJ adalah salah satu emiten yang secara konsisten mencetak laba.

Dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2019, ULTJ konsisten meningkatkan pendapatannya. Di tahun 2009, pendapatan ULTJ adalah sebesar 1.613 T. Sedangkan di tahun 2019, angka ini meningkat menjadi sebesar 6.241 T. Angka ini menunjukkan CAGR pertumbuhan sebesar 14.48%.

Gross profit dan operating profit juga konsisten menunjukkan peningkatan margin. Di 2009, gross profit dan operating profit ULTJ masing-masing berada di angka 26.14% dan 3.79%. Sedangkan di tahun 2019, gross profit dan operating ULTJ adalah sebesar 37.65% dan 20.26%. Kedua angka ini menunjukkan bahwa selain konsisten meningkatkan revenue, ULTJ juga secara konsisten mengefisienkan proses produksi dan operasional perusahaannya. Dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2019, rata-rata Gross Profit ULTJ adalah sebesar 31.80%; sedangkan rata-rata Operating Profit adalah sebesar 20.26%.

Dilihat dari Net Profit, ULTJ juga mencatatkan pertumbuhan yang luar biasa. Dari Net Profit di tahun 2009 yang hanya sebesar 61.152 miliar, dalam waktu 10 tahun ULTJ mampu mengembangkannya menjadi sebesar 1.026 T di tahun 2019. Angka ini mencerminkan CAGR sebesar 32.59%. Secara rata-rata, Net Profit Margin ULTJ berada di angka 10.38%.

Revenue, Gross Profit, Operating Profit, and Net Profit ULTJ 2009 – 2019
Peningkatan Margin ULTJ 2009 – 2019

Bagaimana dengan tahun 2020?

Di tahun pandemi, kinerja ULTJ bisa dikatakan baik. Walaupun terjadi penurunan revenue menjadi “hanya” sebesar 5.967 T, namun secara profit naik menjadi 1.161 T.

Cashflow

Secara cashflow, ULTJ juga menunjukkan kinerja yang sangat baik. Tahun 2019, Operating Cashflow yang dihasilkan hanya sebesar IDR 16 miliar. Angka ini naik menjadi IDR 1,097 miliar di tahun 2019, yang merupakan kenaikan CAGR sebesar 56.62%. Angka ini sangat luar biasa.

Analisa Kualitatif

Management

Ultrajaya adalah tipikal perusahaan keluarga. Saat ini, setidaknya ada 4 orang keluarga Prawirawidjaja duduk dalam management.

Dua orang anggota keluarga duduk sebagai Dewan Komisaris, yaitu Supiandi Prawirawidjaja dan Suhendra Prawirawidjaja yang masing-masing menjabat sebagai Presiden Komisaris dan Anggota. Sedangkan dua orang lagi yaitu Sabana Prawirawidjaja dan Samudera Prawirawidajaja yang masing-masing menjabat sebagai Presiden Direktur dan Direktur perusahaan.

Sabana Prawirawidjaja adalah putra dari sang pendiri yaitu Achmad Prawirawidjaja (alm), sedangkan Bapak Samudera yang merupakan generasi ketiga penerus perusahaan ini adalah putra dari Sabana Prawirawidjaja. Samudera sendiri telah mulai terlibat di perusahaan sejak tahun 1989, sehingga bisa dikatakan telah sangat memahami seluk beluk management perusahaan. Dari segi keberlangsungan management, sepertinya ULTJ tidak ada masalah.

Buyback

Salah satu attitude management yang penulis sukai adalah hobi perusahaan (dan pemiliknya) melakukan buyback saham.

Menurut data insider di stockbit, Pak Sabana terus menerus melakukan akumulasi saham ULTJ setidaknya dari tahun 2018. Jumlahnya pun tidak tanggung-tanggung. Tercatat, di bulan Agustus 2020, Pak Sabana membeli sebesar 13 miliar lembar saham Ultrajaya. Pembelian ini kemudian terjadi lagi dengan jumlah 2,9 miliar lembar saham.

Pembelian Saham ULTJ Oleh Sabana Prawirawidjaja

Perusahaan sendiri di tahun 2020 juga telah melakukan buyback sebesar 10% pada bulan Agustus 2020.

Menurut kabar yang beredar di kalangan pelaku pasar (setidaknya di stockbit), pembelian ini dilakukan dari Indolife Pensiontama yang terasosiasi dengan Group Salim, pemilik merek Indomilk. Mungkin Pak Sabana Cs tidak suka ada perusahaan pesaing ikut memiliki saham perusahaan – mungkin lho ya… 🙂

Tetapi apa pun itu, sikap management dan perusahaan yang membeli sahamnya sendiri dari pasar, menunjukkan besarnya kepercayaan dari management tentang masa depan perusahaan. Kalau PSP nya saja beli, kenapa kita tidak?

Buying back shares is the simplest and best way a company can reward its investors. If a company has faith in its own future, then why shouldn’t it invest in itself, just as the shareholders do? The announcement of massive share buybacks by company after company broke on October 20, 1987 the fall of many stocks, and stabilized the market at the height of its panic. Long term, these buybacks can’t help but reward investors.

Peter Lycnh, One Up On Wallstreet

Jadi perusahaan dan sang owner melakukan buyback saham perusahaan sendiri saat orang lagi ketar-ketir menghadapi pandemi. You know what it means, right?

Product

Ultrajaya bukanlah perusahaan sebesar raksasa-raksasa konglomerasi consumer products seperti Unilever atau Indofood. Untuk menghadapi persaingan di industri ini, mereka melakukan strategi produk yang fokus. They focus on what they do best which are two things: UHT and milk.

Setidaknya kesan itulah yang bisa ditemukan dari Annual Reports ULTJ dari tahun ke tahun. Di tahun 2005, bauran produk-produk ULTJ cukup beragam. Tidak hanya susu kemasan, ULTJ juga memproduksi dan menjual minuman sari buah (Buavita dan Gogo), produk-produk makanan seperti mentega dan susu bubuk, serta konsentrat buah-buahan.

Bauran produk ULTJ tahun 2005

Tahun 2019, bauran produk mereka semakin sedikit (baca: fokus). Untuk produk minuman UHT, selain susu, perusahaan memiliki produk Teh Kotak, Sari Asam, Sari Kacang Ijo, dan Coco Pandan Drink. Di produk makanan, perusahaan memproduksi Susu Bubuk Morinaga, dan Kental Manis merek Cap Sapi, Golden Choice, dan Ultra Milk.

Bauran produk ULTJ Tahun 2019

Yang menarik adalah, ketika pada tahun 2007 ULTJ melepas merek Buavita dan Gogo ke Unilever pada tahun 2008 dengan nilai hampir IDR 400 miliar.

Bagi Unilever hal ini tentunya merupakan salah satu langkah strategis untuk melakukan ekspansi. Untuk Unilever, dengan ukuran perusahaan yang sudah sedemikian besarnya, salah satu cara untuk menambah revenue adalah dengan melakukan akuisisi. Tetapi apa artinya bagi Ultrajaya?

Menurut penulis, kembali pada kesimpulan awal: fokus.

