Analisa Saham Unilever Indonesia (UNVR)

PT Unilever Indonesia (UNVR) awalnya didirikan dengan nama Leverโ€™s Zeepfabrieken N.V pada tanggal 5 Desember 1933. Perusahaan ini adalah salah satu perusahaan yang cukup dihormati di Indonesia.

UNVR bergerak di bidang Fast Moving Consumer Goods (FMCG) atau barang-barang konsumen. Unilever menaungi merek-merek pemimpin pasar seperti Pepsodent, Lifebuoy, Axe, Sariwangi, Kecap Bango, dan lain-lain.

Beberapa tahun terakhir, Unilever tumbuh melambat, yang direspon oleh pasar dengan penurunan harga saham sejak tahun 2019.

Logo Unilever
Sebelum mulai, numpang iklan dulu ya! ๐Ÿ˜€ Barangkali ada yang lagi expecting to have a baby in the near future (selamat ya Moms/Dads), mungkin mau cari-cari ide nama buat adek bayinya, barangkali bisa pake tools teman penulis di nama.bayiunyu.id. 

Analisa Fundamental

Balance Sheet

Aset UNVR menunjukkan pertumbuhan yang melambat. CAGR Total Aset untuk periode 10 tahun sampai dengan 2019 berada di angka 10.68%. Naik dari sebesar IDR 7.4 triliun di tahun 2009, menjadi sebesar IDR 20.6 triliun di tahun 2019. Sedangkan untuk periode yang lebih pendek yaitu 5 tahun sampai dengan tahun 2019, angka CAGR adalah sebesar 7.65%.

Angka pertumbuhan ekuitas malah jauh lebih kecil, dan juga cenderung melambat. CAGR ekuitas untuk periode 10 tahun sampai tahun 2019 berada di angka sebesar 3.6% saja. Sedangkan CAGR periode 5 tahun hanya berada di angka 2.81%.

Rendahnya pertumbuhan ekuitas agaknya tidak terlepas dari kebiasaan UNVR untuk membagi hampir keseluruhan keuntungan usahanya dalam bentuk dividen. Penulis membahas ini lebih lanjut di bawah.

Pertumbuhan Aset, Ekuitas, dan Liabilitas UNVR
Pertumbuhan Aset, Ekuitas, dan Liabilitas UNVR

Dari segi Liabilitas, sekilas terlihat bahwa UNVR memiliki tingkat liabilitas yang sangat besar. Debt to Asset Ratio (DAR), dalam 10 tahun terakhir sampai tahun 2019, secara rata-rata berada di angka 67.06%. Ini pun dengan trend yang meningkat. Pada akhir tahun 2009, DAR UNVR berada di angka 52.24%. Di tahun 2019, angka ini naik menjadi 74.42%.

Debt to Equity Ratio (DER), bahkan menunjukkan ratio yang lebih tinggi. Secara rata-rata dalam periode yang sama, nilai DER UNVR berada di angka 212.18%. Juga dengan trend yang meningkat, DER UNVR tahun 2009 yang berada di angka 109.37%, di tahun 2019 telah naik menjadi 290.95%.

Apakah nilai DER yang tinggi dan cenderung naik ini adalah hal yang buruk? Belum tentu.

Komponen Liabilitas UNVR lebih didominasi oleh Liabilitas Jangka Pendek, ketimbang Liabilitas Jangka Panjang. Sebagai perbandingan, untuk tahun 2019, Liabilitas Jangka Panjang hanya berkontribusi sebesar 14.98% terhadap Total Liabilitas. Akun ini pun jika ditinjau lebih detail, tidak ada yang berupa utang yang bersumber dari pendanaan pihak ketiga (utang bank, obligasi, dan lain-lain).

OK. Liabilitas Jangka Panjang, aman! Lalu bagaimana dengan jangka pendek?

Komponen terbesar Liabilitas Jangka Pendek UNVR setidaknya ada dua: Utang Bank Jangka Pendek, dan Utang Usaha Pihak Ketiga.

Utang Usaha Pihak Ketiga berasal dari kegiatan-kegiatan pembelian bahan baku, bahan pembantu, dan barang jadi. Jumlahnya pun setidaknya dalam 5 tahun terakhir, cenderung stagnan. Berhubung kita tidak pernah mendengar ada supplier UNVR yang sampai tidak dibayar, akun ini seharusnya tidak perlu dikhawatirkan.

Utang Usaha Pihak Ketiga UNVR

Lalu bagaimana dengan Utang Bank Jangka Pendek? Sekilas jika dilihat, trend-nya terlihat meningkat. Namun demikian, menurut Laporan Keuangan UNVR, Utang Bank Jangka Pendek perusahaan umumnya merupakan fasilitas pinjaman tanpa jaminan untuk keperluan modal kerja. Adanya kepercayaan dari berbagai bank yang memberikan fasilitas justru seharusnya menjadi indikator yang positif akan kemampuan UNVR sebagai penghasil kas yang baik dalam jangka pendek. Otherwise, bank-bank tersebut tentu akan meminta jaminan.

Utang Bank Jangka Pendek UNVR

Secara umum, DAR dan DER UNVR memang tinggi, namun lebih disebabkan oleh tingginya modal kerja yang diperlukan UNVR dalam kegiatan produksinya. Sebagai produsen FMCG (Fast Moving Consumer Goods), perputaran arus kas yang baik justru menyebabkan banyak bank berbondong-bondong menawarkan fasilitas pinjaman bagi perusahaan bahkan tanpa jaminan. Bagi UNVR, hal ini tentunya adalah hal yang baik, sebab perusahaan dapat membagi risiko usaha dengan bank-bank tersebut.

Income Statement

Total Pendapatan menunjukkan trend pertumbuhan yang menurun. Di tahun 2009, total pendapatan UNVR adalah sebesar IDR 18.2 triliun. Angka ini tumbuh menjadi sebesar IDR 42.9 triliun di tahun 2019, yang mencerminkan CAGR sebesar 8.93%. Angka CAGR untuk jangka waktu yang lebih pendek (5 tahun dari 2014), rupanya menunjukkan angka yang lebih rendah, yaitu berada di angka 4.46%. Jadi bisa dikatakan pertumbuhan pendapatan UNVR cenderung melambat.

Pendapatan, Laba Kotor, Laba Usaha and Laba Bersih UNVR

Trend perlambatan UNVR lebih mudah diamati dengan menganalisa persentase kenaikan pendapatan setiap tahunnya jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dalam tabel, angka-angka tersebut diperlihatkan di bawah ini.

+/- Pertumbuhan Pendapatan dan Laba UNVR

Jika dituangkan ke dalam sebuah grafik, terlihat jelas bahwa pertumbuhan pendapatan dan laba UNVR cenderung melambat.

+/- Pendapatan dan Laba UNVR dalam Chart
+/- Pendapatan dan Laba UNVR dalam Chart

Terjadinya lonjakan Laba Usaha dan Laba Bersih di tahun 2018 disebabkan oleh adanya keuntungan penjualan aset-aset bisnis spreads (di antaranya merek Blue Band) kepada pihak ketiga.

Penghasilan lain-lain terutama merupakan keuntungan dari penjualan hak untuk mendistribusikan produk Spreads yang menggunakan merek dagang global, merek dagang lokal, dan daftar pelanggan di Indonesia, serta aset takberwujud lainnya kepada PT Upfield Consulting Indonesia sebesar Rp 2.662.540.

UNVR, Laporan Keuangan Tahun 2018

Dari segi margin usaha, kinerja UNVR termasuk baik, namun stagnan. Angka Gross Profit Margin, Operating Profit Margin, dan Net Profit Margin, secara rata-rata dalam sepuluh tahun terakhir sampai dengan tahun 2019, masing-masing berada di angka 51.02%, 23.54%, dan 17.47%.

GPM, OPM, dan NPM UNVR

Cashflow

Arus Kas UNVR secara umum juga menunjukkan trend pertumbuhan yang melambat.

Operating Cashflow dalam 10 tahun terakhir sampai tahun 2019, menunjukan pertumbuhan dengan CAGR sebesar 10.2%. Sedangkan dalam jangka waktu yang lebih pendek (5 tahun sampai 2019), CAGR berada di angka yang lebih rendah yaitu di angka 6.03%.

Free Cashflow juga menunjukkan trend yang sama. CAGR 10 tahun Free Cashflow berada di angka 10.85%, lebih tinggi dari CAGR 5 tahun yang berada di angka 6.02%.

Operating Cashflow dan Free Cashflow UNVR
Operating Cashflow dan Free Cashflow UNVR

Bagaimana dengan efektifitas utang jangka pendek yang dibahas sebelumnya?

Dengan melakukan analisa Operating Cashflow tahun 2019, kita tahu bahwa UNVR berhasil menghasilkan arus kas masuk dari pelanggan sebesar hampir IDR 46.65 triliun. Sedangkan uang kas yang digunakan untuk membayar beban keuangan untuk menghasilkan uang kas sebesar 46 triliun tadi hanya sebesar IDR 230 miliar saja – atau hanya sebesar 0.49% saja – alias sangat-sangat murah.

Analisa Kualitatif

Informasi Segmen

UNVR membagi usahanya ke dalam dua segmen bisnis utama yaitu segmen Home and Personal Care (HPC), dan segmen Foods and Refreshment (FR).

Segmen Home and Personal Care mewadahi merek-merek terkenal seperti Rinso, Sunlight, Molto, Super Pell, Vixal, Wipol, etc, untuk kategori Home Care. Selain itu, terdapat juga merek-merek seperti Axe, Citra, Lux, Pepsodent, Closeup, Pond’s, Dove, Rexona, Sunsilk, Vaseline, Zwitsal, Lifebuoy, etc.

Segmen Foods and Refreshment (FR) tidak kalah mentereng, membawahi merek-merek seperti Bango, Paddle Pop, Buavita, Royco, Sariwangi, Magnum, etc.

Secara subyektif, menurut penulis, merek-merek di atas adalah merek-merek dengan consumer awareness yang kuat. Setidaknya, jika kita mendengar namanya di telinga, kita tahu produk apakah itu dan gunanya buat apa. Sebagian besar di antaranya adalah pemimpin pasar di kategorinya masing-masing.

Kinerja

Secara rata-rata dalam periode lima tahun terakhir, segmen HPC berkontribusi lebih besar daripada segmen FR dengan perbandingan sebesar 69.1% berbanding 30.9%.

Dari segi pertumbuhan, kedua segmen konsisten menunjukkan penurunan. Segmen HPC, untuk periode 10 tahun sampai dengan 2019, berada di angka 7.95%. Angka ini turun ke angka 3.92% untuk periode lima tahunnya yang mengisyaratkan terjadinya penurunan pertumbuhan revenue.

Kondisi yang sama juga terjadi pada segmen FR. Segmen ini menghasilkan CAGR sepuluh tahun sebesar 11.64%, lebih tinggi dari periode lima tahunnya yang berada di angka 5.74%.

Trend yang menurun untuk kedua segmen ini terlihat jelas jika digambarkan ke dalam bentuk diagram seperti di bawah ini.

Grafik Pertumbuhan Pendapatan Antar Segmen UNVR (2009 – 2019)

Diagram di atas, dibuat berdasarkan data yang penulis ambil dari laporan-laporan tahunan UNVR yang dapat disajikan dalam tabel seperti di bawah ini.

Tabel Pendapatan Antar Segmen UNVR (2009 - 2019)
Tabel Pendapatan Antar Segmen UNVR (2009 – 2019)

Pemasaran

Unilever bisa dibilang surganya professional marketer. Ada banyak brand di bawah naungan nama besar Unilever. Sebagian besar merupakan pemimpin pasar.

Hampir setiap hari di jam-jam premier kita melihat iklan-iklan Unilever wara-wiri di televisi. Bahkan dengan jargon-jargon dan tagline yang tidak asing di telinga.

Mungkin Anda pernah mendengar pesan tentang pentingnya cuci tangan karena kampanye iklan Lifebuoy? Atau tagline “Mari Ngeteh Mari Bicara” dari Sariwangi? Keduanya hanyalah sebagian kecil dari kesuksesan kampanye pemasaran Unilever.

Dengan demikian masifnya iklan Unilever di jam-jam tayang premier televisi Indonesia, seberapa efektifkah kampanye yang dilakukan Unilever tersebut?

Tentunya diperlukan analisa yang cukup mendalam untuk bisa menentukan efektif tidaknya. Penulis berusaha melakukan analisa sederhana berdasarkan data-data yang disajikan dalam Laporan Keuangan.

Ada dua akun terkait kegiatan pemasaran yang cukup besar tercatat sebagai Beban yaitu Beban Iklan dan Riset Pasar, dan Beban Promosi.

Iklan dan Riset Pasar adalah kegiatan-kegiatan pemasaran untuk membangun merek. Umumnya kegiatan ini bersifat jangka panjang, sebab dibutuhkan usaha yang bersifat terus-menerus dan konsisten untuk membangun sebuah citra merek yang kuat.

Sedangkan promosi lebih bersifat jangka pendek, misalnya dengan menawarkan diskon, contoh produk, dan lainnya. Umumnya, promosi terkait langsung dengan kinerja penjualan jangka pendek.

Dilihat dari CAGR-nya, akun Iklan dan Riset Pasar dalam periode sepuluh tahun sampai 2019 memiliki CAGR sebesar 4.35%. Sedangkan dalam jangka pendek angka ini turun, bahkan minus menjadi -3.28%. Jadi dalam lima tahun terakhir, alih-alih menaikkan budget untuk beriklan, UNVR memilih untuk menghemat pos tersebut.

Kira-kira kenapa ya?

Dugaan penulis ada beberapa hal. Yang pertama tentunya keyakinan manajemen bahwa merek-merek UNVR telah memiliki citra yang kuat, dengan kesadaran konsumen yang baik. Contohlah merek-merek seperti Rinso, Pepsodent, Axe, Kecap Bango, Buavita, dan Sariwangi.

Yang kedua, mungkin terjadi peralihan channel. Di jaman media sosial sekarang ini, kampanye di kanal-kanal sosmed bisa menjadi alternatif yang baik (dan lebih murah?) untuk menarget konsumen dengan lebih personal dan segmented, ketimbang kampanye broadcast melalui media konvensional seperti televisi.

Promosi justru menunjukkan trend berbeda. Angka CAGR akun ini untuk periode sepuluh tahun dan lima tahun hanya naik tipis, yaitu dari angka 10.42% menjadi 11.15%.

Dugaan penulis, hal ini dilakukan untuk menaklukkan pesaing dan menjaga stabilitas penjualan. Ketatnya persaingan di bisnis FMCG membuat pemain di industri ini bergantung pada kegiatan-kegiatan promosi agar produknya tetap relevan.

Salah satu contoh kegiatan promosi yang dilakukan UNVR misalnya mengadakan Festival Jajanan Bango yang rutin diadakan setiap tahunnya.

Jika digabungkan kedua akun ini memiliki angka CAGR sebesar 6.45% untuk periode sepuluh tahunnya. Angka ini turun menjadi 1.37% untuk CAGR periode lima tahunnya.

Jika dihubungkan dengan penjualan di mana angka penjualan menunjukkan trend CAGR menurun, mungkin saja disebabkan oleh menurunnya budget pemasaran secara umum.

Pesaing

Sektor consumer adalah salah satu sektor dengan jumlah pemain yang sangat banyak. Besarnya jumlah penduduk Indonesia tentunya menjadi daya tarik luar biasa. Merek-merek yang mampu menjadi pemimpin pasar di sektor ini dapat menikmati pertumbuhan jangka panjang yang baik, dengan margin profitabilitas yang baik pula.

Pesaing UNVR tentunya tidak hanya satu dan tergantung dari segmen produknya. Penulis berusaha menyebutkan beberapa saja yang menarik perhatian penulis. Menariknya, semua perusahaan yang disebutkan bukan merupakan perusahaan terbuka sehingga sulit mengukur kinerjanya.

Wings Group

Mendengar nama Wings, penulis teringat dengan produk lawas mereka yaitu Wings Biru (yang ternyata masih ada sampai sekarang). Produk-produk Wings yang menjadi pesaing UNVR di antaranya adalah Daia dan So Klin untuk produk deterjen.

Orang Tua Group

Mendengar nama Orang Tua, mungkin yang terbayang adalah produk anggur kolesom cap Orang Tua. Ternyata OT Group memiliki banyak portofolio merek, namun sebagian besar adalah produk-produk makanan dan minuman.

Persaingan dengan UNVR sendiri salah satunya adalah pada merek pasta dan sikat gigi serta penyegar mulut, di mana OT memproduksi produk-produk di segmen ini dengan merek Formula.

P&G

Procter and Gamble (P&G) adalah perusahaan multinasional yang berbasis di Amerika Serikat. Perusahaan ini mungkin adalah salah satu penantang paling serius UNVR terutama di sektor Shampoo. Unilever merupakan pemilik produk Sunsilk, Dove, dan yang paling anyar Tresemme. Sedangkan P&G menantang Unilever dengan merek Head & Shoulder, Rejoice, dan Pantene.

Selain itu, P&G juga menjadi merupakan pemilik merek Oral-B sebagai penantang Pepsodent.

Reckitt

Reckitt adalah perusahaan yang berbasis di Inggris. Perusahaan ini adalah penantang Unilever di segmen sabun mandi. Unilever dengan merek Lifebouy, sedangkan Reckitt adalah pemilik merek Dettol.

Campina

Campina adalah produsen es krim dalam negeri yang dikendalikan oleh keluarga Sabana Prawirawidjaja – pemilik Ultrajaya. Campina adalah penantang UNVR di segmen es krim di mana UNVR merupakan pemilik brand Walls.

Manajemen

Selayaknya perusahaan multinasional lainnya dengan induk perusahaan di luar negeri, manajemen UNVR semuanya diisi oleh orang-orang dalam yang telah bergabung puluhan tahun dengan perusahaan. Saat ini posisi President Director dipimpin oleh Ira Noviarti profesional berkebangsaan Indonesia, setelah sebelumnya dipimpin oleh Hemant Bakshi yang saat ini menjadi Komisaris Utama perusahaan.

Penulis hanya bisa menduga-duga bahwa selain karena pengalamannya menduduki berbagai posisi manajemen senior di Unilever Indonesia dan global, keputusan penunjukan Ira Noviarti mungkin juga untuk memberikan flavour ke-Indonesiaan-an dalam keputusan bisnis Unilever di Indonesia. Dengan semakin ketatnya persaingan terutama oleh perusahaan-perusahaan di dalam negeri, pemahaman terhadap karakter orang Indonesia tentunya menjadi penting jika UNVR ingin mempertahankan kinerjanya di Indonesia.

Dividen

UNVR adalah salah satu emiten yang rajin membagikan dividen. Setiap tahun perusahaan ini tidak pernah absen membagikan dividen, bahkan dua kali dalam setahun.

Dari tahun 2008 – 2020, Dividend Payout Ratio yang dibayarkan UNVR mencapai angka rata-rata sebesar 93.95%. Namun secara yield tidak terlalu menarik, sebab hanya berada di kisaran 2% saja disebabkan oleh mahalnya harga saham UNVR.

Dengan trend penurunan harga saham UNVR saat ini tentunya menjadi salah satu game changer sebab semakin turun harga, maka dividend yield menjadi semakin baik. Di harga saat artikel ini ditulis (IDR 4,220), dengan asumsi pembayaran dividen seperti tahun 2020, maka dividend yield yang ditawarkan UNVR saat ini adalah sebesar 4.6%. Berhubung tahun 2020, kinerja UNVR masih dipengaruhi oleh pandemi, maka setelah pandemi tentunya cukup realistis untuk memprediksi angka dividend yield yang lebih tinggi lagi.

Akuisisi

Sebagai perusahaan global dengan kekuatan finansial yang sangat besar, salah satu strategi Unilever global untuk mempertahankan pertumbuhannya adalah dengan melakukan akuisisi. Unilever gencar mengakuisisi merek-merek baik global maupun lokal, kemudian menjual produk-produk tersebut dengan cakupan pasar yang lebih luas.

Di dalam negeri UNVR melakukan akuisisi merek Sariwangi di tahun 1989, Bango di tahun 2001, dan Buavita pada tahun 2008. Kesemuanya menurut penulis adalah contoh akuisisi yang sukses, sebab semuanya menjadi pemimpin pasar di segmennya masing-masing.

Untuk akuisisi merek global yang cukup sukses dipasarkan di Indonesia, yang terbaru menurut penulis adalah Tresemme. Merek perawatan rambut asal Amerika Serikat ini diakuisisi oleh Unilever di tahun 2010. Saat ini Tresemme menjadi salah satu produk perawatan rambut yang cukup dikenal di Indonesia.

Sampai saat ini, Unilever global tetap gencar melakukan akuisisi. Yang terbaru adalah akusisi merek Paula’s Choice.

Menurut penulis, sudah saatnya Unilever mempertimbangkan akuisisi merek-merek asli Indonesia lainnya. Dan jika itu terjadi, mungkin akan menjadi game changer lain harga saham Unilever.

Valuasi

Nilai Intrinsik

Untuk perhitungan nilai intrinsik, penulis melakukan sedikit perbaikan dari cara perhitungan sebelumnya. Cara perhitungan yang baru akan penulis jelaskan di artikel yang lain. Secara singkat, perhitungan nilai intrinsik dilakukan dengan menggunakan pendekatan estimasi pertumbuhan EPS selama 5 dan 10 tahun ke depan, serta memperhitungkan ekspektasi nilai PER dan PBV dalam periode tersebut.

Penulis menggunakan asumsi CAGR sebesar 5%, PER 28x, dan PBV 26x.

Untuk periode lima tahun, dengan menggunakan pendekatan PER, penulis mendapati bahwa harga wajar UNVR akan berada di rentang harga IDR 4,305 (optimistik) dan IDR 2,436 (pesimistik). Nilai pesimistik didapat dengan memasukkan setengah dari asumsi PER dan PBV yang dipakai. Sehingga secara rata-rata, nilai intriksik UNVR berada di angka IDR 3,371. Perhitungan ini sudah dengan margin of safety sebesar 25%. Sedangkan dengan pendekatan PBV, penulis mendapati harga intrinsik di rentang IDR 3,375 sampai dengan IDR 1,971. Rata-rata dividend yield yang didapat jika masuk di harga optimistik adalah sebesar 3.52%.

Dengan metode dan asumsi data yang sama, untuk periode 10 tahun, dengan pendekatan PER penulis mendapati bahwa nilai intrinsik UNVR berada di rentang IDR 3,317 – IDR 2,665. Sedangkan dengan pendekatan PBV, nilai intrinsik akan berada di rentang IDR 2,920 – IDR 1,815. Rata-rata dividend yield yang didapat jika masuk di harga optimistik adalah sebesar 3.58%.

Untuk berada di harga intrinsik yang lebih tinggi, UNVR harus meningkatkan kinerjanya dan memproduksi growth dengan CAGR di atas 5%.

PER

Dengan trend penurunan harga saham UNVR yang masih terus terjadi saat artikel ini ditulis, justru menawarkan kesempatan bagi investor untuk membeli saham UNVR. Saat ini UNVR berada di angka PER sebesar 24.43x yang merupakan angka yang bahkan lebih rendah dari -2 standar deviasi 10 tahun terakhir.

PER UNVR 10 Tahun Terakhir

PBV

Dari segi PBV juga menunjukkan trend yang sama. Di harga saat ini, UNVR berada di angka PBV 40.11x yang merupakan nilai yang lebih rendah dari rata-rata sepuluh tahunnya. UNVR bahkan sempat menyentuh angka PBV sampai 28x.

PBV UNVR 10 Tahun Terakhir

Kesimpulan

Ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil setelah analisa di atas:

  1. UNVR adalah perusahaan yang baik. Perusahaan ini menaungi berbagai merek-merek terkenal di sektor FMCG, di mana sebagian besar di antaranya adalah pemimpin pasar.
  2. Pertumbuhan Aset dan Ekuitas UNVR cenderung melambat di mana CAGR 10 tahunnya lebih besar dari CAGR 5 tahunnya. Pertumbuhan pendapatan juga menunjukkan trend yang sama.
  3. Dari segi utang, perusahaan memiliki nilai DER yang tinggi. Hal ini terutama disebabkan oleh tingginya utang jangka pendek. Walaupun tinggi, namun utang jangka pendek ini terutama merupakan fasilitas yang diberikan bank tanpa jaminan. Hal ini menjadi sinyal positif atas kemampuan perusahaan menghasilkan arus kas.
  4. Profit margin UNVR berada di angka yang baik namun cenderung stagnan.
  5. UNVR adalah pembayar dividen yang royal bahkan dua kali dalam setahun. Sebelumnya, UNVR secara rata-rata memberikan dividend yield yang kecil yaitu sekitar 2% saja.
  6. UNVR saat ini berada di bawah rata-rata nilai PER dan PBV-nya dalam sepuluh tahun terakhir. Khusus untuk PER, nilai PER saat ini telah mencapai area di bawah -2 standar deviasinya, yang menunjukkan harga yang murah.
  7. Manajemen UNVR umumnya diisi oleh para profesional yang telah meniti karir cukup lama di UNVR. Saat ini posisi Presiden Direktur dipegang oleh orang Indonesia, menjadi sinyal positif bagi pemahaman pasar dalam negeri.

Jadi apakah UNVR layak untuk dikoleksi ke dalam portfolio?

UNVR adalah perusahaan yang baik, bahkan merupakan salah satu perusahaan yang disegani di Indonesia. Hanya saja beberapa tahun belakangan ini, perusahaan mengalami perlambatan. Dengan rate pertumbuhannya saat ini, bisa dikatakan UNVR berada di kategori slow growth.

Namun demikian, trend harga saat ini menawarkan kesempatan bagi investor retail untuk mengkoleksi saham ini ke dalam portfolio. Secara pribadi, penulis mempertimbangkan untuk mulai melakukan akumulasi di harga IDR 4,300. Di harga sekarang, dividend yield yang ditawarkan sudah cukup menarik. Dengan asumsi dividend sama seperti tahun 2020, yaitu sebesar IDR 197, memberikan dividend yield sebesar 4.5% – setara deposito saat tulisan ini dibuat.

Asumsi CAGR 5% penulis merasa sudah cukup konservatif. Kita berharap pandemi Covid-19 segera berakhir. Dan penulis yakin, jika pandemi selesai, sektor FMCG akan bergairah kembali.

Demikian semoga bermanfaat!

Analisa Saham PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP)

PT PP London Sumatra Indonesia Tbk, yang dikenal sebagai โ€œLonsumโ€, didirikan pada tahun 1906 pada saat Harrisons & Crosfield Plc, perusahaan perdagangan dan perkebunan yang berbasis di London, Inggris, memulai lahan perkebunan pertamanya di Indonesia berlokasi dekat kota Medan, Sumatera Utara.

Pada tahun 2007, Indofood Agri Resources Ltd. (IndoAgri) melalui entitas anaknya PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) mengakuisisi dan menjadi pemegang saham utama Lonsum. Sejak akuisisi tersebut, Lonsum menjadi bagian dari Grup PT Indofood Sukses Makmur Tbk (Indofood) serta bersinergi dengan perusahaan-perusahaan lainnya dalam Grup Indofood.

Sebagai salah satu perusahaan perkebunan terkemuka di Indonesia, apakah LSIP layak untuk dijadikan sebagai portfolio investasi?

PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP)
PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP)
Sebelum mulai, numpang iklan dulu ya! ๐Ÿ˜€ Barangkali ada yang lagi expecting to have a baby in the near future (selamat ya Moms/Dads), mungkin mau cari-cari ide nama buat adek bayinya, barangkali bisa pake tools teman penulis di nama.bayiunyu.id. 

Analisa Fundamental

LSIP adalah perusahaan perkebunan dengan hasil produksi utama kelapa sawit. Oleh karena itu, naik-turunnya performa perusahaan sedikit banyak ditentukan oleh naik turunnya harga minyak kelapa sawit (CPO).

Grafik berikut ini menunjukkan trend harga minyak kelapa sawit (CPO) dari pertengahan 2005 sampai dengan awal 2021.

Harga CPO pertengahan 2005 sampai dengan awal 2021
Harga CPO pertengahan 2005 sampai dengan awal 2021

Balance Sheet

Yang paling penting, tentunya tingkat utang emiten. Untuk LSIP, tingkat utang sangat aman. Sejak tahun 2010, perusahaan tercatat tidak pernah berutang jangka panjang terutama dari bank.

Akun-akun liabilitas jangka panjang umumnya berasal dari Liabilitas Pajak, serta Liabilitas Imbalan Kerja. Jumlahnya pun masih berada pada tingkatan yang cukup aman.

Secara umum Debt to Equity Ratio (DER) dan Debt to Asset Ratio (DAR) berada di angka yang aman. Rata-rata 10 tahun dan 5 tahun DER adalah sebesar 23.81% dan 21.021%. Sedangkan rata-rata 10 tahun dan 5 tahun DAR berada di angka 18.83% dan 17.35%.

DER dan DAR LSIP 10Y dan 5Y
DER dan DAR LSIP 10Y dan 5Y

Yang menjadi catatan adalah dari sisi growth alias pertumbuhan. Secara CAGR, pertumbuhan aset LSIP selama 10 tahun (2009 – 2019) “hanya” berada di angka 7.74% saja. Sedangkan jika dianalisa dengan periode yang lebih pendek yaitu dari tahun 2014 – 2019, angka CAGR pertumbuhan asetnya menjadi “hanya” sebesar 3.39% saja.

Pertumbuhan ekuitas juga menunjukkan trend yang kurang lebih sama, di mana CAGR 10 tahun ekuitas pada periode 2009 – 2019 berada di angka 8.35%, sedangkan CAGR 5 tahun ekuitas pada periode 2014 – 2019 berada di angka 3.32%.

Pertumbuhan Aset dan Ekuitas LSIP (2008 – 2020)

Income Statement

Dari segi pendapatan, selayaknya perusahaan siklikal, LSIP memiliki pertumbuhan pendapatan naik turun. Untuk tahun-tahun yang baik, seperti tahun 2010, 2011, 2014, dan 2017, LSIP mampu menunjukkan pertumbuhan dari tahun sebelumnya, sedangkan di tahun-tahun lainnya menunjukkan penurunan.

Dalam periode 10 tahun – dari tahun 2009 sampai dengan 2019 – Pendapatan LSIP bisa dibilang tidak ke mana-mana. Di tahun 2009, pendapatan LSIP adalah sebesar IDR 3.8 triliun, sedangkan di tahun 2019, angka ini malah turun menjadi hampir sebesar IDR 3.7 triliun.

Gambar di bawah ini menyajikan Pendapatan, Laba Kotor, Laba Usaha, dan Laba Bersih LSIP dari periode 2008 – 2020. Dapat kita amati bahwa dalam periode tersebut, pendapatan LSIP cenderung di situ-situ saja, dengan trend pertumbuhan meningkat di tahun-tahun tertentu di mana harga CPO sedang naik.