Pada AR tahun 2008, Ultrajaya menyebutkan hal ini.

Untuk menjaga kelangsungan dan keteraturan pasokan bahan baku ini Perseroan membina dan memelihara hubungan kemitraan yang sangat baik dengan para peternak dan para petani tersebut antara lain dengan memberikan bimbingan dan penyuluhan baik segi teknik, manajemen, dan permodalan, khususnya kepada para peternak sapi perah dan petani buah. Buah-buahan lain seperti jeruk (orange), leci (lychee), dan anggur (grape), demikian pula bahan kemasan aseptic (aseptic packaging materials) untuk produk minuman UHT masih diperoleh secara impor

ULTJ AR 2008

Dari statement tersebut, kita tahu bahwa Buavita memerlukan bahan baku buah-buahan yang berasal dari import. Dengan import, perusahaan ketergantungan dengan nilai tukar sehingga relatif lebih sulit melakukan efisiensi. Jadi agar lebih efisien, mending dijual mereknya dengan harga yang baik, dan menggunakan cash yang didapat untuk performa produk-produk lain yang lebih dikuasai.

Kira-kira mungkin begitu maksudnya.

Strategi Bahan Baku

ULJT adalah pemimpin pasar produk susu UHT. Untuk mempertahankan posisinya ini, ketersediaan bahan baku yang berkualitas adalah suatu keharusan.

Untuk menjaga ketersediaan bahan baku, ULTJ melakukan kerjasama dengan para peternak lokal seperti yang tergabung dalam Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS) – Pangalengan dan Koperasi Unit Desa lainnya. Perusahaan memelihara hubungan kemitraan dengan para peternak tersebut antara lain dengan memberikan bimbingan dan penyuluhan baik dari segi teknik, manajemen, dan permodalan.

Selain itu, perusahaan juga mendirikan anak usaha di bidang peternakan. Setidaknya ada dua anak perusahaan yang disebutkan yaitu:

  • PT Ultra Sumatera Dairy Farm bergerak dalam bidang pertanian, peternakan, dan perdagangan, dan didirikan dengan tujuan untuk mengembangkan peternakan sapi perah di daerah Sumatera. Pada saat ini dalam tahap akhir pembangunan dan masih belum beroperasi.
  • PT Ultra Peternakan Bandung Selatan bergerak dalam bidang pertanian, peternakan, dan perdagangan.

Dengan melihat bagian aset dari laporan keuangan perusahaan dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2019, terdapat satu akun yang cukup menarik perhatian penulis yaitu: Hewan Ternak Produksi. Akun ini muncul di LK 2009 dengan jumlah IDR 9.889 miliar (sembilan miliar lebih), dan di tahun 2019 akun ini bernilai IDR 158 miliar lebih. Kedua ini menggambarkan CAGR sebesar 32%.

Tidak berhenti sampai di situ saja.

Di tahun 2020 perusahaan menerbitkan MTN dengan nilai IDR 3 triliun. Menurut perusahaan, dana dari MTN ini di samping untuk menjaga likuiditas, juga dimaksudkan untuk melakukan ekspansi di antaranya: menambah fasilitas produksi dan pergudangan, dan operasional di bidang peternakan.

Di bidang peternakan sendiri, perusahaan akan berinvestasi untuk budidaya pakan peternakan, rumput dan jagung, untuk memastikan pakan berkualitas dengan harga terjangkau, melalui pembangunan pabrik makanan milik sendiri yang direncanakan dibangun di Pulau Jawa.

Di tengah banyaknya komentar miring tentang penerbitan MTN oleh banyak pelaku pasar modal, dengan melihat historis PSP yang sangat konservatif dalam mengelola hutang, penulis berkeyakinan bahwa langkah yang dilakukan adalah langkah yang tepat.

Jika perusahaan berhasil menguasai rantai pasokan dari mulai produksi bahan baku utama (susu sapi), sampai diolah menjadi barang jadi (susu UHT), perusahaan akan dapat menekan biaya produksi, yang pada akhirnya meningkatkan profitabilitas perusahaan.

Potensi Pasar Domestik dan Ekspor

Di pasar domestik, untuk produk susu UHT, Ultrajaya merupakan pemimpin pasar dengan pangsa pasar sebesar 39.3%. Walaupun pemimpin pasar, tingkat konsumsi susu masyarakat Indonesia yang masih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain menyebabkan potensi pasar dalam negeri masih menjanjikan pertumbuhan pendapatan. Hal ini disebutkan setiap tahun dalam AR ULTJ.

Untuk pasar luar negeri, bisa dikatakan perusahaan belum mengembangkannya secara maksimal – bahkan mungkin baru icip-icip saja.

Perusahaan telah mengekspor produk-produknya ke negara-negara di Asia a.l. Brunei Darussalam, Singapura, Korea Selatan, Kamboja, China, dan beberapa negara di semenanjung Arab, serta ke Australia dan Amerika Serikat.

Walaupun negara tujuannya cukup banyak, ternyata jumlah pendapatan dari ekspor masih sangat kecil. Di tahun 2019, pendapatan dari ekspor adalah sebesar IDR 23.6 miliar. Nilai ini turun tipis dari tahun sebelumnya dengan nilai pendapatan usaha sebesar IDR 27.7%. Dibandingkan dengan pendapatan perusahaan sebesar IDR 6 triliun lebih, nilai 23.6 miliar tentu tidak ada apa-apanya.

Mengingat potensi growth dalam negeri yang masih cukup besar, dan pasar ekspor yang masih belum dikembangkan secara maksimal, penulis berkeyakinan bahwa potensi pertumbuhan pendapatan ULTJ di masa depan masih sangat-sangat baik.

Kebijakan Dividen

ULTJ dikenal sebagai perusahaan yang hemat (baca: pelit) dalam hal membagikan dividen. ULTJ sempat tidak memberikan dividen bertahun-tahun sebelum akhirnya membagikannya pada tahun 2009. Kemudian, puasa dividen dilanjutkan sampai akhirnya dividen kembali dibagikan di tahun 2012, dan 2014. Dan setelah itu, ULTJ mulai rutin membagikan dividen dari tahun 2017 sampai dengan tahun 2019.

Jadwal Pembagian Dividend ULTJ Tahun ke Tahun

Selain “jarang”, jumlah dividen yang dibagikan bisa dibilang sangat kecil.

Pada tahun 2020, ULTJ membagikan keuntungan tahun 2019 dalam bentuk dividend dengan payout ratio sebesar 13.4% dengan nilai IDR 12 per share (dividend yield sebesar 0.8%).

Sepertinya manajemen memandang bahwa ketimbang membagikan keuntungan perusahaan dalam bentuk dividend, return yang didapat oleh para investor akan lebih besar jika keuntungan tersebut digunakan untuk keperluan ekspansi perusahaan.

Yang menarik, pada tahun 2018, perusahaan justru membelanjakan kas yang berlimpah di perusahaan untuk membeli obligasi negara ketimbang mencairkannya dalam bentuk dividen. Penulis hanya bisa menduga-duga bahwa kebijakan ini ditujukan untuk menjaga nilai kas yang dimiliki sambil menunggu kesempatan untuk melakukan ekspansi yang sepertinya akan dilakukan pasca penerbitan MTN di tahun 2020 ini.