Pendapatan, Gross Profit, Operating Profit, dan Net Profit LSIP (2008 – 2020)

Pengaruh siklus industri CPO mungkin lebih terlihat jelas jika kita menganalisa naik-turunnya pendapatan, seperti terlihat pada grafik di bawah ini. Bisa dilihat bahwa untuk tahun-tahun yang baik, pertumbuhannya positif.

Pertumbuhan Pendapatan dan margin-margin usaha LSIP (2008 – 2020)

Yang menarik justru pada tahun 2020.

Kita tahu di tahun 2020 pendapatan LSIP turun, yaitu dari angka IDR 3.7 triliun di tahun 2019 menjadi IDR 3.5 triliun di tahun 2020. Namun demikian, profit margin justru mengalami kenaikan signifikan. Di tahun 2020, Gross Profit Margin perusahaan meningkat dari angka 15.19% di tahun 2019 menjadi 30.42%. Pun demikian halnya dengan Net Profit Margin yang meningkat signifikan dari hanya sebesar 6.84% menjadi 19.65% di tahun 2020.

Meningkatnya angka profit margin tersebut, menurut analisa penulis tidak lain disebabkan oleh meningkatnya harga CPO, di mana di tahun 2020, harga CPO terus menguat sejak awal Mei 2020, sampai sempat menyentuh harga tertinggi sebesar 4,500 MYR di pertengahan Mei 2021.

Secara rata-rata margin usaha LSIP bisa dibilang cukup baik. Dari tahun 2008 – 2020, Gross Profit Margin rata-rata berada di angka 34.06%; Operating Profit Margin di angka 25.48%; dan Net Profit Margin di angka 19.76%. Namun demikian, setidaknya dari tahun 2015, angka GPM dan OPM LSIP tidak pernah berada di atas angka rata-ratanya. Pun demikian halnya dengan NPM sejak tahun 2013. Artinya, angka yang baik tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh kinerja masa lalu.

Dengan periode analisa yang lebih pendek, rata-rata GPM, OPM, dan NPM LSIP ternyata lebih rendah yaitu masing-masing berada di angka 23.96%, 16.19%, dan 13.24%.

Gross Profit Margin, Operating Profit Margin, dan Net Profit Margin LSIP (2008 - 2020)
Gross Profit Margin, Operating Profit Margin, dan Net Profit Margin LSIP (2008 – 2020)

Cashflow

Cashflow LSIP secara umum baik. Operating Cashflow dari tahun ke tahun tetap positif, dengan kecenderungan naik-turun mengikuti trend harga CPO. Misalnya pada tahun 2019, harga CPO yang rendah agaknya berimpas pada menurunnya pendapatan, yang secara tidak langsung mempengaruhi Operating Cashflow.

Capex secara umum digunakan untuk penambahan aset tetap serta investasi pada entitas asosiasi.

Operating Casflow vs Capex LSIP

Analisa Kualitatif

Segmen Usaha

LSIP membagi usahanya ke dalam tiga segmen usaha yaitu Produk Kelapa Sawit, Karet, Benih, dan Usaha Lainnya.

Secara rata-rata, segmen Produk Kelapa Sawit merupakan penyumbang pendapatan terbesar. Selama 12 tahun sampai dengan tahun 2019, segmen Produk Kelapa Sawit memberikan kontribusi sebesar rata-rata 86.29%. Dalam lima tahun terakhir sampai 2019, angka ini meningkat tipis menjadi 91.32%. Artinya, dalam lima tahun terakhir, kontribusi pendapatan terhadap pendapatan meningkat.

Namun harus diingat, yang meningkat adalah kontribusi segmen terhadap Total Pendapatan. Secara kuantitas, pendapatan segmen ini memiliki trend naik-turun mengikuti harga acuan industri.

Pendapatan Segmen Kelapa Sawit LSIP 2008 - 2019
Pendapatan Segmen Kelapa Sawit LSIP 2008 – 2019

Segmen Karet memiliki trend sebaliknya. Dalam periode 12 tahun terakhir sampai tahun 2019, segmen ini rata-rata berkontribusi sebesar 8.69%. Dalam lima tahun sampai 2019, angka ini turun menjadi sebesar 5.37%.

Segmen Benih, memiliki trend kontribusi yang sama, di mana kontribusi rata-rata 12 tahunnya lebih tinggi daripada rata-rata 5 tahunnya, yaitu masing-masing di angka 3.60% dan 1.89%.

Secara kuantitas, Segmen Karet dan Benih sama-sama mengalami trend menurun. Segmen Karet, mengalami trend penurunan semenjak tahun 2011 (di angka IDR 595 miliar), turun menjadi hanya sebesar IDR 184 miliar saja. Trend yang sama terjadi pada segmen benih sejak tahun 2012. Di tahun tersebut segmen ini berkontribusi sebesar hampir IDR 274 miliar, turun menjadi hanya sebesar IDR 45 miliar saja di tahun 2019.

Pendapatan LSIP di Segmen Karet, Benih, dan Lainnya 2008 - 2019
Pendapatan LSIP di Segmen Karet, Benih, dan Lainnya 2008 – 2019

Volume Produksi

Menganalisa volume produksi dalam jangka panjang (masih sampai tahun 2019), penulis mendapati hasil yang hampir sama. Pertumbuhannya stagnan, atau kalaupun naik – tidak signifikan.

Hal ini kita bisa amati di produksi Tandan Buah Segar. Total produksi Tandan Buah Segar (Total TBS) mengalami kenaikan dari tahun 2010. Namun setelahnya, produksi Total TBS naik-turun dan terkesan di situ-situ saja. Di tahun 2010, total produksi TBS mendekati angka 1.6 juta ton kemudian naik turun mencapai puncaknya di angka 2.1 juta ton di tahun 2015. Di tahun 2019, angka ini turun menjadi sebesar 1.7 juta ton.

Pun demikian halnya dengan TBS Inti, walapun cenderung lebih konsisten meningkat, namun menunjukkan pertumbuhan yang lambat. Di tahun 2006, total produksi TBS Inti adalah sebesar 1 juta ton. Di tahun 2019, angka ini naik mencapai hampir 1.46 juta ton (CAGR = 2.77%).

Produksi Total TBS dan TBS Inti LSIP 2006 - 2019
Produksi Total TBS dan TBS Inti LSIP 2006 – 2019

Produksi CPO dan Inti Sawit juga menunjukkan trend yang serupa seperti terlihat di chart di bawah ini.

Produksi CPO dan Inti Sawit LSIP 2006 - 2018
Produksi CPO dan Inti Sawit LSIP 2006 – 2018

Sampai saat ini, penulis berkesimpulan bahwa walaupun berfluktuasi, namun produksi produk-produk CPO LSIP secara umum meningkat, namun dalam trend yang lambat – bahkan cenderung stagnan.

Trend menurun justru ditunjukkan oleh segmen selain Kelapa Sawit, terutama produksi karet.

Semenjak tahun 2007, produksi Karet LSIP cenderung menurun. Di tahun 2007, total produksi berada di angka 31 ribu ton, sedangkan di tahun 2019 menjadi hanya sebesar 8 ribu ton saja.

Total Produksi LSIP untuk Segmen Karet, Kakao, dan Teh 2006 - 2018
Total Produksi LSIP untuk Segmen Karet, Kakao, dan Teh 2006 – 2018

Tabel total produksi per-segmen beserta CAGR-nya ditunjukkan pada table berikut.

Total Produksi Per Segmen LSIP
Total Produksi Per Segmen LSIP

Walaupun tidak signifikan, namun trend produksi yang menurun tentunya harus menjadi catatan. Apakah segmen yang menurun ini disebabkan oleh trend industri yang juga menurun terutama di segmen Karet? Ataukah mungkin perusahaan menganggap segmen ini tidak lagi menarik, sehingga tidak “serius” digarap?

Kinerja Sang Induk SIMP

Sampai sejauh ini, kita tahu bahwa lebih dari 90% Total Pendapatan LSIP didapat dari segmen Produk Kelapa Sawit. Kita juga tahu bahwa pertumbuhan di segmen ini cenderung stagnan, baik dari segi nilai Pendapatan maupun Volume Produksi.

Dari Annual Report (AR) LSIP tahun 2020, perusahaan menginformasikan bahwa hampir 90% dari Produk Kelapa Sawit dijual kepada PT Salim Invomas Pratama (SIMP).

Sekitar 96% dari total volume penjualan CPO dijual ke PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP), entitas induk Lonsum. Semua transaksi penjualan dengan SIMP dilaksanakan berdasarkan syarat dan ketentuan komersial yang wajar.

LSIP, AR 2020

Oleh karena itu, untuk mengetahui bagaimana potensi pertumbuhan LSIP ke depannya, perlu juga diketahui bagaimanakah kinerja SIMP selaku “konsumen” utama LSIP.

Dalam waktu sepuluh tahun terakhir sampai dengan tahun 2019, Total Pendapatan SIMP memiliki trend yang meningkat, namun lambat. Angka CAGR Pendapatan pada periode 2009 – 2019, hanya sebesar 4.21% saja. Untuk periode lima tahun (2014 – 2019), angka CAGR Pendapatan malah berada di posisi -1.82% – alias pendapatannya turun.

SIMP membagi usahanya ke dalam dua segmen, yaitu segmen Perkebunan, serta segmen Minyak dan Lemak Nabati. Melihat data 10 tahun (2009 – 2019) ternyata didapat trend yang sama. Segmen Perkebunan hanya mampu tumbuh dengan CAGR 1.99%, sedangkan segmen Minyak dan Lemak Nabati hanya mampu tumbuh dengan angka CAGR sebesar 2.41% saja.

CAGR periode 5 tahun (2014 – 2019) pun tidak lebih baik. Pertumbuhan segmen Perkebunan bahkan menurun yaitu dengan CAGR sebesar -4.2%, sedangkan segmen Minyak dan Lemak Nabati cenderung stagnan dengan CAGR hanya sebesar 0.87% saja.

Apa yang Terjadi?

Terus terang penulis tidak tahu dan tidak berusaha mencari tahu lebih dalam.

Namun dengan mengamati beberapa fakta bahwa:

  1. Pertumbuhan LSIP cenderung stagnan,
  2. Pertumbuhan sang induk SIMP sebagai konsumen utama produksi LSIP yang juga stagnan,
  3. LSIP dan SIMP adalah perusahaan yang tergabung dalam kelompok usaha Indofood, sehingga kemampuan manajemen seharusnya tidak perlu diragukan,

Penulis memiliki beberapa hipotesis bahwa:

  1. Memang pasar produk-produk CPO sudah stagnan (dalam dan luar negeri),
  2. CPO adalah salah satu industri yang cukup sulit dikelola dengan prediktabilitas yang baik – alias bisnis ini ribet. Bahkan mungkin lebih ribet dari bisnis energi seperti batubara.

Untuk hipotesis pertama, sentimen negatif industri CPO terkait dengan sustainability dan implikasi negatifnya pada lingkungan – bisa jadi adalah salah satu faktor.

Hipotesis kedua, didasari oleh keyakinan bahwa dengan manajemen group sekelas Indofood, pertumbuhan pendapatan yang cenderung stagnan bisa jadi karena industri ini adalah industri yang cukup sulit untuk dikelola.

Sebagai perbandingan, PTBA yang sama-sama perusahaan komoditas dapat menghasilkan pertumbuhan pendapatan yang cukup tinggi. Tentunya mengolah batubara yang sudah ada di alam dan tinggal diambil, berbeda pengelolaannya dibandingkan dengan kelapa sawit yang harus ditanam terlebih dahulu, serta perkembangannya sampai panen sangat tergantung dari alam.

Dividen

LSIP adalah salah satu emiten di BEI yang rajin membagikan dividen. Untuk tahun 2020 sendiri, LSIP membagikan dividen sebesar IDR 15. Angka ini mencerminkan Dividend Payout Ratio sebesar 40.3%.

Dividen LSIP (sumber: stockbit)
Dividen LSIP (sumber: stockbit)

Dari segi Dividend Yield, LSIP pernah mencapai angka yield yang cukup baik, yaitu di angka >6% di medio tahun 2013. Namun beberapa tahun belakangan, Dividend Yield LSIP cenderung minim, yaitu berada di bawah 2%.

Analisa Valuasi

Nilai Intrinsik

Penulis tidak dapat menghitung nilai intrinsik LSIP dengan menggunakan metode yang penulis gunakan untuk menghitung nilai intrinsik saham EKAD. Hal ini disebabkan oleh angka CAGR EPS LSIP dalam 10 tahun menunjukkan angka negatif.

PER

Melihat chart PER LSIP di stockbit, penulis agak kesulitan menentukan apakah PER saat ini murah atau tidak. Hal ini karena angka PER LSIP di sekitaran tahun 2019 sampai 2020 melonjak sangat tinggi, diakibatkan oleh saking rendahnya EPS LSIP saat itu. Lonjakan angka PER ini mendistorsi angka mean standar deviasi PER LSIP.

PER LSIP 10 tahun terakhir
PER LSIP 10 tahun terakhir

PBV

Chart PBV agaknya lebih bersahabat untuk diamati. Secara rata-rata, PBV LSIP berada di angka 1.68x. Dengan angka PBV saat ini yang berada di angka 1.25x, secara relatif LSIP saat ini dihargai lebih murah oleh pasar.

PBV LSIP 10 tahun terakhir
PBV LSIP 10 tahun terakhir

Kesimpulan

Ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari analisa sederhana di atas:

  1. Secara fundamental, LSIP adalah perusahaan yang sehat. Angka DER dan DAR dalam jangka 10 tahun maupun 5 tahun terakhir menunjukkan angka yang baik.
  2. Aset dan Ekuitas bertumbuh, namun laju pertumbuhan 5 tahunnya lebih kecil dari 10 tahun. Artinya beberapa tahun belakangan, LSIP tumbuh melambat.
  3. Pendapatan juga menunjukkan pertumbuhan yang lambat dan cenderung stagnan. Bahkan untuk segmen selain kelapa sawit, cenderung menunjukkan penurunan kinerja.
  4. Margin usaha cenderung naik-turun mengikuti harga CPO. Untuk tahun-tahun yang baik di mana harga CPO naik, angka-angka margin profitabilitas relatif lebih tinggi.
  5. Pertumbuhan yang cenderung stagnan bisa jadi disebabkan oleh permintaan pasar yang stagnan – baik untuk produk jadi, dan komoditas. Selain itu, bisa jadi industri kelapa sawit (dan komoditas perkebunan yang lain) adalah salah satu industri yang cukup challenging untuk dikelola.
  6. LSIP termasuk emiten yang rajin membagikan dividen. Saat ini Dividend Yield yang ditawarkan cenderung kecil – yaitu di angka 1.4% saja. Namun di masa lalu, LSIP dapat menawarkan Dividend Yield bahkan di atas 6%.
  7. Dari segi valuasi sederhana, analisa PBV paling mungkin digunakan. Menghitung nilai intrinsik menggunakan estimasi pertumbuhan EPS tidak dapat dilakukan, karena trend pertumbuhan EPS LSIP negatif. Demikian juga analisa PER, yang agak sulit dilakukan sebab PER medio 2019 – 2020 terlalu tinggi sehingga menimbulkan distoris pada angka mean standar deviasi PER-nya.

Apakah LSIP layak di-invest?

Tidak diragukan bahwa LSIP memiliki underlying fundamental yang cukup baik (utang sedikit, dan margin usaha yang baik). Hanya saja, secara pribadi penulis akan cenderung memilih skip dan mencari peluang di emiten yang lain saja, dengan beberapa alasan:

  1. Pendapatan stagnan, bahkan untuk segmen non-CPO cenderung turun.
  2. Bisnis CPO agaknya adalah salah satu bisnis yang susah dimengerti. Pendapatan dan margin menunjukkan trend naik-turun sesuai harga CPO di pasar. Volume produksi menunjukkan trend naik-turun yang mungkin sangat dipengaruhi oleh faktor alam.

I try to buy stock in businesses that are so wonderful that an idiot can run them. Because sooner or later, one will.

Never invest in a business you cannot understand.

Warren Buffet

Tentunya analisa sederhana ini tidak dapat dijadikan acuan untuk menentukan baik-buruknya saham LSIP.

Ada beberapa sentimen positif yang tidak penulis bahas, seperti program biodiesel yang dicanangkan pemerintah yang diharapkan dapat menyerap produksi CPO dalam negeri. Selain itu, sikap negara-negara Uni Eropa terhadap produk CPO Indonesia juga perlu dianalisa lebih jauh apakah memiliki dampat negatif yang signifikan bagi perusahaan-perusahaan CPO di Indonesia.

Faktor-faktor eksternal ini justru semakin menunjukkan betapa rumitnya untuk berinvestasi di sektor yang satu ini.

Demikian, semoga bermanfaat!

LynPF Two Minutes Drill ala Peter Lynch

Untuk para fans Om Peter Lynch, mungkin tidak asing dengan metode two minutes drill.

Peter Lynch sit down
Om Peter Lynch. Source: Googling.

Singkatnya menurut Om Lynch, sebelum membeli suatu saham, kita harus bisa melakukan monolog selama dua menit yang dapat menceritakan bagaimana sebuah perusahaan yang kita akan beli sahamnya bisa sukses, serta apa saja yang dapat menghalangi perusahaan untuk mencapai kesuksesan itu. Kalau bisa menceritakannya pada orang lain seperti keluarga, teman, bahkan anak-anak; maka kita bisa yakin bahwa kita tahu apa yang kita beli,

Berikut ini adalah beberapa saham yang penulis coba untuk membuat ringkasannya. Lebih tepatnya sih, berupa rangkuman dari artikel aslinya.

Selain itu untuk semua saham, penulis coba untuk memberikan rating. Bukan berarti satu perusahaan lebih baik dari yang lainnya, tetapi lebih kepada penilaian subyektif penulis mengenai apakah saham tersebut cukup menarik untuk dikoleksi atau tidak.

Sekali lagi, penilaiannya bersifat subyektif. Jadi tidak ada metode tertentu untuk melakukan scoring. Karena subyektif, Anda tentu sangat boleh untuk tidak setuju! ๐Ÿ™‚

Saham yang dibahas, tidak mencerminkan portfolio manapun, termasuk milik penulis.

Sebelum mulai, numpang iklan dulu ya! ๐Ÿ˜€ Barangkali ada yang lagi expecting to have a baby in the near future (selamat ya Moms/Dads), mungkin mau cari-cari ide nama buat adek bayinya, barangkali bisa pake tools teman penulis di nama.bayiunyu.id. 

Summary

Kode SahamRating
HMSP
ULTJ
SIDO
IFII
MLBI
PTBA
PWON
Summary Rating

HMSP

Logo HMSP
Logo HMSP

PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) adalah salah satu produsen rokok terbesar di Indonesia. HMSP adalah pemegang merek Sampoerna, Dji Sam Soe, serta pemegang hak distribusi rokok Marlboro di Indonesia.

Dari segi fundamental, karakteristik HMSP sebagai pemimpin pasar jelas terlihat di mana perusahaan nyaris tidak memiliki utang.

Perusahaan juga bertipe cash-rich. Setidaknya di Q1 2021, nilai Cash per Share HMSP adalah sebesar IDR 120.54 yang meredengan nilai Book Value per Share sebesar IDR 282.40. Jadi sebesar 42.55% nilai sahamnya berupa uang cash.

Dari segi growth sayangnya tidak terlalu baik. CAGR Pendapatan dari tahun 2014 – 2019 hanya sebesar 5.06%. Hampir sama dengan CAGR Laba bersih yang berada di angka 5.92%.

Tahun 2020 agaknya menjadi tahun yang kurang baik bagi HMSP. Selain terjadinya penurunan pendapatan karena pandemi, perusahaan juga mengalami penurunan profit margin imbas dari kenaikan tarif cukai. Pendapatan perusahaan sebesar IDR 94.2 triliun, turun dari tahun sebelumnya sebesar IDR 106 triliun. Pun demikian halnya dengan profit margin. Gross Profit Margin turun menjadi “hanya” sebesar 20.23%, anjlok dari rata-rata 5 tahun sebelumnya yang berada di angka 25%.

Harga HMSP konsisten turun dari tahun 2019. Hal ini agaknya disebabkan oleh sentimen sunset industry bagi industri rokok. Hal ini justru memberikan kesempatan bagi investor untuk membeli saham HMSP di harga murah.

Ketika artikel ini ditulis, harga sama ada di angka IDR 1,210. Jika dibeli sekarang, ketika pandemi berakhir, dan dengan asumsi pembagian dividen sama yang sama seperti tahun 2020, maka Dividend Yield yang ditawarkan cukup menarik, yaitu di angka 9.83%.

Untuk sentimen sunset industri sendiri, ada beberapa catatan mengapa hal ini tidak mudah terjadi di HMSP. Pertama, HMSP terlalu penting bagi Phillip Morris. Kedua, kontribusi cukai tembakau bagi pendapatan negara masih cukup besar. Belum lagi jumlah peningkatan jumlah pengangguran kalau perusahaan rokok pada tutup.

Cukai boleh naik terus. Tapi membunuh industri rokok akan sama dengan menghilangkan sumber pendapatan negara. Mungkin itu pula sebabnya sehingga Indonesia belum menandatangani FCTC.

Phillip Morris sendiri telah mengubah visinya untuk menjadi yang terdepan di dalam mentransformasi industri rokok menjadi industri bebas asap rokok. Terdengar absurd kan? Namun faktanya, PMI habis-habisan melakukan R&D untuk produk IQOS – rokok elektronik bebas asap pembakaran miliknya.

Ke depannya, agaknya kesuksesan PMI melakukan transformasi industri akan menjadi penentu apakah industri tembakau benar-benar sunset atau tidak.

Caveat

Turunnya harga saham HMSP, menawarkan Dividend Yield yang menarik di harga saat ini. Kekuatan modal investor untuk mengoleksi di harga bawah menjadi kunci. Tentunya dibarengi risiko menangkap pisau jatuh. Tidak ada yang tahu seberapa dalam harga akan jatuh.

Transformasi industri tembakau oleh PMI agaknya masih akan menemui jalan panjang dan penuh tantangan. PMI sendiri mengakui bahwa tidak ada yang bisa menjamin mereka akan sukses melakukannya.

Satu lagi.

Saat ini, dengan tidak ditandatanganinya FCTC oleh pemerintah Indonesia, maka industri rokok dalam negeri bisa dikatakan “aman” dari sunset. Namun jika pemerintah berganti di tahun 2024, tidak ada yang bisa menjamin apa yang akan terjadi kemudian.

Analisa saham HMSP, pernah penulis ulas di sini.

Verdict:

ULTJ

Logo ULTJ

ULTJ adalah pemimpin pasar produk susu UHT.

Perusahaan ini adalah salah satu cash-rich company. Sampai dengan tahun 2019, perusahaan nyaris tidak memiliki utang.

Perusahaan ini memiliki growth yang baik. Selama 10 tahun sampai tahun 2019, perusahaan mampu mencapai pertumbuhan pendapatan sebesar 14.48%.

CAGR Laba Bersih bahkan sangat baik, yaitu sebesar 32.59% dalam periode yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan tidak hanya mampu meningkatkan pendapatannya, tapi juga mampu meningkatkan efisiensinya secara bersamaan.

Profitabilitas perusahaan juga cukup baik. Selama 10 tahun hingga tahun 2019, rata-rata GPM berada di angka 31.08%; OPM sebesar 20.26; NPM sebesar 10.38%.

Perusahaan ini dikelola oleh keluarga pendiri dan saat ini dikelola oleh generasi kedua dan ketiga. Sang CEO sekaligus PSP – Sabana Prawirawidjaja – rajin membeli saham perusahaan yang mencerminkan keyakinan pemilik akan masa depan perusahaan.

Perusahaan melakukan strategi fokus dalam menjalankan usaha, di mana produk yang dikembangkan umumnya bertipe UHT dan olahan susu.

Secara supply chain, perusahaan mengendalikan sebagian dari bahan baku (susu sapi) melalui peternakan-peternakan yang dikelola perusahaan, atau melalui kerjasama dengan para peternak. Selain itu, perusahaan juga mengelola rantai distribusi sendiri. Kendali yang kuat terhadap supply chain, bisa jadi merupakan kunci peningkatan efisiensi perusahaan setiap tahunnya.

Di tahun 2020, perusahaan mengeluarkan surat utang jangka menengah sebesar 3 triliun. Menurut perusahaan hal ini dilakukan untuk menjaga likuiditas perusahaan dan ekspansi seperti penambahan fasilitas produksi termasuk peternakan. Kemungkinan perusahaan sengaja mencari dana murah di tengah turunnya tingkat suku bunga akibat resesi.

Secara valuasi nilai intrinsik, perusahaan berada di harga wajarnya dengan nilai PER 15x. Namun untuk perusahaan consumer goods, nilai PER termasuk rendah. PER ULTJ, sangat mungkin naik jika perusahaan konsisten menjaga pertumbuhan, melakukan efisiensi, dan meningkatkan nilai dividen.

Caveat

ULTJ termasuk emiten pelit dividen. Tahun 2020, DPR ULTJ hanya sebesar 13%, dengan Dividend Yield hanya sebesar 0.8%. Sebagai perusahaan dengan aset kas yang besar, dividend yield yang kecil seringkali menimbulkan pertanyaan apakah PSP “bermain” dan menyalurkan kas perusahaan yang besar ke kantong sendiri.

Analisa saham ULTJ, pernah penulis ulas di sini.

Verdict:

SIDO

Logo SIDO
Logo SIDO

Sidomuncul (SIDO) adalah salah satu contoh usaha keluarga yang sukses. Dengan produk andalan berupa jamu tradisional dengan merek Tolak Angin, SIDO sukses menjadi salah satu produsen produk jamu herbal terkemuka di Indonesia.

Secara umum, SIDO adalah perusahaan dengan fundamental baik. Perusahaan ini nyaris tidak memiliki utang jangka panjang yang berasal dari pendanaan eksternal dan bank.

Aset dan ekuitas setiap tahun bertumbuh namun dengan growth yang cukup lambat (CAGR 3.87% dan 2.97% masing-masing).

CAGR pendapatan dalam periode 2012 – 2020 termasuk biasa-biasa saja yaitu hanya sebesar 4.47%. Namun demikian, tiga tahun terakhir yaitu tahun 2018-2020, pendapatan SIDO tumbuh sebesar 7.34%, 11%, dan 8.74% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Dari segi profitabilitas, SIDO termasuk sangat baik dan menunjukkan peningkatan. Di tahun 2020, Gross Profit Margin berada di angka 55.14% (naik dari 38.50% di tahun 2012), dan Net Profit Margin berada di angka 28.01% (naik dari 17.12% di tahun 2012).

Beberapa tahun belakangan, SIDO mulai melakukan ekspansi ke luar negeri, yaitu ke Filipina dan Nigeria. Untuk memuluskan agenda ekspansi di luar negeri, SIDO menggandeng Affinity Equity Partners yang pada tahun 2020 mengakuisisi saham SIDO sebanyak 21%. Strategi ekspansi ini tentunya menjadi sinyal positif untuk pertumbuhan SIDO di masa depan.

SIDO termasuk emiten yang rajin membagikan dividen dan dengan yield yang cukup menarik. Dividend Yield SIDO berada di rentang 3% – 6%, bahkan sempat mencapai 8%.

Caveat

SIDO termasuk barang MAHAL. PER dan PBV SIDO konsisten berada di atas standar deviasinya untuk periode 3, 5, dan 10 tahun terakhir. Dengan growth “hanya” sebesar 9% (rata-rata tiga tahun terakhir), PER 22x dan PBV 7.3x sepertinya harga yang cukup premium. Penganut aliran Quality Investing bisa jadi tidak setuju.

Analisa saham SIDO, pernah penulis ulas di sini.

Verdict:

IFII

Logo IFII
Logo IFII

IFII berdiri tahun 2007 adalah perusahaan produsen produk-produk olahan kayu yaitu Medium Density Board (MDF) dan Plywood.

Perusahaan ini adalah anak usaha group Adrindo yang merupakan PSP emiten SMSM, perusahaan produsen filter merk Sakura (suku cadang mobil / otomotif).

Tingkat utang IFII sangat kecil, terutama utang jangka panjang. Menurut LK Q1 2021, perusahaan tidak memiliki utang jangka panjang yang berasal dari pendanaan pihak ketiga, atau bank.

Profit margin termasuk baik, di mana rasio Gross Margin berada di angka 28.2%, Net Profit Margin berada di angka 10.7% (per akhir tahun 2020). Sebagai perusahaan yang sedang bertumbuh, angka ini termasuk baik.

Produk MDF merupakan penyumbang pendapatan terbesar saat ini terutama dari hasil ekspor ke Jepang. Selain itu perusahaan juga mengekspor produk-produknya ke negara-negara Timur Tengah. Ekspor MDF berkontribusi sebesar hampir 56% dari total pendapatan.

Pada tahun 2020, tiga perusahaan Jepang ikut bergabung sebagai pemegang saham. Mereka adalah SMB Kenzai Co Ltd, Noda Corporation dan Ishinomaki Plywood Mfg Ltd dengan total kepemilikan gabungan sebesar 32.44%. Kehadiran ketiga pemegang saham asal Jepang ini tentunya mempermudah akses ke pasar Jepang.

Pada tahun 2021, perusahaan berencana menambah fasilitas produksi MDF serta fasilitas pendukungnya. Menurut keterbukaan informasi yang disampaikan ke BEI, aksi korporasi ini akan menghabiskan dana investasi sebesar sebanyak-banyaknya IDR 650 miliar, di mana sekitar IDR 450 miliar pendanaan berasal dari bank.

Valuasi IFII saat ini berada di angka PER 18x dan PBV sebesar 1.31x. Sebagai perbandingan, SMSM dihargai investor sebesar 3x.

Saat ini, IFII termasuk saham yang tidak likuid dengan nilai transaksi per hari rata-rata hanya sekitar IDR 100 jutaan. Sepinya jumlah transaksi harian, berarti IFII rawan digoreng bandar. Namun di sisi lain, belum banyaknya big fund yang melirik berarti IFII berpotensi multi-bagger di masa depan.

Caveat

IFII baru beroperasi selama kurang lebih 14 tahun, jadi ibarat manusia, masih “belum cukup umur”. Selain itu, peminatnya masih sedikit, sehingga rentan digoreng bandar.

Rencana ekspansi dengan sumber pendanaan pihak ketiga akan membebani keuangan perusahaan setidaknya selama lima tahun ke depan.

Analisa saham SIDO, pernah penulis ulas di sini.

Verdict:

MLBI

Logo MLBI
Logo MLBI

MLBI adalah pemimpin pasar produk bir di Indonesia. Bir Bintang dan Bir Guiness adalah dua merek yang sangat dikenal dan merupakan pemimpin pasar di segmennya masing-masing. Merek Bir Bintang dimiliki oleh perusahaan. Sedangkan untuk Bir Hitam Guiness, perusahaan memiliki hak eksklusif untuk memasarkannya di Indonesia.