Valuasi

Seperti biasa, analisa valuasi dilakukan dengan melihat 3 hal: nilai intrinsik, PBV, dan PER.

Nilai Intrinsik

Dengan cara yang sama dengan perhitungan nilai intrinsik EKAD, dengan menggunakan range PER 15 – 35.61 (+1 Standar Deviation 10 tahun terakhir – lihat chart di bawah), maka didapat nilai intrinsik ULTJ berada di rentang IDR 1,355.10 – IDR 2,842.73.

Jadi kalau dengan harga sekarang yang berada di harga IDR 1,500an, bisa dikatakan saat ini ULTJ sedang berada di harga wajarnya, namun masih ada ruang untuk bertumbuh.

PBV

Kalau melihat di stockbit, dapat diketahui bahwa saat ini PBV ULTJ sedang berada sedikit di bawah di rata-rata 10 tahun terakhirnya. Secara rata-rata PBV ULTJ berada di angka 3.95x. Apakah brarti ULTJ saat ini mahal?

Sebagai perbandingan, mean PBV 10 tahun untuk beberapa emiten consumer product lainnya adalah sebagai berikut:

  • UNVR: 48.25
  • MYOR: 5.98x
  • ICBP: 4.8x

Jadi secara rata-rata, nilai PBV ULTJ berada di bawah emiten consumer product lainnya.

PBV ULTJ 10 tahun terakhir

PER

Saat ini PER ULTJ berada di area 15x yang mana nilai ini lebih kecil dari rata-rata -1 Standar Deviation 10 tahun terakhir. Jadi bisa dikatakan bahwa saat ini ULTJ dihargai cukup murah oleh pasar. Secara rata-rata, PER ULTJ dalam 10 tahun terakhir berada di angka 26.18x.

PER ULTJ 10 tahun terakhir

Kesimpulan

Ada beberapa kesimpulan yang bisa penulis ambil dari analisa yang telah dilakukan di atas.

  1. Dari segi analisa fundamental, ULTJ adalah perusahaan yang sehat. Perusahaan ini adalah salah satu cash-rich company di bursa. Perusahaan ini memiliki uang kas yang sangat besar, dan cenderung memiliki hutang yang kecil.
  2. Di tahun 2020, perusahaan menerbitkan MTN. Jadi beberapa tahun ke depan, sebagian kas perusahaan akan terbebani untuk melunasinya. Hanya saja melihat dari historis ULTJ yang cenderung ngotot melunasi hutang-hutangnya, penulis yakin MTN ini akan cepat terselesaikan.
  3. ULTJ juga telah membuktikan dirinya sebagai mesin pencetak keuntungan yang semakin efisien. Pendapatan cenderung meningkat (dan belum menunjukkan tanda-tanda untuk slowing down), serta dibarengi dengan efisiensi yang semakin baik – yang dibuktikan dengan peningkatan margin operasional dari tahun ke tahun. Dari segi cashflow pun, ULTJ tidak ada masalah.
  4. Efisiensi yang dihasilkan ULTJ nampaknya diakibatkan oleh strategi perusahaan dalam mengelola portofolio produknya. ULTJ fokus melakukan apa yang mereka telah lakukan dengan sangat baik bertahun-tahun – yaitu memproduksi minuman UHT – khususnya produk susu.
  5. Dari segi bahan baku utamanya susu sapi, ULTJ tidak hanya mengandalkan kerjasama dengan pihak ketiga yaitu para peternak yang menjadi mitranya. Namun ULTJ juga mendirikan dan mengelola usaha peternakannya sendiri. Dengan menguasai rantai pasokan dari hulu ke hilir, efisiensi akan semakin bisa diciptakan.
  6. Dari segi pasar, tingkat konsumsi susu penduduk Indonesia yang masih rendah masih menjanjikan pertumbuhan. Pasar ekspor pun masih belum digarap secara maksimal. Kedua hal ini berarti ruang bertumbuh ULTJ masih sangat besar.
  7. Attitude management yang suka membeli saham perusahaan di pasar menunjukkan kepercayaan yang tinggi terhadap masa depan perusahaan.
  8. Dari segi valuasi, saat ini ULTJ sepertinya berada dalam harga wajarnya. Namun hal ini berdasarkan perhitungan nilai intrinsik dengan asumsi PER saat ini. PER dan PVB ULTJ sendiri relatif lebih kecil dari PER dan PBV perusahaan lain yang sejenis. Agaknya hal ini disebabkan oleh kecenderungan ULTJ yang tidak terlaku suka membagi dividen. ULTJ memilih untuk tetap melakukan ekpansi atau buyback ketimbang membagi uang kas perusahaan sebagai dividen.

Apakah ULTJ layak untuk dimasukkan ke dalam portfolio?

Nah, ini tergantung dari tipe si investor sendiri. Kalau Anda adalah tipe investor yang tidak suka dengan perusahaan yang pelit dividen, sepertinya ULTJ bukan untuk Anda.

Penulis sendiri melihat banyak sinyal positif secara fundamental. Jadi walaupun cenderung dividennya kecil, bagi penulis tidak masalah.

Ke depan, dengan banyaknya uang kas perusahaan dan adanya rencana ekspansi di sana sini, penulis merasa bahwa growth ULTJ masih akan tetap tinggi – jadi di masa depan, harapan harga saham ULTJ akan lebih tinggi dari harganya sekarang sangat terbuka lebar. Syukur-syukur bisa bagger – tapi ya harus sabar 🙂

Demikian, semoga bermanfaat!

Analisa Saham HM Sampoerna (HMSP) – Sunset Industry?

Membicarakan HMSP hari ini terutama di forum Stockbit, topik yang sering dibahas apakah HMSP adalah sunset industry atau tidak? Trend penurunan harga saham HMSP semenjak awal tahun 2018 sampai hari ini, sepertinya diakibatkan oleh sentimen bahwa industri rokok / tembakau adalah sunset industry.

Benarkah demikian?

Di tulisan ini penulis mencoba melakukan analisa emiten HMSP dengan lebih dulu berusaha menjawab apakah industri rokok/tembakau adalah sunset industry? Di bagian akhir, penulis akan menganalisa apakah valuasi HMSP hari ini cukup menarik dan layak untuk dikoleksi ke dalam portofolio atau tidak.

Logo HMSP diambil dari Laporan Tahunan 2019
Sebelum mulai, numpang iklan dulu ya! 😀 Barangkali ada yang lagi expecting to have a baby in the near future (selamat ya Moms/Dads), mungkin mau cari-cari ide nama buat adek bayinya, barangkali bisa pake tools teman penulis di nama.bayiunyu.id. 

Mengenal Sang Induk: Phillip Morris International (PMI)

Berdasarkan Laporan Tahunan HMSP tahun 2019, PT Phillip Morris Indonesia (PMI) memegang saham HSMP sebesar 92.5%. Dengan kata lain Phillip Morris International (PMI) melalui PT Phillip Morris Indonesia adalah pemegang saham pengendali.