PSP MLBI adalah Heineken B.V, sebuah perusahaan multinasional pemilik merek Bir Heineken. Manajemen perusahaan ini tentu tidak perlu diragukan lagi, sebab sepenuhnya dikelola oleh profesional.

Layaknya perusahaan pemimpin pasar, MLBI profit margin yang baik. Gross Profit Margin (GPM) di tahun 2019 berada di angka 61.75%; sedangkan Operating Profit Margin (OPM) berada di angka 32.50%. Tingginya kedua margin tersebut merupakan bukti kesuksesan manajemen melakukan efisiensi, sebab 15 tahun sebelumnya di tahun 2004, angka GPM dan OPM masing-masing ada di angka 43.22% dan 12.24%.

Pendapatan MLBI terus naik dari tahun ke tahun. Namun, pertumbuhan dalam 5 tahun (CAGR=2.19%) lebih kecil ketimbang periode 10 tahun (CAGR=8.67%) – alias pertumbuhannya melambat. Trend yang sama juga terjadi pada pertumbuhan aset perusahaan.

Dari sisi utang, perusahaan ini bebas utang jangka panjang terutama yang berasal dari bank. Jadi bisa dikatakan fundamental sangat solid.

Produk minuman beralkohol masih merupakan penyumbang pendapatan terbesar perusahaan, di mana segmen ini menyumbang sebesar 91.17% pendapatan di tahun 2019. Selain Bir Bintang, penjualan Bir Hitam Guiness ternyata juga memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi pendapatan perusahaan – yaitu sebesar rata-rata 13.82%.

Secara geografis, Bali menyumbang hampir 25.51% pendapatan di tahun 2019 melalui distribusi yang dilakukan oleh PT Bintang Bali Indah (anak perusahaan). Adanya pandemi Covid-19 yang memukul pariwisata di Bali tentunya berdampak sangat signifikan, di mana pendapatan turun dari sebesar IDR 3.7 triliun di tahun 2019, menjadi IDR 1.9 triliun di tahun 2020 (-46.51%).

Pandemi menciptakan kesempatan bagi investor retail untuk serok bawah di angka PBV 10.82x, yang mana merupakan angka yang bahkan lebih rendah dari mean PBV perusahaan ini dalam 10 tahun terakhir. Jika pandemi berakhir, MLBI sangat berpotensi turn-around dan menawarkan profit yang menarik – terutama untuk para dividend hunter.

Caveat

MLBI adalah tipe perusahaan yang sudah mature – artinya pertumbuhannya telah mengalami perlambatan. Untuk tipe growth investor, berinvestasi di perusahaan ini dalam jangka panjang mungkin bukan pilihan yang menarik.

Analisa saham MLBI, pernah penulis ulas di sini.

Verdict:

PTBA

Logo PTBA
Logo PTBA

PT Tambang Bukit Asam Tbk (PTBA) adalah salah satu perusahaan pertambangan batubara tertua di Indonesia. PTBA memiliki peran penting dalam penyediaan energi di Indonesia, hampir setengah dari produksi batubaranya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri, terutama penyediaan batubara bagi PLN dan Indonesia Power.

Fundamental keuangan termasuk baik. Aset dan Ekuitas tumbuh dengan CAGR sebesar 14.12% dan 14.69% dari tahun 2008 – 2019.

Perusahaan nyaris tidak memiliki utang jangka panjang yang bersumber dari pendanaan pihak ketiga. Hanya saja Imbalan Pasca Kerja jangka panjang yang mencapai 11.08% dari total aset perlu tetap diperhatikan pengelolaannya.

Sebagai perusahaan siklikal, pendapatan PTBA dipengaruhi oleh naik-turunnya harga batubara. Dalam rentang tahun 2008 – 2019, PTBA “hanya” mengalami penurunan pendapatan di tahun 2010, 2013, dan 2020. Tahun 2020, tentunya secara umum disebabkan oleh pandemi.

Selain itu, pengaruh siklus harga batubara juga dapat dilihat dari besar-kecilnya margin profitabilitas. Untuk tahun-tahun yang baik, PTBA secara umum mencatatkan margin profit yang lebih besar dari rata-rata.

CAGR pendapatan dari 2008 – 2019 adalah sebesar 10.57%. Margin profitabilitas pun cukup baik. Nilai GPM, OPM, dan NPM rata-rata di periode yang sama masing-masing berada di angka 39.34%, 26.07%, dan 21.06%. Sebagai perusahaan price taker, margin profitabilitas perusahaan termasuk sangat baik.

Dari segi segmen, PTBA membagi pendapatannya dari sumber domestik dan ekspor. Pendapatan domestik berkontribusi sebesar 59.15% dari total pendapatan. Selain itu, pendapatan PTBA juga dipengaruhi oleh kebijakan DMO di mana produsen batubara wajib menjual sebanyak 25% dari total produksinya guna pemenuhan kebutuhan dalam negeri.

Trend pemanfaatan green energy, secara umum memberikan sentimen negatif bagi industri batubara. Di Indonesia sendiri, pemerintah telah menetapkan bauran energi batubara menjadi hanya sebesar 30% di tahun 2030, dan lebih turun lagi ke angka 25% di tahun 2050. Namun agaknya implementasi di Indonesia seperti masih jauh panggang dari api. Sampai akhir tahun 2020, batubara masih berkontribusi sebesar 65% dari total bauran energi Indonesia.

Salah satu strategi perusahaan saat ini adalah hilirisasi batubara. Dengan adanya hilirisasi, diharapkan di masa depan perusahaan tidak terlalu tergantung pada penjualan batubara saja, dan dapat bertransformasi menjadi perusahaan penyedia energi – sesuai dengan semangat BeyondCoal yang menjadi tagline PTBA.

Kenaikan harga batubara dari awal tahun 2021, menjadikan emiten batubara terutama dengan fundemantal kuat seperti PTBA menjadi menarik untuk dikoleksi. Ketika artikel ini dibuat, harga batubara sempat menyentuh $125 per ton.

Caveat

Selain DMO, kebijakan lain yang kurang menguntungkan bagi PTBA adalah harga batubara untuk listrik yang dipatok di harga $70 per ton. Karena hasil produksi PTBA sebagian besar dijual ke PLN dan Indonesia Power, hal ini tentu menjadi sentimen negatif, sebab PTBA jadi tidak dapat menikmati sepenuhnya potensi kenaikan pendapatan ketika harga batubara naik tinggi.

Analisa saham PTBA, pernah penulis ulas di sini.

Verdict (4 stars)

PWON

Logo PWON
Logo PWON

Selama 30 tahun beroperasi, Pakuwon Jati (PWON) mantap mengukuhkan diri sebagai perusahaan properti terkemuka di Indonesia. Perusahaan ini membagi bisnisnya ke dalam tiga segmen: pengusahaan pusat perkantoran dan perbelanjaan, real estat, dan perhotelan.

Perkantoran dan Mall serta real estat adalah penyumbang pendapatan terbesar dengan hampir 90% pendapatan berasal dari dua sektor ini. Sedangkan perhotelan, walaupun kontribusinya tidak signifikan, namun tumbuh sangat pesat dengan CAGR sebesar 24.57% dalam waktu 10 tahun terakhir.

PWON adalah tipe high-growth company. Aset dan ekuitas 10 terakhir sampai dengan tahun 2019 tumbuh dengan CAGR masing-masing sebesar 22.33% dan 30.68%.

DER terus menurun dari angka 179.05% di tahun 2009, menjadi sebesar 21.49% saja di tahun 2019. Menandakan bahwa perusahaan cukup konservatif dalam mengelola utangnya.

Layaknya perusahaan properti yang dipengaruhi naik-turunnya permintaan, kinerja PWON juga dipengaruhi oleh siklus bisnisnya. Hanya saja, pengaruhnya lebih kepada tebal tipis margin usaha. Secara umum, dari tahun ke tahun, pendapatan perusahaan tetap tumbuh.

Salah satu keunggulan PWON adalah besarnya recurring income – alias pendapatan berulang. Recurring income PWON berkontribusi terhadap 51.4% pendapatan di tahun 2019. Besarnya recurring income, tentunya memberikan likuiditas yang baik, sehingga perusahaan tidak selalu ketergantungan pada sumber pendanaan eksternal untuk ekspansi.

Saat ini perusahaan memiliki Land Bank yang cukup untuk melakukan development selama 10 tahun ke depan. Ditambah lagi, spesialisasi perusahaan adalah kawasan superblock, alias properti vertikal yang relatif lebih irit lahan.

Tahun 2020, terjadi penurunan pendapatan yang sangat signifikan akibat pandemi Covid-19, yaitu dari sebesar IDR 7.2 triliun, menjadi IDR 3.9 triliun.

Namun demikian, situasi pandemi tidak menghalangi perusahaan untuk melakukan ekspansi, di mana di tahun ini perusahaan melakukan akuisisi dua buah mall dan satu hotel di daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Akuisisi ini bisa menjadi sinyal positif. Pertama, perusahaan sepertinya masih memiliki likuiditas yang cukup untuk bertahan di tengah kondisi pandemi yang tidak kunjung selesai. Kedua, lokasi akusisi di luar Jakarta dan Surabaya, menjadi sinyal positif di mana perusahaan mulai melirik growth ke daerah lainnya.

PWON bisa dipertimbangkan untuk dikoleksi dalam masa pandemi, dengan harapan jika terjadi economic book pasca pandemi, sektor properti (dan PWON) akan ikut menikmati hasilnya.

Caveat

Kita tidak tahu kapan pandemi berakhir. Jika berkepanjangan, tentu PWON akan sangat terpukul dengan rendahnya angka kunjungan ke mall, dan sentimen Working From Home (which means people no longer need an office).

Dari segi valuasi, tidak ada cara yang mudah untuk memastikan berapa harga yang pantas untuk PWON. Yang paling mendekati mungkin menggunakan PBV, di mana saat artikel ini ditulis (Juni 2019), PBV PWON sedang berada di area di bawah standar deviasinya.

Analisa saham PTBA, pernah penulis ulas di sini.

Verdict:

Demikian, semoga bermanfaat!

Analisa Saham Pakuwon Jati (PWON)

Kawasan superblok seperti Gandaria City (Jakarta), Kota Kasablanka (Jakarta), Tunjungan City (Jakarta), dan Pakuwon Mall (Jakarta), adalah empat kawasan superblok yang dikelola oleh PT Pakuwon Jati Tbk (PWON).

Berdiri sejak tahun 1982, selama lebih dari 3 dekade, Pakuwon Jati (PWON) telah menghadirkan portofolio perusahaan di berbagai sektor utama properti seperti ritel, perumahan, komersial dan perhotelan. Pakuwon Jati kini juga semakin dikenal sebagai perintis konsep superblok di Indonesia yang mengusung konsep terintegrasi berskala besar antara ritel shopping mall, perkantoran, kondominium, dan hotel.

Di tengah lesunya sektor properti akibat pandemi Covid-19, apakah PWON adalah salah satu emiten yang layak dikoleksi ke dalam portfolio?

Logo PWON
Logo PWON
Sebelum mulai, numpang iklan dulu ya! ๐Ÿ˜€ Barangkali ada yang lagi expecting to have a baby in the near future (selamat ya Moms/Dads), mungkin mau cari-cari ide nama buat adek bayinya, barangkali bisa pake tools teman penulis di nama.bayiunyu.id. 

Analisa Fundamental

Balance Sheet

Dari segi pertumbuhan aset dan ekuitas, PWON menunjukkan tingkat pertumbuhan yang baik. CAGR aset selama sepuluh tahun dari tahun 2009 – 2019 berada di angka 22.33%. Pun demikian halnya dengan pertumbuhan ekuitas. Dalam kurun waktu yang sama, PWON berhasil meningkat ekuitasnya dengan CAGR sebesar 30.68%.

Dilihat dari tingkat utangnya, DER PWON di tahun 2020 berada di angka 50.34%. Angka ini lebih tinggi dari angka tahun sebelumnya yaitu di angka 44.21%. Hal ini bisa dipahami karena adanya pandemi Covid-19.

Jika dilihat selama 10 tahun dari tahun 2009 sampai 2019, trend DER PWON terus menunjukkan trend penurunan dari angka 179.05% di tahun 2009, menjadi 44.21% di tahun 2019. Hal ini tentunya merupakan hal yang baik, di mana perusahaan secara konsisten mampu menurunkan tingkat utangnya dari tahun ke tahun.

DER PWON 2008 - 2020
DER PWON 2008 – 2020

Utang jangka panjang PWON juga menunjukkan trend yang sama, di mana tingkat perbandingan utang jangka panjang berbanding ekuitas dari tahun ke tahun mengalami trend yang menurun. Di tahun 2009, utang jangka panjang berbanding ekuitas berada di angka 74.72%, sedangkan di tahun 2019 angka ini telah turun signifikan menjadi hanya sebesar 21.49% saja.

Ekuitas vs Liabilitas PWON - 2008 - 2020
Ekuitas vs Liabilitas PWON – 2008 – 2020

Dari grafik yang ditampilkan di atas, terlihat bahwa sampai dengan tahun 2014, Total Liabilitas PWON selalu berada di atas Ekuitas. Namun sejak 2015, PWON mampu mengelola utangnya dengan baik, sehingga chart menjadi terbalik, di mana Ekuitas lebih di atas Total Ekuitas.

Secara umum, tingkat pertumbuhan aset dan ekuitas konsisten mengalami pertumbuhan, dan tingkat utang konsisten mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan posisi balance sheet PWON berada dalam kondisi yang sehat.

Income Statement

Penulis melakukan analisa Income Statement dengan menganalisa data LK PWON dari tahun 2009 – 2020. Catatan khusus harus diberikan pada tahun 2014, di mana di tahun tersebut terjadi peningkatan Laba Bersih yang sangat signifikan lebih dari 100%. Penulis menemukan catatan berikut ini di LK PWON tahun 2014.

Kenaikan laba bersih terutama disebabkan oleh keuntungan pembelian PT Pakuwon Permai dengan diskon dan keuntungan investasi yang dimiliki sebelumnya di PT Centrum Utama Prima sebesar Rp 1.120 miliar.

Laba komprehensif di luar kedua keuntungan tersebut di atas adalah sebesar Rp 1.477 miliar naik 30% dari 2013, akibat adanya kenaikan di recurring revenue dan development revenue.

PWON, AR 2014

Melihat Incoment Statement PWON, terlihat jelas bahwa PWON merupakan tipe growth company, bahkan bisa dibilang pertumbuhan PWON selama periode 10 tahun dari tahun 2009 – 2019 cukup luar biasa. Dalam periode tersebut, pertumbuhan Pendapatan, Laba Kotor, Laba Usaha, dan Laba Bersih kompak menunjukkan CAGR growth di atas 20%. CAGR Pendapatan pada periode tersebut adalah sebesar 26.31%; CAGR Laba Kotor berada di angka 31.47%; CAGR Laba Usaha dan Laba Bersih berada di angka 32.62% dan 36.25%.

Tahun pandemi tentunya sangat memukul PWON dengan adanya pembatasan sosial oleh pemerintah. Di tahun 2020, penurunan Pendapatan tercatat sebesar -44.78%, serta laba bersih turun sebesar -65.46%.

Pendapatan, Laba Kotor, Laba Usaha, Laba Bersih PWON 2009 - 2020

Dilihat dari naik turunnya selisih dari Pendapatan dan Laba dengan tahun sebelumnya, kita dapat melihat karakteristik PWON sebagai cyclical company, seperti yang terlihat dari chart di bawah ini.

Naik Turun Pendapatan dan Laba PWON dibandingkan tahun sebelumnya

Gambar di atas menunjukkan persentase kenaikan Pendapatan, Laba Kotor, Laba Usaha, dan Laba Bersih PWON dari tahun 2010 – 2020. Walapun terus mengalami pertumbuhan, namun besarnya pertumbuhan setiap tahunnya mengalami persentase naik-turun yang mengikuti sebuah siklus.

Seperti di tahun 2011, walaupun secara umum Pendapatan dan Laba naik, namun persentase kenaikannya relatif lebih rendah dari tahun sebelumnya, sebelum kemudian kembali naik di tahun 2012. Setelah itu, persentase pertumbuhan Pendapatan dan Laba terus mengalami penurunan, sampai akhirnya mencapai titik terendah di tahun 2016. Tahun 2017 dan 2018, kembali tumbuh sebelum akhirnya nyungsep di tahun 2019, dan dihajar pandemi di tahun 2020.

Bagaimana dengan margin usahanya? Walaupun bersifat siklikal, efisiensi dan kinerja manajemen sepertinya cukup baik, sehingga secara rata-rata dalam 10 tahun margin usaha PWON berada di angka yang sangat baik. Gross Margin secara rata-rata berada di angka 53.35%; sedangkan Operating Margin, dan Net Profit Margin masing-masing berada di angka rata-rata sebesar 44.72% dan 32.97%.

Margin Usaha PWON periode 2009 - 2020

Cashflow

Secara umum, Operating Cashflow PWON dari tahun ke tahun selalu positif. Naik-turunnya Operating Cashflow menunjukkan trend yang hampir sama dengan naik-turunnya Pendapatan.

Operating Cashflow PWON

Dari segi Free Cashflow pun, performa PWON masih baik. Free Cashflow dari tahun ke tahun selalu menunjukkan angka positif (kecuali tahun 2015). Artinya bahwa sebagai perusahaan properti yang cenderung padat modal (karena harus terus melakukan pembangunan properti baru), PWON masih tetap dapat menghasilkan cashflow yang positif.

Free Cashflow PWON
Free Cashflow PWON

Analisa Kualitatif

Segmen Bisnis

PWON membagi bisnisnya ke dalam tiga segmen yaitu: pengusahaan pusat perkantoran dan perbelanjaan, real estat, dan perhotelan.

Untuk segmen pusat perbelanjaan, PWON telah berhasil mengembangkan luas pusat perbelanjaan yang dikelolanya dari seluas 333,000 m2 di tahun 2013 menjadi seluas 776,000 m2 di akhir tahun 2020 (CAGR = 12.85%%). Adapun pusat perbelanjaan yang dikelola oleh PWON meliputi Kota Kasablanka, Gandaria City, dan Blok M Plaza di Jakarta; Tunjungan Plaza, Pakuwon Mall, Pakuwon Trade Center, Royal Plaza, dan Pakuwon City Mall di Surabaya, serta Hartono Mall Yogyakarta dan Hartono Mall Solo. Mall Pakuwon Surabaya dan Tunjungan Plaza merupakan salah dua mall terbesar di Indonesia.

Untuk area perkantoran, PWON telah memiliki total luas gedung perkantoran yang dikelola sebesar 159.000 m2, yaitu Kota Kasablanka Office 88, Prudential Tower, Pakuwon Tower, dan Gandaria Tower di Jakarta; serta Pakuwon Center dan Pakuwon Tower di Surabaya.

Untuk segmen hotel, PWON saat ini mengoperasikan beberapa properti hotel dan servis apartemen yaitu Sheraton Grand Jakarta dan Somerset Berlian di Jakarta; Sheraton Surabaya, Four Points Surabaya, Four Points Pakuwon, The Westin Surabaya, dan Ascott Waterplace di Surabaya; serta Marriot Hotel Yogyakarta.

Untuk segmen real-estat, PWON fokus pada pengembangan kawasan superblock, di antaranya Kota Kasablanka, Gandaria City, Pakuwon Residences Bekasi, Tunjungan City, Pakuwon City, dan lain-lain.

Pendapatan Per Segmen

Dua segmen pertama yaitu Pengusahaan Pusat Perkantoran dan Perbelanjaan, dan Real Estat, merupakan penyumbang pendapatan terbesar dengan rata-rata kontribusi lebih dari 90% setiap tahunnya. Antara segmen pertama dan kedua, saling saling-menyalip dalam hal kontribusi terhadap total pendapatan, tergantung siklus industri properti itu sendiri. Namun demikian, secara rata-rata 5 tahun dan 10 tahun terakhir, segmen real-estat memiliki kontribusi rata-rata terbesar dengan jumlah sebesar 49.82% (5Y) dan 50.45% (10Y).

Secara CAGR 10 tahun (2009 – 2019) segmen real-estat menjadi jawara dengan nilai CAGR pertumbuhan sebesar 28.87%, disusul oleh segmen pusat perkantoran dan perbelanjaan dengan CAGR sebesar 25.33%, dan terakhir perhotelan dengan CAGR sebesar 17.49%. Namun demikian, dengan periode waktu yang lebih pendek 5 tahun (2014 – 2019), ternyata perhotelan menjadi segmen dengan pertumbuhan paling pesat 5 tahun terakhir dengan nilai CAGR sebesar 25.57%; disusul oleh pusat perkantoran dan perbelanjaan (CAGR = 14.21%), serta real estat (CAGR = 11%).

Pendapatan Segmen Bisnis PWON
Pendapatan Segmen Bisnis PWON

Kontribusi masing-masing segmen terhadap pendapatan dapat dilihat pada grafik di bawah ini.

Persentase Segmen PWON Terhadap Pendapatan
Persentase Segmen PWON Terhadap Pendapatan

Dari grafik di atas, terlihat bahwa ketika siklus industri properti sedang membaik, pendapatan dari sektor real-estat memberikan pendapatan lebih tinggi dari segmen Pusat Perkantoran dan Perbelanjaan. Sebaliknya, segmen Pusat Perkantoran dan Perbelanjaan memberikan kontribusi yang lebih baik ketika siklus properti mengalami penurunan (misal tahun 2009 dan 2016).

Recurring Income

Recurring Income adalah jenis pendapatan perusahaan properti yang sifatnya berulang. Pendapatan ini umumnya didapatkan dari segmen usaha penyewaan properti dan sejenisnya. Dalam kasus PWON, recurring income didapat dari segmen Pusat Perkantoran dan Perbelanjaan dan segmen Perhotelan.

PWON adalah perusahaan properti dengan recurring income terbesar di Indonesia di mana secara rata-rata selama 10 tahun terakhir, hampir setengah dari pendapatan PWON berasal dari recurring income. Di tahun 2019, recurring income menyumbang sebesar 51.4% dari total pendapatan.

Di tahun 2020 sendiri, recurring income berada di angka 57.95%. Hal ini dapat dipahami sebab dengan adanya pandemi Covid-19, tentunya masyarakat sangat berhati-hati dalam melakukan pembelian properti dan komitmen konsumsi dengan pembiayaan yang bersifat jangka panjang.

Jika dilihat secara pertumbuhan, dalam periode 5 tahun terakhir (2014 – 2019), recurring income PWON justru memiliki pertumbuhan yang lebih baik daripada pendapatan real-estat, di mana pendapatan dari segmen recurring memiliki laju pertumbuhan dengan CAGR sebesar 15.43%.

Recurring vs Non-Recurring Income PWON
Recurring vs Non-Recurring Income PWON

Mengapa recurring income menjadi penting?

Well, recurring income menawarkan sumber pendapatan yang lebih pasti dibandingkan dengan segmen real-estat yang sangat dipengaruhi oleh naik-turunnya siklus industri properti. Dengan stabilitas cash inflow yang lebih stabil, perusahaan tentunya dapat merencanakan kegiatan bisnisnya dengan lebih baik.

Land Bank

Saat ini PWON memiliki Land Bank seluas 464.3 hektar. Dari total luas tersebut, hanya 5.4% terletak di kota Jakarta, sedangkan sisanya terletak di daerah Surabaya. Menurut perusahaan, setidaknya masih akan tersedia lahan yang cukup untuk pengembangan selama 10 tahun ke depan.

Daftar Land Bank PWON berikut penulis ambil dari Corporate Update perusahaan per Q1 2021.

Land Banks PWON per Q1 2021
Land Banks PWON per Q1 2021

Akuisisi

Pada akhir tahun 2020, PWON melakukan setidaknya tiga akusisi aset properti yaitu dua mall (Hartono Mall Yogyakarta dan Solo), serta 1 hotel (Marriot Yogyakarta). Luar biasanya, akusisi ini dilakukan di tengah pandemi dan dengan menggunakan kas internal perusahaan.

Akusisi yang dilakukan menunjukkan bahwa setidaknya saat ini perusahaan berada pada kondisi keuangan yang baik. Melakukan aksi korporasi anorganik di tengah resesi akibat pandemi, tentu harus dilakukan dengan perhitungan yang baik.

Selain itu, lokasi aset properti yang berada di Solo dan Yogyakarta, berarti perusahaan telah mulai memikirkan langkah ekspansi di luar Surabaya dan Jakarta.

Valuasi

Nilai Intrinsik

Dengan menggunakan cara yang saham untuk menghitung Nilai Intrinsik Saham EKAD, penulis mendapati bahwa untuk PWON berada di rentang harga IDR 1,193 – IDR 1,397 (PER 15x – 17.96x). Dengan harga ketika tulisan ini dibuat yaitu di harga IDR 462, maka setidaknya tersedia margin of safety sebesar 61%.

Tentunya kita harus hati-hati menerima hasil perhitungan dengan cara seperti ini, sebab PWON merupakan perusahaan properti yang bisnisnya cenderung siklikal.

PER

Kalau menggunakan analisa PER, maka saat ini tentunya PER PWON menjadi sangat tinggi karena berkurangnya profit akibat situasi pandemi. Saat ini menurut penulis, menggunakan PER sebagai dasar evaluasi adalah tidak tepat.

PER PWON 10 Tahun Terakhir
PER PWON 10 Tahun Terakhir

PBV

Dari segi valuasi PBV, terlihat bahwa nilai PBV PWON memiliki trend menurun, walaupun di sela-selanya mengalami kenaikan layaknya sebuah siklus. Menurut penulis, hal ini karena tingkat apresiasi investor terhadap saham PWON tidak berbanding lurus dengan pertumbuhan nilai ekuitasnya. Artinya kecepatan pertumbuhan nilai saham PWON tidak serta merta membuat para pelaku pasar menghargai mahal sahamnya.

Mengapa demikian? Terus terang penulis tidak tahu.

Anyway, jika melihat trend PBV saat ini, PWON berada di bawah rata standar deviasinya. Apakah hal ini berarti bahwa harga saham sedang berada di harga yang murah? Penulis kembalikan kepada masing-masing pembaca. Jika pembaca merasa bahwa nilai buku yang tertulis di laporan keuangan secara akurat merefleksikan nilai perusahaan, boleh jadi pembaca beranggapan bahwa harga saham PWON saat ini sedang murah.

PBV PWON 10 Tahun Terakhir
PBV PWON 10 Tahun Terakhir

Valuasi RNAV

Penulis menemukan satu video dari Youtuber Kefas Evander yang kebetulan membahas valuasi saham PWON dengan menggunakan metode RNAV. Penulis tampilkan videonya di sini karena menurut penulis perhitungan dengan menggunakan metode RNAV ini bisa menjadi salah satu alternatif yang baik sebelum mengambil keputusan berinvestasi di PWON.

Kesimpulan

Ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari analisa yang telah dilakukan di atas:

  1. PWON adalah perusahaan yang baik. Dari tahun 2009 – 2019, PWON mampu menumbuhkan asetnya dengan CAGR sebesar 22.33%; serta menumbuhkan ekuitasnya dengan CAGR sebesar 30.68%. Dari segi utang, PWON mampu mengelola tingkat utangnya dengan baik, sehingga memiliki trend yang menurun dari sebesar 179.05% di tahun 2009 menjadi hanya sebesar 44.21% saja di tahun 2019.
  2. Dari segi profitabilitas, PWON mampu menjaga profit margin yang tinggi. Rata-rata Gross Profit Margin, Operating Profit Margin, dan Net Profit margin selama 10 tahun terakhir, masing-masing berada di angka 54.77%, 46.11%, dan 34.05% (exclude tahun 2020 – karena pandemi).
  3. Industri properti yang bersifat siklikal tentunya mempengaruhi kinerja PWON. Namun demikian, pengaruhnya adalah bahwa pertumbuhan profit perusahaan cenderung lebih sedikit ketika market sedang lesu. Catat: pertumbuhan. Artinya walaupun industri sedang dalam situasi yang kurang mendukung, perusahaan masih tetap profit – namun dengan persentase kenaikan yang lebih kecil.
  4. Strategi PWON yang mengoptimalkan keseimbangan antara pendapatan recurring dengan non-recurring agaknya berdampak pada point nomor 3 di atas. Besarnya pendapatan recurring PWON, berimbas pada konsistensi arus kas masuk bagi perusahaan, sehingga dapat lebih meminimalkan berkurangnya pendapatan ketika sektor properti sedang lesu.
  5. PWON memiliki portolio properti yang baik. Setidaknya dua buah mall yang dikelola PWON adalah salah dua mall terbesar di Indonesia. Selama masyarakat urban Indonesia masih suka nge-mall, revenue PWON akan tetap terjaga di masa depan.
  6. Dari segi valuasi, PER saat ini berada di angka yang tinggi diakibatkan oleh pandemi Covid-19 sehingga profit perusahaan menurun. Dari segi PBV, saat ini PWON berada di valuasi yang cukup rendah, namun hal ini sepertinya disebabkan oleh nilai ekuitas PWON yang naik cukup pesat.
  7. Dari segi valuasi nilai intrinsik sederhana, PWON menawarkan margin of safety sebesar 61%. Namun tentu penggunaan perhitungan nilai intrinsik sederhana ini tidak serta merta dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan – sebab sifat industri properti yang siklikal.

Jadi, apakah PWON layak dimasukkan ke dalam portfolio?

Menurut penulis ada beberapa hal yang cukup menarik dari PWON:

  1. Pertumbuhan aset dan ekuitas yang baik.
  2. Utang yang cenderung menurun.
  3. Portfolio properti yang baik.
  4. Recurring income yang besar.

Kondisi pandemi saat ini, menawarkan peluang yang baik untuk mempertimbangkan investasi di emiten-emiten properti. Kondisi pandemi Covid-19 menyebabkan pendapatan sektor properti menjadi seret, ikut menyeret turun harga-harga saham di sektor ini. Seperti yang sudah-sudah, habis resesi, terbitlah economic boom.

Sektor properti tentunya menjadi salah satu sektor yang seksi, ketika resesi ini berakhir. PWON sebagai salah satu emiten properti dengan kondisi fundamental yang baik, sepertinya layak untuk dipertimbangkan.

Demikian, semoga bermanfaat!

Analisa Saham Multi Bintang Indonesia (MLBI)

PT Multi Bintang Indonesia Tbk (MLBI) awalnya didirikan di Medan pada tahun 1929 di Medan dengan nama NV Nederlandsch-Indische Bierbrouwerijen. Perseroan mengalami perubahan nama lebih lanjut pada tahun 1972, menjadi P.T. Perusahaan Bir Indonesia, dan pada tahun 1973 membuka brewery baru di Tangerang.