Akusisi saham HSMP dilakukan oleh PMI pada tahun 2005. Saat itu, PMI harus merogoh kocek sekitar IDR 48T untuk mengakuisisi sekitar 40% kepemilikan saham HMSP.

PMI adalah salah satu pemain besar industri rokok global. Reputasi PMI di bisnis ini tentunya tidak diragukan lagi.

Membaca strategi usaha PMI kita dapat mengetahui bagaimana perkembangan industri rokok global saat ini dan di masa depan.

Sekilas Tentang Phillip Morris

Sejarah panjang Phillip Morris dimulai sekitar tahun 1847 ketika sang pendiri Om Phillip Morris membuka sebuah toko tembakau dan rokok di London sana. Phillip Morris International Inc (PMI), didirikan di Virginia US pada tahun 1987.

PMI adalah pemilik merk Marlboro – salah satu premium brand rokok global. Selain Marlboro, merek-merek lainnya yang lebih asing di telinga kita di Indonesia antara lain L&M, Chesterfield, Phillip Morris, Parliament, dan lain-lain.

Secara global, PMI membagi segmen operasinya ke dalam enam segmen, yang meliputi European Union, Eastern Europe, Middle East & Africa, South & Souteash Asia (termasuk Indonesia), East Asia & Australia, Latin America. PMI memiliki market share sebesar setidaknya 15% atau lebih di hampir 95 negara.

Menurut statistica.com, PMI menguasai sebesar 14% market share rokok dunia di bawah The China Natial Tobacco Corporation (CNTC) yang menguasai 44%.

Risiko Bisnis

Pada Annual Report tahun 2019, PMI menyebutkan 21 items risk factors yang mempengaruhi bisnis mereka. Risiko bisnis ini meliputi berbagai aspek, mulai dari marketing, consumer behavior, government, tax, laws, HR, IT, dan lain-lain.

Penulis berusaha melakukan analisa dan melakukan pengelompokan terhadap risiko-risiko bisnis tersebut. Hasilnya, terdapat sekitar 7 dari 21 items (sekitar 33%) yang berkaitan dengan Pemerintahan, Pajak dan Cukai, serta peraturan hukum. Kelompok ini adalah kelompok risiko bisnis terbesar.

Adapun risiko-risiko tersebut yang penulis salin dari AR PMI adalah sebagai berikut:

  1. Cigarettes are subject to substantial taxes. Significant increases in cigarette-related taxes have been proposed or enacted and are likely to continue to be proposed or enacted in numerous jurisdictions. These tax increases may disproportionately affect our profitability and make us less competitive versus certain of our competitors.
  2. Our business faces significant governmental action aimed at increasing regulatory requirements with the goal of reducing or preventing the use of tobacco products.
  3. Litigation related to tobacco use and exposure to environmental tobacco smoke could substantially reduce our profitability and could severely impair our liquidity.
  4. We lose revenues as a result of counterfeiting, contraband, cross-border purchases, “illicit whites,” non-tax-paid volume produced by local manufacturers, and counterfeiting of our Platform 1 device and heated tobacco units.
  5. From time to time, we are subject to governmental investigations on a range of matters.
  6. Changes in the earnings mix and changes in tax laws may result in significant variability in our effective tax rates. Our ability to receive payments from foreign subsidiaries or to repatriate royalties and dividends could be restricted by local country currency exchange controls.
  7. Government mandated prices, production control programs, shifts in crops driven by economic conditions and the impact of climate change may increase the cost or reduce the quality of the tobacco and other agricultural products used to manufacture our products.

Kelompok berikutnya adalah yang berkaitan dengan perubahan perilaku konsumen, marketing, dan produk yang berjumlah 6 dari 21 items (sekitar 28%).Yang menarik adalah 4 dari 6 item tersebut berkaitan dengan RRP (Reduced Risk Product). Kita akan membahas RRP secara khusus nantinya di tulisan ini.

Adapun risiko-risiko tersebut yang penulis salin dari AR PMI adalah sebagai berikut:

  1. Consumption of tax-paid cigarettes continues to decline in many of our markets
  2. We may be unable to anticipate changes in adult consumer preferences.
  3. The financial and business performance of our reduced-risk products is less predictable than our cigarette business.
  4. We may be unsuccessful in our attempts to introduce reduced-risk products, and regulators may not permit the commercialization of these products or the communication of scientifically substantiated risk-reduction claims.
  5. We may be unsuccessful in our efforts to differentiate reduced-risk products and cigarettes with respect to taxation.
  6. Our ability to grow profitability may be limited by our inability to introduce new products, enter new markets or improve our margins through higher pricing and improvements in our brand and geographic mix.

Jadi bisa disimpulkan, hampir sebagian besar risiko bisnis PMI berhubungan dengan sikap pemerintah terhadap industri tembakau dan rokok secara umum melalui kebijakan-kebijakan hukum dan perpajakannya, serta perubahan perilaku konsumen terhadap konsumsi rokok dan produk-produk olahan tembakau lainnya.

Kontrol Industri Tembakau oleh WHO

Pada tahun 2003, WHO mengadopsi sebuah Framework bernama World Health Organization Framework Convention on Tobacco Control (WHO FCTC). FCTC berlaku secara efektif dari bulan Februari 2005 di negara-negara yang menandatangani atau setuju untuk melakukan ratifikasi.

Secara singkat FCTC adalah sebuah kerangka kesepakatan antar negara untuk mengendalikan industri tembakau dan dampaknya bagi kesehatan. Beberapa contoh tindakan dalam kesepakatan itu seperti melarang iklan pada media publik seperti radio dan televisi untuk iklan produk rokok, melarang aktifitas merokok di ruang-ruang pelayanan dan transportasi publik, pengendalian permintaan dengan kebijakan pajak dan cukai, dan lain-lain.

Tabel berikut ini merangkum kebijakan-kebijakan dalam FCTC (diambil dari Wikipedia):

FCTC Framework

Sampai saat artikel ini ditulis, FCTC telah ditandatangani oleh 168 negara dan secara hukum mengikat melalui ratifikasi di 181 negara. Jadi, kira-kira 90% lebih administrasi pemerintahan di seluruh dunia setuju untuk melakukan kontrol (baca: mengurangi) ruang gerak industri rokok dan tembakau.

Bagi PMI yang merupakah perusahaan global, FCTC tentunya menimbulkan risiko bisnis yang serius. PMI sendiri mengakui hal ini dalam Annual Report nya tahun 2019 sebagai berikut:

Since it came into force in 2005, the FCTC has led to increased efforts by tobacco control advocates and public health organizations to promote increasingly restrictive regulatory measures on the marketing and sale of tobacco products to adult smokers.

PMI, Annual Report 2019

Revenues PMI

Dengan sedemikian banyaknya tantangan industri tembakau, apalagi semenjak disepakatinya FCTC oleh WHO, bagaimanakah performa bisnis PMI?