Pada tahun 1981, perseroan mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya dengan nama PT Multi Bintang Indonesia (MLBI). Bisa dibilang, MLBI adalah salah satu dari beberapa emiten-emiten awal yang listing di bursa saham Indonesia, setelah bursa saham diaktifkan kembali di tahun 1977.

Logo MLBI

Produk utama perusahaan adalah Bir Bintang yang merupakan pemimpin pasar bir putih di Indonesia. Selain itu, perusahaan juga merupakan produsen dan penjual Bir Heineken yang mereknya dimiliki oleh induk perusahaan.

Pandemi Covid-19 saat ini agaknya berkontribusi pada penurunan pendapatan perusahaan. Harga saham emiten ini pun ikut-ikutan drop.

Apakah saat ini MLBI layak dijadikan koleksi portfolio?

Sebelum mulai, numpang iklan dulu ya! ๐Ÿ˜€ Barangkali ada yang lagi expecting to have a baby in the near future (selamat ya Moms/Dads), mungkin mau cari-cari ide nama buat adek bayinya, barangkali bisa pake tools teman penulis di nama.bayiunyu.id. 

Analisa Fundamental

MLBI adalah perusahaan yang sudah cukup lama listing di BEI, sehingga cukup banyak data historis dari Laporan Keuangan dan Laporan Tahunan (AR) yang bisa didapatkan. Dari website perusahaan, penulis berhasil mendapatkan AR dari tahun 2005.

Tahun 2020 tidak penulis ikutkan dalam semua perhitungan rata-rata ataupun pertumbuhan CAGR karena seperti yang kita ketahui bahwa COVID-19 sangat memukul industri pariwisata yang merupakan pasar utama penjualan MLBI di Indonesia.

Balance Sheet

Dilihat dari segi aset, MLBI berhasil mengembangkan aset nya dari angka IDR 535 miliar di tahun 2004 menjadi senilai hampir IDR 2.9 triliun di 2019. Angka ini menggambarkan CAGR sebesar 11.67% dalam waktu 15 tahun.

Namun apakah angka ini menggambarkan pertumbuhan yang konsisten. Hmm, rupanya tidak.

Jika kita menghitung angka CAGR dalam 2 periode timeframe yang lebih pendek, kita akan mendapati hasil yang sedikit berbeda. Dengan menggunakan timeframe 10 tahun terakhir, CAGR aset MLBI berada di angka 11.30% – hampir sama dengan periode 15 tahun terakhir. Sedangkan untuk periode yang lebih pendek yaitu 5 tahun terakhir, CAGR yang dihasilkan adalah sebesar 2.65%.

Apakah artinya? Benar! Pertumbuhan aset MLBI walaupun tetap bertumbuh, tetapi mengalami trend perlambatan.

Jika dituangkan ke dalam chart, bentuknya kira-kira seperti di bawah ini.

Pertumbuhan Aset MLBI 2004 – 2020

Bisa kita lihat, kenaikan dari sekitar tahun 2008 sampai dengan kira-kira tahun 2018 menunjukkan kenaikan yang cukup curam, sebelum akhirnya mulai mendatar.

Bagaimana dengan likuiditas perusahaan?

Well, MLBI sepertinya bukan tipe perusahaan yang suka menimbun kas dalam perusahaan. Bauran kas terhadap aset, menunjukkan angka yang konsisten dalam tiga timeframe tadi (5 tahun, 10 tahun, dan 15 tahun), yaitu di angka mendekati 12% secara rata-rata. Bisa dimaklumi, karena MLBI termasuk perusahaan yang cukup generous dalam memberikan dividen.

Bagaimana dengan tingkat hutang? Well, tentunya tidak ada masalah. MLBI termasuk cash generator sehingga tidak perlu bantuan bank (setidaknya dalam jangka panjang) untuk melakukan ekspansi.

Short Term dan Long Term Debt MBLI – screenshot dari Stockbit

Bagaimana dengan short term? Kok sepertinya banyak hutangnya? Don’t worry! Hampir sebagian besar adalah dengan pihak berafiliasi.

Income Statement

Pendapatan MLBI ternyata menunjukkan trend yang serupa.

Dari tahun 2004, MLBI berhasil menumbuhkan pendapatannya dari semula sebesar IDR 711 miliar sehingga menjadi sebesar IDR 3.7 triliun di tahun 2019. Angka ini menunjukkan pertumbuhan secara CAGR sebesar 11.65% dalam periode 15 tahun.

Jika dilihat dalam periode yang lebih pendek, terlihat bahwa terjadi perlambatan. Dengan timeframe 10 tahun terakhir angka CAGR-nya adalah sebesar 8.67%; sedangkan dalam 5 tahun terakhir adalah sebesar 2.19%.

Jika dilihat dari rata-rata pertumbuhan per tahun (beda lho dengan CAGR), dengan menggunakan timeframe yang sama akan didapatkan angka rata-rata sebesar 15.08% (15 tahun terakhir), 13.46% (10 tahun terakhir), dan 4.89% (5 tahun terakhir).

Jika disajikan dalam chart, trend ini terlihat. Sama seperti trend pertumbuhan asetnya, pertumbuhan pendapatan MLBI terlihat mulai melambat dari tahun 2018 – setelah ngegas dari sekitaran tahun 2008.

Anyway, jika dilihat terdapat patahan di tahun 2012 dan 2013. Ini karena ternyata MLBI menyajikannya dua tahun tersebut dengan periode yang berbeda yaitu 9 bulan untuk 2012, dan 15 bulan untuk 2013. Entah mengapa mereka melakukan itu.

Chart Pendapatan MLBI

Dari segi efektifitas management, MLBI menunjukkan kinerja yang sangat baik. Gross Margin dan Operating Margin menunjukkan trend peningkatan. Di tahun 2004, Gross Margin dan Operating Margin masing-masing berada di angka 43.32% dan 12.24%. Di akhir tahun 2019, efisiensi perusahaan meningkat di mana angka Gross Margin berada di angka 61.57%, sedangkan Operating Margin meningkat lebih dari dua kali lipat yaitu di angka 32.50%.

Secara rata-rata selama 10 tahun terakhir, Gross Margin MLBI berada di angka 62.15%, dan Operating Margin berada di angka 29.41%.

Trend peningkatan efisiensi MLBI ditunjukkan pada chart berikut.

Gross Margin vs Operating Margin MLBI

Cash Flow

Trend perlambatan juga terjadi pada arus kas / cash flow MLBI.

MLBI berhasil meningkatkan Operating Cash Flow dari sekitar IDR 150 miliar di tahun 2004 menjadi sekitar IDR 1.3 triliun di tahun 2019, yang menunjukkan CAGR sebesar 11.69%. Dengan timeframe 10 tahun terakhir, CAGR menunjukkan angka yang lebih rendah yaitu di angka 9.74%. Sedangkan 5 tahun terakhir berada di angka 3.87%.

Analisa Kualitatif

MLBI adalah produsen Bir Bintang sang pemimpin pasar. Tapi apakah benar perusahaan hanya memproduksi Bir saja?

Produk

Bauran produk MLBI bisa dikategorikan dalam dua segmen utama yaitu produk alkohol dan non-alkohol.

Dalam segmen alkohol, produk utama tentunya adalah Bir Bintang. Kemudian Bir Heineken yang menargetkan segmen premium. Varian lainnya adalah Bintang Radler dengan kandungan alkohol 2%. Radler sendiri juga memiliki varian non-alkohol dengan merek Bintang Radler 0.0%.

Ada satu portfolio lagi dalam segmen alkohol yaitu produk bir hitam dengan merek Guinness. MLBI memiliki hak untuk memproduksi dan mengemas produk ini. Guinness sendiri bukan merupakan merek dari group Heineken.

Walaupun bukan merupakan merek sendiri, namun pendapatan dari segmen bir hitam ini tidak bisa dianggap enteng. Secara rata-rata, bir hitam menjadi penyumbang pendapatan sebesar 13.82% untuk tahun-tahun di mana angkanya muncul di LK MLBI (alias kontribusinya di atas 10%). Dari tahun 2011 – 2020, hanya tiga kali pendapatan dari segmen ini berada di bawah 10% yaitu tahun 2018, 2017, dan 2015.

Segmen non-alkohol memiliki beberapa portolio produk seperti Bintang Zero, Radler 0.0%, Green Sands, Strongbow, dan Fayrouz. Dua produk terakhir diluncurkan sekitar tahun 2016, jadi mungkin penetrasinya tidak sekuat merek-merek lainnya (baca: kurang terkenal).

Secara kinerja, tentunya segmen alkohol merupakan penyumbang pendapatan terbesar. Segmen ini menyumbang hampir 90% pendapatan perusahaan. Jika dilihat secara trend, komposisi 90:10 antara dua segmen ini terlihat cukup konsisten antara tahun 2011 sampai dengan 2019.

Pendapatan segmen alkohol vs non-alkohol MLBI

Pasar

MLBI mengasosiasikan produk mereka dua hal – musik dan olahraga. Setidaknya secara garis besarnya.

Bir Bintang memiliki program-program marketing seperti “sounds of Bintang”, “Bersama Kita Bintang”, serta aktif mensponsori acara-acara musik seperti Java Jazz dan Soundrenaline. Sedangkan Heineken, aktif melakukan kampanye melalui program-program olahraga seperti Liga Champions dan Piala UEFA.

Bali, adalah salah satu pasar terpenting perusahaan. Seperti produk alkohol lainnya, daerah pariwisata seperti Bali tentu adalah pasar yang seksi. Menikmati minuman beralkohol seringkali menjadi salah satu cara bersantai dan bersenang-senang saat liburan, tentunya untuk mereka yang boleh melakukannya.

Distribusi produk-produk MLBI di Bali dilakukan oleh PT Bintang Bali Indah (BBI). Kontribusi penjualan ke BBI memberikan kontribusi rata-rata sebesar 18.47% dari tahun 2011 sampai dengan 2019. Trend-nya pun meningkat. Di tahun 2011, kontribusi penjualan ke BBI adalah sebesar 16.42%, sedangkan tahun 2019 angka ini tumbuh menjadi sebesar 25.51%.

Dengan kontribusi pasar yang sedemikian besarnya, turunnya aktivitas pariwisata di Bali sampai hampir mendekati nol akibat pandemi tentunya sangat memukul kinerja perusahaan. Pendapatan dari BBI turun dari angka IDR 947 miliar di tahun 2019, menjadi hanya sebesar IDR 345 miliar di tahun 2020 – turun sebesar hampir 64%.

Kinerja di quarter I 2021 juga tidak terlalu menggembirakan. Pendapatan dari penjualan ke BBI turun dari quarter yang sama tahun sebelumnya sebesar IDR 189 miliar, menjadi hanya sebesar hampir IDR 70 miliar saja. Angka ini setara dengan penurunan sebesar hampir 63%.

Jika dibandingkan dengan periode yang sama sebelum pandemi, angka ini bahkan menjadi jauh lebih buruk. Q1 2019, penjualan ke BBI mencapai hampir IDR 321 miliar, sehingga angka di Q1 2019 menunjukkan penurunan sebesar 78%.

Namun demikian, dalam AR 2020, manajemen melaporkan bahwa pasar lainnya justru terjadi penguatan. Walaupun rata-rata mengalami penurunan di awal pandemi, pasar-pasar di luar Bali mengalami pemulihan yang jauh lebih cepat. Hal ini tentunya adalah hal positif.

Multi Bintang tetap memimpin di pasar bir. Kami melihat adanya pertumbuhan pangsa pasar di seluruh wilayah kecuali Bali, serta di segmen premium sebagai hasil dari kekuatan merek Heineken yang terus berlanjut dan kinerja yang kuat selama periode perayaan akhir tahun.

Jawa, kontributor utama bisnis kami lainnya, tidak terlalu terpengaruh. Volume penjualan menurun secara signifikan pada awal krisis, tetapi mulai menguat di akhir tahun. Pasar lainnya di Sumatera Utara, Batam, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, mengalami pemulihan yang jauh lebih cepat, terutama pada kuartal terakhir. Hal ini sebagaimana dialami daerah tujuan yang disebut โ€œBali Baruโ€, termasuk Labuan Bajo dan Lombok.

AR MLBI, 2020

Management

Seperti umumnya PMA di Indonesia, posisi-posisi penting di MLBI diisi oleh para profesional dari group induk (Heineken NV). Dukungan dari group induk sepertinya memiliki faktor yang sangat penting dalam usaha perusahaan meningkatkan profit margin. MLBI rajin melakukan peningkatan-peningkatan proses dan fasilitas produksinya, dengan dukungan teknologi dan manajemen dari group induk.

Layaknya perusahaan mature lainnya, MLBI rajin membagikan deviden bahkan dua kali dalam setahun. Tahun ini, MLBI membagikan dividen sebesar IDR 475, yang mana dengan harga saat artikel ini ditulis (IDR 8,975) setara dengan deviden yield sebesar 5.3%.

MLBI rajin membagikan deviden dua kali dalam setahun

Valuasi

Seperti biasa, penulis melihat valuasi dilihat dari tiga hal sederhana: perhitungan nilai intrinsik, PER, dan PBV.

Nilai Intrinsik

Dengan menggunakan data-data sebelum pandemi yaitu CAGR EPS sebesar 8.69%, dengan menggunakan perhitungan yang sama ketika melakukan perhitungan nilai intrinsik saham EKAD, dengan menggunakan deviden payout ratio konservatif sebesar 30%, penulis mendapati nilai intrinsik MLBI berada di rentang IDR 6,995 – IDR 14,225. Jadi bisa dikatakan bahwa saat ini MLBI sedang berada di harga wajarnya.

Sebagai produsen produk konsumsi (consumer products) dan dengan merek sekuat Bintang, bisa dikatakan saat ini MLBI sedang dihargai murah oleh pasar.

PER

Dengan penurunan pendapatan yang sangat signifikan akibat pandemi saat ini, PER MLBI berada pada angka 64.20x. Jika melihat angka PER saja untuk menilai murah atau tidaknya saham MLBI saat ini tentunya sangat tidak tepat sebab angka PER 64.20 adalah valuasi yang sangat tinggi.

PER MLBI 10 Tahun Terakhir

PBV

PBV MLBI saat ini berada di angka 11.96x. Angka ini berada di bawah rentang -1 Standar Deviasinya. PBV MLBI saat ini bahkan merupakan yang terendah dalam 10 tahun terakhir. Jadi bisa dikatakan secara PBV, saat ini valuasi MLBI bisa dikatakan murah.

PBV MLBI 10 Tahun Terakhir

Kesimpulan

Terdapat beberapa kesimpulan setelah paparan sederhana di atas sebagai berikut:

  1. Dalam jangka pendek – setidaknya tiga tahun terakhir, pertumbuhan MLBI bisa dibilang melambat. Hal ini tercermin pada angka pertumbuhan CAGR yang lebih kecil jika dihitung dengan menggunakan periode waktu yang lebih kecil (misal 5 tahun), dibandingkan jika dihitung menggunakan periode yang lebih panjang (misal 10 atau 15 tahun). Perlambatan ini tercermin terutama pada pendapatan, pertumbuhan aset, dan operating cashflow.
  2. Dari segi efisiensi, MLBI menunjukkan kinerja yang sangat baik. Terbukti dari peningkatan Gross Margin dan Operating Margin dari tahun ke tahun.
  3. Pendapatan terbesar MLBI adalah dari produk alkohol dengan merek Bintang sebagai merek utama, didukung oleh Heineken yang bermain di kelas premium.
  4. Bali adalah pasar yang sangat strategis. Bali menyumbang pendapatan sebesar lebih dari 25% dari total pendapatan perusahaan. Kondisi pandemi saat ini yang memukul pariwisata di Bali agaknya memiliki imbas yang cukup signifikan pada perusahaan, walaupun pasar-pasar di luar Bali pulih lebih cepat.
  5. Sebagai perusahaan yang mature, perusahaan rajin memberikan deviden, bahkan dua kali dalam setahun. Di harganya yang sekarang, dividen yield yang ditawarkan cukup menarik (di atas 5%) – lebih tinggi dari bunga deposito.
  6. Dari segi nilai intrinsik, MLBI berada di rentang harga wajarnya. Sedangkan dari valuasi PBV, valuasi saat ini bisa dibilang murah.