Ternyata sejak tahun 2007 (penulis kesulitan mengumpulkan data sebelum 2007), bisnis PMI masih bertumbuh walaupun lambat – jika tidak bisa dikatakan stagnan.

Tahun 2007, pendapatan total PMI adalah sebesar $ 55.243 Billion, dan di akhir tahun 2019 menjadi $ 77.219 Billion. Secara rata-rata tahunan, pertumbuhan PMI adalah sebesar 3.10%; sedangkan secara CAGR adalah sebesar 2.91%.

Revenues PMI 2007 – 2009

Apakah artinya?

Situasi bisnis tembakau hari ini memang menimbulkan ancaman serius bagi PMI. Tapi ancaman ini tidak seketika membunuh bisnis PMI. Hari ini PMI sebagai sebuah bisnis is still quite strong. Di samping itu, PMI juga secara serius telah melakukan langkah-langkah untuk mentransormasi bisnis mereka sehingga tetap relevan.

Transformasi Bisnis dan Produk RRP

Pada saat artikel ini ditulis, penulis bisa mengakses setidaknya Annual Report PMI dari tahun 2009. Membaca AR PMI dari tahun ke tahun, penulis berkesimpulan bahwa PMI secara serius melakukan langkah-langkah inovatif untuk menjaga bisnisnya agar tetap relevan. Salah satunya adalah melalui Reduced-Risks Products (RRP).

Apa itu RRP? Kalau Anda pernah mendengar IQOS – maka Anda telah mengenal salah satu produk RRP dari PMI.

Gambar produk IQOS diambil dari AR PMI tahun 2016

Jejak langkah pengembangan produk RRP tercatat dengan baik pada setiap AR PMI dari tahun ke tahun.

Pada AR 2009, PMI tidak terlalu banyak membahas tentang Reduced-Risk Products. PMI hanya menyebut “Further, we cannot predict whether regulators will permit the marketing of tobacco products with claims of reduced risk to consumers, which could significantly undermine the commercial viability of these products.”. Di tahun 2010, sang CEO Louis C. Camilleri literally menyebutkan “We continue to advance our ambition to launch reduced-risk products in the mid-term“.

Since then, PMI semakin menunjukkan keseriusannya dengan RRP sampai akhirnya meluncurkan IQOS pada bulan Juni 2014 di Jepang dan Italia.

Keseriusan PMI akan pengembangan produk RRP semakin terlihat jelas di mana dari tahun 2016 sampai dengan 2019, PMI secara rutin menampilkan IQOS di halaman depan AR mereka. Tahun 2019, cover depan ini ditambahkan tagline Simply Amazing.

Cover AR PMI 2019

Tidak berhenti dari sisi produk saja, ambisi PMI untuk menghadapi berbagai tantangan industri bahkan tercermin dari perubahan visi mereka. Sejak tahun 2018, PMI memperkenalkan diri mereka sebagai berikut.

We are leading a transformation in the tobacco industry to create a smoke-free future, based on a new category of reduced-risk products that, while not risk-free, are a much better choice than continuing to smoke. Our goal is to ultimately replace cigarettes with smoke-free products to the benefit of adults who would otherwise continue to smoke, society, the company and its shareholders.

PMI, AR 2018

That is my friend, a very bold statement and a clear change of business direction!

Dengan lugas PMI menyatakan diri sebagai agen perubahan untuk mentransformasi industri tembakau melalui RRP. Menurut penulis, dengan pernyataan ini, RRP is clearly stated as the future of PMI.

Market Analysis

Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh HMSP bagi PMI, penulis menganalisa beberapa data berikut ini.

PMI Net Revenue by Region

Kita tahu bahwa PMI membagi segmen bisnisnya ke dalam enam big market by world region. Dilihat dari segi Net Revenue, ternyata European Union merupakan region penyumbang Net Revenue tertinggi sebesar rata-rata 30.96% dalam empat tahun terakhir. Posisi kedua adalah East Asia & Australia (sebesar 18.76%), kemudian disusul oleh South & Southeast Asia (sebesar 16.16%).

Penulis cukup kaget with the fact that EU ternyata adalah penyumbang Net Revenue terbesar. Dilihat dari jumlah populasi, tentunya EU jauh lebih kecil dari dua region lainnya di atas. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, harga jual rokok di luar negeri bisa mencapai 10 kali lipat lebih mahal dari Indonesia. Mungkin itu penyebabnya.

Anyway, tabel berikut menunjukkan Total Net Revenue dan Net Revenue untuk ketiga region di atas.

Net Revenue PMI untuk 3 regions terbesar

Sedangkan persentasenya ditampilkan di tabel di bawah.

Persentase Net Revenue PMI untuk 3 regions terbesar

Shipment Volume

Penulis hanya akan membahas data yang menarik saja.

Segmen European Union

Data untuk segmen European Union menunjukkan bahwa shipment produk rokok adalah sebanyak 193.586 Billion Unit (193 miliar batang lebih) di tahun 2016. Tahun 2017 sampai dengan 2019, terjadi penurunan jumlah unit yaitu sebesar: 187.293 (2017), 179.622 (2018), dan 174,319 (2019).

Wah, jadi jumlah unit dijual mengalami penurunan, sedangkan Net Revenue cenderung meningkat walaupun tipis? Bagaimana bisa? Sebelumnya, PMI menyajikan Net Revenue sebagai revenue di luar excise taxes (alias cukai).

Kalau jumlah barang yang dijual turun, tapi pendapatan di luar cukai tetap atau cenderung naik; maka penyebabnya hampir bisa dipastikan oleh kenaikan harga jual. Menurut penulis, di sinilah moat dari PMI. Kita tahu bahwa rokok menyebabkan kecanduan. Dan jika seorang perokok sudah menyukai satu merek, maka orang tersebut akan reluctant berpindah ke rokok lainnya. Walaupun harga produk tersebut naik.

Segmen South & Southeast Asia

Hal menarik lainnya adalah ternyata shipment rokok di segmen South & Southeast Asia dalam empat tahun terakhir secara rata-rata hampir menyamai European Union. Bahkan di tahun 2019, segmen ini mengungguli dengan jumlah shipment sebesar 174.934 juta batang, dibandingkan dengan 174.139 juta batang.

Kalau di EU bisa menghasilkan Net Revenue dua kali lebih besar dengan jumlah yang sama; apakah South & Southeast Asia memiliki potensi yang sama? Mungkin. Walaupun tidak Apple to Apple, tapi kalau melihat jumlah penduduk, dan potensi untuk economic growth, segmen South & SEA sepertinya masih menyimpan potensi.

PMI cigarettes’ shipment volume
Shipment by Brand

Yang menarik dari data ini adalah fakta bahwa Sampoerna A dan Dji Sam Soe termasuk dalam sepuluh besar merek dengan shipment volume terbanyak. Secara bersama-sama, kedua merek ini memberikan kontribusi sebesar 9.56% dari total shipment volume PMI tahun 2019.

PMI Shipment Volume by Brand

Indonesia Sebagai Salah Satu Key Market

PMI memasukkan Indonesia sebagai salah satu key market mereka. Untuk wilayah South & SEA, PMI menyebut Indonesia dengan market share domestik sebesar 32.1%; dan Filipina dengan market share sebesar 70.5%.

Key Markets PMI – AR 2019

Kesimpulannya…?

OK. Jadi kita sudah tahu bahwa:

  1. South & Southeast Asia adalah kontributor revenue ketiga terbesar.
  2. Dari segi jumlah shipment, segment ini memiliki volume yang hampir sama dengan dengan EU
  3. Indonesia melalui adalah salah satu key market.
  4. HMSP memiliki 2 dari 10 brand dengan batang penjualan terbanyak

Jadi, posisi HMSP di bisnis PMI bisa dikatakan cukup strategis.

Performa Produk RRP

Kita tahu bahwa RRP adalah masa depan PMI. Lalu, sudah seberapa sukseskah PMI dengan produk RRP mereka?

RRP Performance by Revenue

Di tahun 2016, PMI mencatatkan revenue sebesar $ USD 733 million buat PMI. Nilai ini telah meningkat menjadi sebesar $ USD 5,587 million di akhir tahun 2019 (meningkat 7 kali lipat dalam waktu 3 tahun). RRP di akhir tahun 2019, berhasil memberikan kontribusi sebesar 18.75% dari keseluruhan revenue.

PMI Net Revenues by Product Category (AR 2019)

Secara volume, jumlah Heated Tobbaco Units yang dijual juga menunjukkan angka yang meningkat. Di tahun 2016, jumlah HTU yang dijual adalah sebanyak 7,394 juta unit (7.3 miliar). Jumlah ini, meningkat cukup signifikan di mana di akhir tahun 2019, tercatat sebanyak 59,622 juta unit (59,6 miliar) telah dijual. Jumlah ini mencerminkan 7.78% total gabungan cigarretes and HTU.

Yang menarik, ternyata segmen-segmen yang memiliki peningkatan penjualan HTU, ternyata mengalami penurunan jumlah batang rokok yang dijual. Setidaknya kita bisa mengamati ini dari segmen European Union, Eastern Europe, Middle East & Africa.

Bisakah ditarik kesimpulan bahwa PMI sukses melakukan transformasi bisnis mereka? Bisa jadi. Walaupun mungkin terlalu dini untuk menyimpulkannya saat ini.

PMI Shipment Volume (Million Units)

Dari perubahan komposisi revenue tersebut terlihat jelas bahwa dengan transformasi bisnis yang mereka lakukan, tujuan akhirnya bukan untuk mempertahankan jumlah perokok, melainkan mengubah perilaku konsumen tersebut untuk beralih ke produk RRP. Dengan demikian mereka bisa mempertahankan source of revenue mereka.

Penjualan RRP di Indonesia

RRP agaknya masih belum merupakan main strategy PMI di Indonesia.

HMPS sendiri baru memunculkan IQOS di laporan tahunan 2019 yang menyebutkan bahwa pada bulan Maret 2019, telah diluncurkan IQOS Club Indonesia sebagai platform uji pasar terbatas untuk mempelajari potensi pasar dan perilaku perokok dewasa terhadap IQOS di Indonesia.

So, it’s still on a very early stage.

Menurut analisa penulis hal ini wajar dilakukan.

Larangan-larangan industri rokok di Indonesia, sepertinya masih belum sekeras larangan-larangan lain di luar negeri. Dengan jumlah batang rokok yang masih meningkat (walaupun melambat), sepertinya rokok konvesional masih menjanjikan potensi revenue di masa depan. Jadi mengapa harus membunuhnya dengan mengeluarkan produk baru?

Tentunya ini hanyalah analisa awam penulis saja.

Menurut pengamatan penulis, IQOS saat ini belum terlalu gencar dipasarkan. Setidaknya belum pernah penulis melihat iklan IQOS di mana-mana. Dan untuk mendapatkannya masih cukup susah – mesti daftar dulu. Jadi masih lebih mudah membeli rokok Sampoerna di warung.

Tantangan Industri Rokok di Indonesia

Tantangan industri rokok dan tembakau di Indonesia kurang lebih sama dengan negara-negara lain. Tarif cukai tembakau selain menggerus profit margin, juga menimbulkan tantangan tersendiri bagi para produsen di dalam menyusun strategi harga untuk menutupi profit margin yang berkurang.

Selain itu, hampir sama seperti di negara lain, pemerintah baik pusat maupun daerah telah mengeluarkan aturan-aturan yang semakin membatasi ruang gerak para perokok ataupun para pemasar produk rokok.

Cukai Tembakau

Pemerintah dari tahun ke tahun konsisten menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT), kecuali di tahun 2014. dan 2019 (sama-sama tahun Pilpres). Pada tahun 2020, pemerintah menaikkan tarif cukai rokok sebesar rata-rata 23%. Sedangkan untuk tahun 2021, pemerintah kembali menaikkan tarif tersebut sebesar rata-rata 12.5%.

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/12/10/rata-rata-cukai-rokok-naik125-pada-2021

Pengaruhnya Cukai Tembakau Bagi Penerimaan Negara

Mengutip lokadata.id, kontribusi CHT terhadap penerimaan negara adalah sebesar 8.4%, 9.7%, dan 10% masing-masing untuk tahun 2019, 2020, dan 2021. Untuk tahun 2021 sendiri, target 10% CHT tersebut sama dengan IDR 174 triliun.

Apakah arti angka IDR 174 triliun ini? Sebagai gambaran saja, jatah anggaran Kepolisian RI adalah sebesar TDR 112.1 triliun. Jadi angka IDR 174 triliun ini bisa digunakan untuk operasional Polri dari Sabang sampai Merauke – bahkan masi sisa IDR 62 triliun. Ini berandai-andai ya. Dalam prakteknya tentunya pemasukan dari cukai rokok ini digunakan untuk berbagai pos pengeluaran APBN.

Jadi kontribusi CHT terhadap penerimaan negara sangat signifikan.

Pengaruhnya ke HMSP

Apakah kenaikan CHT yang terjadi hampir setiap tahun berpengaruh terhadap kinerja HMSP?

Penulis berusaha melakukan analisa berdasarkan beberapa hal: penerimaan kas yang digunakan untuk membayar cukai, gross profit, dan jumlah batang yang dijual.

Dilihat dari sisi cashflow, ternyata dari tahun 2010, besarnya uang kas yang diterima HMSP untuk membayar cukai mengalami peningkatan. Di tahun 2010, kas yang digunakan untuk membayar cukai adalah sebesar 47.05% dari jumlah kas masuk. Jumlah ini mengalami peningkatan di mana di tahun 2019, besaran cukai berbanding kas masuk adalah sebesar 52.92%.

Secara gross profit, ternyata dari tahun 2010, gross profit HMSP secara perlahan-lahan menunjukkan trend yang menurun – hanya saja kurvanya tidak terlalu curam. Di 2010 misalnya, gross profit HMSP adalah sebesar 29.17%; sedangkan di 2019 adalah sebesar 24.63%.

Secara tabel, dan kurva, fakta-fakta di atas dapat dilihat di screenshots berikut.

Tabel Cukai Per Kas dari Pelanggan (%) VS Gross Profit (%) HMSP
Chart: Cukai Per Kas dari Pelanggan (%) vs Gross Profit (%) HMSP

Dilihat dari jumlah batang yang dijual per tahun, juga terlihat trend yang menurun dari tahun 2013.

Jumlah Penjualan Batang Rokok HMSP (Juta Unit)

Jadi, secara umum:

  1. Kenaikan cukai, memiliki pengaruh terhadap arus kas HMSP, di mana uang kas yang digunakan untuk membayar cukai semakin meningkat setiap tahunnya. Semakin banyak kas yang digunakan untuk membayar cukai, semakin terbatas kemampuan HMSP untuk menggunakan uang kas tersebut untuk hal-hal lainnya.
  2. Kenaikan cukai agaknya juga mempengaruhi profitabilitas HMSP, di mana selama 10 tahun terakhir, gross profit HMSP mengalami trend yang menurun.
  3. Walaupun demikian, perlu dicatat bahwa kenaikan ini terjadi secara lamban. Analisa penulis, hal ini karena HMSP memiliki moat produk yang kuat sehingga dapat menaikkan harga jual. Hal ini agaknya juga mempengaruhi penurunan jumlah batang yang bisa dijual – di mana harga yang semakin naik mungkin menyebabkan konsumen beralih ke produk lainnya.

FCTC dan Indonesia

Kebanyakan dari pembaca tentunya sudah aware bahwa semakin hari larangan-larangan terhadap konsumsi dan penjualan produk rokok di Indonesia semakin hari semakin banyak.

Transportasi umum yang mungkin sampai akhir tahun 2000an masih memperbolehkan penumpang untuk merokok (misal di kereta api), hari ini kebanyakan sudah tidak lagi memperbolehkan. Ruang-ruang publik seperti mall, perkantoran, terminal dan bandara, lain-lain; mengharuskan para pengunjung untuk merokok di tempat yang sudah ditentukan – dan biasanya jauh dari keramaian.

Rokok tidak lagi diperbolehkan untuk mensponsori banyak event-event seperti kegiatan-kegiatan kampus dan sekolah. Iklan di TV dan radio pun dibatasi jam tayangnya.

Semakin hari, ruang gerak industri rokok semakin dibatasi.

Yang menarik, walaupun dengan semakin ketatnya regulasi terhadap industri rokok yang diberlakukan di berbagai wilayah nusantara, ternyata Indonesia adalah salah satu dari hanya sembilan negara di dunia yang tidak/belum meratifikasi FCTC.

Mengapa? Penulis mempersilakan para pembaca untuk mencari tahu sendiri. Dalam konteks analisa emiten, FCTC sebagai sebuah “ancaman”, belum sampai di Indonesia.

Membandingkan SRC HMSP vs Bandara GGRM

Menurut laporan tahunan HMSP tahun 2019:

Sampoerna Retail Community (SRC) adalah konsep toko kelontong modern yang tergabung dalam program kemitraan Sampoerna, dan bertujuan untuk dapat mendukung peningkatan daya saing para pemilik toko kelontong beserta seluruh UKM yang tergabung di dalamnya, agar siap menghadapi persaingan ritel yang semakin cepat dengan inovasi – inovasi baru seperti AYO SRC, Pojok Lokal dan Pojok Bayar.

Memulai kiprahnya di tahun 2008 di Medan dengan 57 toko, SRC mewakili komitmen dan investasi jangka panjang Sampoerna untuk turut berkontribusi pada pembangunan ekonomi lokal melalui pemberdayaan kapasitas kewirausahaan. Dengan demikian, Sampoerna turut mendukung program Pemerintah terkait pengembangan kapasitas sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM).

Laporan Tahunan HMSP tahun 2019

Sampai dengan Q1 tahun 2020, menurut website resminya, SRC telah beroperasi di 34 provinsi, dengan jumlah lebih dari 120 ribu SRC, yang tergabung dalam sekitar 6,000 paguyuban SRC.

Lain HMSP, lain pula GGRM.

GGRM menganggarkan sekitar 9 triliun untuk membangun sebuah Bandara Internasional di kota asalnya yaitu Kediri. Menurut perusahaan, bandara internasional ini akan dikelola oleh anak perusahaan yaitu PT Surya Dhoho Investama.

Kementerian Perhubungan (Kemenhub) akan memberikan hak konsesi pengelolaan Bandara Kediri kepada Gudang Garam selama 25-30 tahun atau hingga 2052. Pembangunan bandara ini mulai April tahun ini dan selesai pada April 2022.

OK. Keduanya berbisnis rokok – tapi satunya bikin jaringan toko kelontong, satunya lagi bikin bandara. Apakah ini berarti kedua perusahaan rokok terkemuka Indonesia ini mau ganti bisnis?

Menurut analisa penulis, jawabannya tidak.

Dengan semakin dihembuskannya kampanye negatif terhadap industri rokok, para pelaku industri rokok ditantang untuk melawan kampanye tersebut. Melawan tentunya tidak dengan cara menyebar kabar bohong bahwa rokok itu tidak berpengaruh negatif terhadap kesehatan, melainkan dengan cara menampilkan citra dan melakukan aksi korporasi dalam bentuk aktivitas sosial.

They are making themselves important.

Our business maybe bad for your health. But with the money that we get from our business, we can do something that is socially important to you and your community. Mungkin kira-kira maksudnya begitu 🙂

Kalau seandainya HMSP tutup gara-gara kebijakan yang semakin hari semakin kontra terhadap bisnis mereka, maka akan terdapat lebih dari 120 ribu mitra SRC yang terdampak.

Kalau bisnis GGRM semakin bagus, mungkin nantinya akan ada semakin banyak bandara yang bisa dibangun oleh perusahaan. Secara langsung, GGRM berkontribusi membantu pemerintah dalam program-program infrastrukturnya.

Consumer Behavior

Bagian ini hanya berdasarkan pengalaman penulis saja.

Penulis cukup beruntung mendapatkan kesempatan beberapa kali berkunjung ke Australia. Untuk orang yang sudah sering ke negeri kangguru ini, sepertinya paham bahwa negara ini bukanlah negara yang ramah untuk para perokok.

Di Australia, Anda tidak akan bisa menemui produk rokok terdisplay secara mentereng di rak-rak toko. Apalagi di belakang kasir seperti lazimnya kita lihat di toko-toko 24 jam di Indonesia. Untuk membeli rokok, Anda harus tahu rokok apa yang Anda beli, dan menyebutkannya kepada penjaga toko. Penjaga toko, kemudian akan mengambilkannya di rak khusus.

Jangan harap melihat kemasan rokok sementereng warna-warni seperti di Indonesia. Kemasan seluruh rokok di Australia sama untuk semua merek rokok, dengan warna coklat membosankan dan dominan iklan berhenti merokok dan risiko kesehatan bagi perokok.

Anda tidak boleh merokok di dalam ruangan – hampir di manapun. Bahkan aktivitas di luar ruangan pun, Anda tidak boleh merokok di area di mana banyak orang beraktivitas. Merokok di open area restaurant saat ini cukup prohibited. Anda akan diminta untuk merokok beberapa meter lebih jauh dari area restoran, walaupun di luar ruangan.

Di Indonesia, trend ini belum terjadi. Memang beberapa fasilitas publik melakukan larangan merokok di banyak tempat kecuali smoking area. Tapi yang bandel pastinya masih banyak. Secara kultur, masyarakat Indonesia sepertinya masih perlu waktu yang cukup lama untuk bisa menjadi seperti Australia dalam hal memerangi rokok.

Valuasi

Harga Intrinsik

Penulis menghitung harga intrinsik dengan menggunakan teknik yang sama yang penulis pakai untuk menghitung nilai intrinsik EKAD. Historical EPS yang dipakai adalah EPS dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2019.

Dari hasil perhitungan didapat rentang nilai intrinsik di harga IDR 1,858 – IDR 2,375. Secara rata-rata berarti nilai intrinsik HMSP ada di angka IDR 2,117.

Hanya menghitung secara matematika saja tentunya tidak cukup untuk menilai apakah HMSP saat ini sedang murah atau tidak. Nilai intrinsik sebesar IDR 2,117 tadi, didapat dengan menggunakan asumsi CAGR pertumbuhan EPS sebesar 11.41%. Pertanyaannya adalah, apakah HMSP akan mampu mempertahankan pertumbuhan EPS tersebut sepuluh tahun ke depan?

PBV

Dengan menggunakan analisa PBV selama 10 tahun terakhir, terlihat bahwa saat ini HMSP sedang dihargai murah oleh para pelaku pasar. Semenjak akhir tahun 2019, nilai PBV HMSP berada pada are -1 Standar Deviasi-nya.

Screenshot berikut diambil dari stockbit.

PBV HMSP 10 tahun terakhir

PER

Trend PER HMSP agaknya juga menunjukkan hal yang sama dengan PBV, di mana sejak akhir tahun 2019, trend PER HMSP berada di area -1 Standar Deviasinya. Dengan kata lain, dibandingkan 10 tahun sebelumnya, saat ini HMSP dihargai lebih murah.

Screenshot berikut diambil dari stockbit.

PER HMSP 10 tahun terakhir

Kesimpulan

Ada beberapa hal yang bisa penulis simpulkan dari analisa yang panjang di atas.

  1. Apakah industri rokok adalah sunset industri? Tanpa ragu-ragu penulis mengatakan iya. Adanya kesepakatan FCTC yang telah diratifikasi menegaskan komitmen negara-negara di dunia untuk membatasi secara maksimal ruang gerak industri ini secara global melalui berbagai regulasi. PMI sendiri mencantumkan hal ini sebagai risiko bisnis mereka.
  2. Apakah industri tembakau adalah sunset industri? Penulis menjawab belum tentu. Jika PMI berhasil melakukan transformasi bisnisnya ke produk RRP (dan diikuti oleh pelaku industri lainnya), bukan tidak mungkin industri tembakau akan tetap eksis sebagai produk RRP.
  3. Sampai saat ini, strategi PMI untuk melakukan penetrasi produk RRP bisa dibilang cukup berhasil. Untuk mengatakan sukses tentunya harus dilihat dengan lebih jangka panjang. Mengubah perilaku konsumen dan mengkonversi mereka sebagai RRP user secara global, tentu bukan hal yang mudah.
  4. HMSP adalah salah satu anak perusahaan strategis PMI baik secara revenue, volume penjualan, dan brand portfolio. Jadi menurut penulis, PMI akan memberikan perhatian yang cukup (jika tidak dapat dikatakan khusus) kepada HMSP, sebagai salah satu strategic source of revenue mereka. PMI tidak akan menyerahkan pasar Indonesia begitu saja.
  5. Indonesia adalah salah satu negara yang belum menandatangani FCTC. Ancaman eksistensi produk rokok melalui regulasi di Indonesia relatif tidak seketat di negara-negara lainnya.
  6. Cukai (terutama cukai tembakau) memiliki kontribusi yang cukup signifikan bagi pendapatan negara. Penulis yakin bahwa pemerintah akan sangat berhati-hati menaikkan tarif cukai tembakau. Mematikan industri rokok hari ini, sama saja dengan membunuh sumber pendapatan negara. Akan butuh waktu yang cukup lama, sampai pemerintah menemukan sumber pendapatan lainnya untuk mensubstitusi cukai tembakau.
  7. Perilaku konsumen Indonesia dan peraturan-peraturan lokal masih belum pada tahapan mengancam industri ini. Kita masih melihat orang bisa merokok bebas di banyak tempat dan area-area terbuka. Akan butuh waktu yang cukup lama untuk membuat kondisi di Indonesia seperti di negara lain.
  8. RRP belum merupakan main strategy di Indonesia. Jadi, PMI sendiri menurut penulis masih meyakini potensi penjualan rokok konvesional di Indonesia.
  9. HMSP melakukan strategi-strategi lain untuk membuat bisnis mereka tetap important. Salah satunya melalui SRC.

Lalu apakah HMSP masih layak dikoleksi ke dalam portfolio?

Dengan valuasinya saat ini, HMSP bisa dikatakan murah. Walaupun tidak murah-murah banget. Trend harganya yang menurun, kemungkinan dapat menawarkan kesempatan membeli yang lebih baik di masa depan. Tapi, siapa yang bisa membaca harga pasar? Mungkin saja besok harganya akan naik.

Apakah saat ini adalah kesempatan yang bagus untuk masuk ke HMSP? Pertanyaan ini penulis biarkan pembaca menjawabnya sendiri.

Menurut penulis, HMSP bisa dimasukkan ke portfolio dengan beberapa catatan:

  1. Sikap pemerintah terhadap FCTC tidak berubah – artinya tidak akan menandatangani dalam waktu dekat.
  2. Cukai boleh saja naik terus, asal wajar. Artinya selama komposisi cukai masih cukup besar di APBN, penulis yakin industri ini masih aman. Kalau industrinya mati, mau ambil cukai dari mana? Pengaruh cukai terhadap cashflow dan profit margin juga harus selalu dimonitor.
  3. Kesuksesan penjualan produk RRP juga harus menjadi catatan – sebab ini adalah jaminan bahwa industri asalnya di masa depan tidak akan mati.
  4. Strategi-strategi marketing untuk tetap membuat bisnis mereka relevan di Indonesia harus tetap dilakukan. SRC mungkin salah satunya.
  5. Tekanan cukai yang mempengaruhi harga jual flagship product mereka seperti Sampoerna A dan Marlboro harus dibarengi dengan strategi marketing yang baik untuk mengurangi product switching ke produk lain yang lebih murah.
  6. Satu lagi mungkin pertimbangan dividen. Penulis yakin, dengan historis HMSP yang royal bagi-bagi dividen, kalau harga turun sampai dividen yield mencapai angka 10%, dijamin big fund akan berbondong-bondong masuk ke HMSP. Jika kita mengklasifikasi HMSP sebagai turn-around company, dividend yield mungkin akan menjadi turning point nya.

Demikian, semoga bermanfaat!