Dari semua item-item di atas, MLBI bisa dikatakan sebagai emiten turn-around – entah sedang turning, atau akan turning. Dengan pertumbuhannya yang cenderung melambat, ekspekstasi bagger di emiten ini tentunya lebih kecil dibandingkan emiten lain yang memiliki trend pertumbuhan yang lebih tinggi.

Kondisi pandemi saat ini tentunya berimbas pada perusahaan. Jika pandemi berkepanjangan, maka kegiatan-kegiatan pariwisasta serta event-event baik musik maupun olahraga tidak dapat dilakukan. Kondisi ini ikut memukul harga saham perusahaan.

Hanya saja, harga saham yang turun saat ini justru memberikan kesempatan bagi mereka yang hobi mengoleksi emiten dengan dividen yield yang tinggi. Jika mulai dikoleksi dari sekarang, ketika pandemi sudah selesai dan orang-orang mulai berwisata kembali, maka pendapatan perusahaan tentu akan meningkat, sehingga dividen yield yang ditawarkan di masa depan akan jauh lebih menarik.

Tidak ada yang tahu kapan pandemi akan berakhir. Tidak ada yang tahu pula apakah harga saham MLBI akan semakin turun, atau justru berbalik naik.

Menurut penulis, mulai mengoleksi MLBI saat ini secara perlahan-lahan mungkin bisa dipertimbangkan. Tentunya dengan money management yang baik. Jadi kalau harganya tambah turun, kita masih punya amunisi untuk serok.

Demikian, semoga bermanfaat.

Analisa Saham Sido Muncul Tbk (SIDO)

Sido Muncul awalnya didirikan sebagai usaha jamu rumahan, dirintis di Yogyakarta pada tahun 1930an oleh Ibu Rahmat Sulistio. Pada tahun 1940, Ibu Rahmat Sulistio untuk pertama kalinya meracik ramuan jamu godogan untuk masuk angin yang dinamakan “Tolak Angin”.

Hari ini, Tolak Angin adalah pemimpin pasar dalam produk jamu herbal. Dengan tagline “Orang pintar minum Tolak Angin”, produk ini bahkan mulai merambah pasar luar negeri.

Logo Sido Muncul
Sebelum mulai, numpang iklan dulu ya! ๐Ÿ˜€ Barangkali ada yang lagi expecting to have a baby in the near future (selamat ya Moms/Dads), mungkin mau cari-cari ide nama buat adek bayinya, barangkali bisa pake tools teman penulis di nama.bayiunyu.id. 

Analisa Fundamental

Karena SIDO baru IPO pada tahun 2013, penulis menggunakan data dari tahun 2012 sampai dengan 2020. Kebanyakan data penulis ambil dari stockbit.

Balance Sheet

Tidak banyak yang penulis bisa bahas secara khusus dari sisi Balance Sheet. Secara umum, aset dan ekuitas SIDO bertumbuh dari tahun ke tahun. Secara CAGR, pertumbuhan aset dari tahun 2013 – 2019 adalah sebesar 3.87%, dan untuk periode yang sama CAGR ekuitas SIDO adalah sebesar 2.97%. Secara relatif, menurut penulis angka ini bukan angka yang luar biasa.

SIDO hampir tidak pernah memiliki hutang jangka panjang (terutama yang berasal dari bank). Liabilitas jangka panjang tercatat diisi oleh akun-akun yaitu imbalan kerja karyawan, pajak tangguhan, dan sewa.

SIDO nyaris tidak memiliki hutang dari tahun ke tahun

Income Statement

Pendapatan SIDO dari tahun ke tahun secara umum meningkat. Hanya saja peningkatannya tidak terlalu signifikan. Tahun 2012, Total Pendapatan SIDO adalah sebesar IDR 2,392 miliar (hampir mencapai IDR 2.4 T). Sedangkan di tahun 2020, Total Pendapatan SIDO adalah sebesar IDR 3,335 miliar. Angka ini menghasilkan CAGR sebesar 4.47% yang mana bisa dibilang biasa saja.

Walaupun demikian, pertumbuhan pendapatan SIDO sebenarnya mulai membaik dari tahun 2018, di mana dari 2018 sampai dengan tahun 2020, pendapatan SIDO tumbuh sebesar 7.34%, 11%, dan 8.74%.

Dari segi profitabilitas, SIDO mencatatkan peningkatan margin dari tahun ke tahun.

Untuk Laba Kotor, dalam kurun waktu 8 tahun, SIDO mampu meningkatkan perolehan Laba Kotor dari angka IDR 921 miliar di tahun 2012, menjadi IDR 1,823 miliar di tahun 2020. CAGR Laba Kotor dalam periode ini adalah sebesar 9.03%. Margin Laba Kotor pun meningkat, dari sebesar 38.50% di tahun 2012, menjadi 55.14% di tahun 2020.

Hampir mirip dengan Laba Kotor, dari segi Laba Bersih, SIDO juga menunjukkan pertumbuhan yang baik. Di tahun 2012, Laba Bersih SIDO adalah sebesar IDR 388 miliar, sedangkan di tahun 2020 angka ini tumbuh menjadi sebesar IDR 934 miliar – nilai CAGR sebesar 11.61%. Dari segi margin, juga terjadi peningkatan, yaitu dari angka 17.12% di tahun 2012, menjadi 28.01% di tahun 2020.

Total Pendapatan, Laba Kotor, dan Laba Bersih SIDO 2012 – 2020
Peningkatan margin SIDO 2012 – 2020

Jadi, Total Pendapatan SIDO secara rata-rata bisa dikatakan biasa saja. Namun SIDO konsisten melakukan efisiensi di sana sini sehingga mampu terus meningkatan profit margin-nya.

Cashflow

Setelah IPO, cashflow SIDO meningkat cukup pesat. Di tahun 2014 (pasca IPO), SIDO mencatatkan operating cashflow sebesar IDR 369 miliar. Sedangkan di tahun 2020, angka ini naik menjadi sebesar IDR 1,036 miliar. Angka-angka ini menunjukkan CAGR sebesar 18.77%.

Sebuah angka yang luar biasa.

Sampai di sini mungkin muncul pertanyaan, dengan pertumbuhan cashflow yang luar biasa, mengapa pertumbuhan aset dan ekuitas SIDO terkesan biasa-biasa saja? Penulis menduga jawabannya adalah dividen.

Sebagai perbandingan, Ultrajaya adalah tipe perusahaan yang lebih memilih untuk menahan laba atau cash di dalam perusahaan ketimbang membagikannya dalam bentuk dividen. Sebagai hasilnya, pertumbuhan aset dan ekuitas Ultrajaya lebih baik dari SIDO.

Pertanyaannya kemudian, kalau SIDO lebih memilih untuk memberikan dividen ketimbang melakukan ekspansi, apakah dividen yield yang dihasilkan di masa kini (dan akan datang) cukup menarik untuk dijadikan investasi?

Analisa Kualitatif

Produk

Sejak tahun 2015, SIDO mengklasifikasi bisnisnya ke dalam tiga segmen usaha: Jamu Herbal, Makanan dan Minuman, dan Farmasi.

Segmen Jamu Herbal agaknya didominasi oleh Tolak Angin yang terdiri dari beberapa varian yaitu Tolak Angin Cair, Tolak Angin Cair Anak, Tolak Angin Bebas Gula dan Tolak Angin Flu, Tolak Linu Cair, Tolak Linu Mint, Jamu Komplit, Sari Kulit Manggis, dan Sari Kunyit. Pada tahun 2020, Sido Muncul meluncurkan produk softcapsule yang terdiri dari 7 macam, yaitu: Tolak Angin, Tolak Linu, Sari Kunyit, Vit E100, Vit E300, VCO, dan Vit D 400iu serta Kapsul JSH.

Produk unggulan untuk segmen Food & Beverage antara lain Kuku Bima Ener-G! dengan berbagai macam varian rasa antara lain Anggur, Mangga, Jeruk, Original, Kopi, Susu Soda, Jambu dan Nanas, Susu Jahe, Kopi Jahe, serta berbagai macam minuman kesehatan lainnya. Sedangkan produk farmasi unggulan antara lain Anacentine Sirup, Inflasone, dan Licodexon.

Kalau secara pribadi, penulis setidaknya pernah mendengar Tolak Angin dan Kuku Bima Ener-G. Yang pertama sukses dengan tagline “Orang pintar minum tolak angin”, sedangkan Kuku Bima Ener-G rajin menggandeng public figure seperti Ade Rai, Chris John, Iko Uwais, dan lain-lain. Agaknya dari segi marketing, dua merek andalan SIDO ini cukup sukses membangun product awareness.

Lalu bagaimanakah performa masing-masing segmen? Dengan menggunakan data dari laporan keuangan tahun 2014 – 2020, terdapat beberapa catatan menarik.

Performa Segmen Bisnis SIDO 2014 – 2020

Segmen Jamu Herbal saat ini adalah segmen penyumbang pendapatan terbanyak dan dengan trend yang meningkat. Segmen ini di tahun 2014 menyumbang pendapatan sebesar IDR 1,076 miliar yang setara dengan 48.96% dari total pendapatan. Di tahun 2020, jumlah pendapatan dari segmen ini telah berkembang lebih dari dua kali lipatnya, menjadi sebesar IDR 2,221 miliar yang mewakili kontribusi pendapatan sebesar 66.60%. Secara CAGR, pertumbuhan segmen ini berada di angka 12.84% untuk periode 2014 – 2020.

Segmen makanan dan minuman ternyata menunjukkan pertumbuhan yang stagnan, bahkan sedikit menurun. Tahun 2014, segmen ini menyumbang pendapatan sebesar IDR 1,095 miliar (49.82 % dari total pendapatan). Sedangkan di tahun 2020, segmen ini memberikan kontribusi pendapatan sebesar IDR 1,005 miliar (30.15% dari total pendapatan). CAGR segmen ini untuk periode 2014 – 2020 adalah sebesar -1.41%.

Segmen farmasi adalah segmen teranyar SIDO. Segmen ini agaknya ditandai dengan akusisi PT Berlico Mulia Farma di tahun 2014. Walaupun saat ini kontribusi segmen ini masih sangat kecil yaitu sebesar IDR 108 miliar di tahun 2020 (sekitar 3.25% dari total pendapatan); tetapi segmen ini bertumbuh sangat cepat. Dari tahun 2014 sampai 2020, angka CAGR di segmen ini adalah sebesar 26.23%.

Kontribusi Segmen Terhadap Pendapatan SIDO 2020

Pasar

Dari analisa LK diketahui bahwa secara agregat, nilai penjualan SIDO hanya tumbuh dengan angka CAGR sebesar 4.47%. Angka CAGR sebesar 4.47% dalam waktu 8 tahun tentunya bukan merupakan angka yang spektakuler. Walaupun demikian, dalam jangka pendek, dari tiga tahun terakhir SIDO berhasil menggenjot pertumbuhan pendapatan dari tahun ke tahun di atas angka CAGR bahkan mencapai 11% di tahun 2019.

Angka pertumbuhan yang stagnan, tentunya menimbulkan pertanyaan, apakah pasar SIDO sudah jenuh alias pasar yang saat ini sudah dijangkau sudah digarap dengan maksimal? Mungkin iya, mungkin tidak.

Agaknya hal ini menjadi pertimbangan bagi SIDO. Ketika existing market sudah mulai stagnan, yang bisa kita lakukan adalah merambah pasar baru atau membuat produk baru. SIDO melakukan keduanya. Khusus untuk yang pertama, dijawab SIDO dengan melakukan penetrasi pasar ekspor.

Tahun 2017, SIDO mendirikan cabang perusahaan di Filipina. Langkah ini menjadi salah satu langkah strategis SIDO untuk mulai menggarap pasar ekspor “dengan lebih serius”, dimulai dari pasar ASEAN.

Di tahun 2017, Perseroan berencana untuk memperkuat aktivitas ekspor dengan target meningkat dari 2% saat ini menjadi 5% dari total penjualan. Walaupun produk Perseroan sudah dijual di 15 negara, porsi ekspor masih sangat kecil, karena perseroan tidak mengekspor secara langsung. Produk Sido Muncul sudah diekspor ke negara-negara seperti Malaysia, Brunei, Singapura, Filipina, Myanmar, Suriname, Afrika Selatan, Nigeria, Australia, Belanda, serta negara-negara Eropa dan Amerika, tetapi tidak melalui jaringan distribusi sendiri. Tahun 2017 Perseroan merencanakan untuk melakukan sendiri kegiatan ekspor dengan mendaftarkan produk-produk Sido Muncul di negara-negara tersebut dan membentuk semacam perwakilan. Aturan mengenai produk herbal dengan pemahaman yang berbeda-beda di negara tujuan ekspor merupakan tantangan tersendiri dalam meningkatkan volume penjualan di pasar ekspor.

SIDO, AR 2017

Di tahun yang sama, SIDO memperoleh izin dari BPOM Filipina, yang kemudian dilanjutkan dengan melakukan ekspor perdana di tahun 2018.

Di tahun yang sama, SIDO mendirikan Muncul Nigeria Limited untuk mengembangkan potensi pasar di Afrika. Dan yang paling terakhir, SIDO melakukan ekspor perdana produk Tolak Angin ke Arab Saudi di bulan Agustus 2020.

Sayangnya penulis tidak dapat menemukan seberapa besar kontribusi pasar ekspor bagi perusahaan di AR SIDO tahun 2020. Di AR tahun sebelumnya, perusahaan hanya menyebutkan bahwa pasar ekspor berkontribusi sebesar 5% dari total penjualan, naik dari tahun sebelumnya yang hanya sebesar 2%.

Keseriusan SIDO untuk menggarap pasar ekspor juga tercermin dalam agenda rapat direksi. Update kinerja ekspor hampir menjadi agenda tetap dalam rapat bulanan direksi.

Di tahun 2021, Affinity Equity Partners mengakuisisi sebanyak 21% saham SIDO. Keterlibatan Affinity di SIDO sebenarnya telah dimulai dari tahun 2018 dengan masuknya dua orang perwakilan mereka di kursi Dewan Komisaris. Kehadiran Affinity tentunya diharapkan mampu meningkatkan performa SIDO dalam menggenjot pengembangan pasar internasional terutama Asia Pasifik.

Sebagai investor retail, kinerja pasar ekspor SIDO menarik untuk diamati. Dengan brand Tolak Angin yang sangat kuat, mungkin SIDO bisa mengikuti kesuksesan Indofood dengan ekspor Indomie-nya. Kinerja ekspor SIDO menjadi kunci pertumbuhan SIDO di masa mendatang.

Management

Dividen

SIDO termasuk perusahaan yang rajin menyetor dividen kepada pemegang sahamnya, bahkan bisa dua kali dalam setahun. Dividen Yield secara fluktuatif berada di kisaran 3% – 6%, bahkan sempat mencapai 8%. Payout ratio rata-rata berada di atas 80%.

Chart Dividen Yield SIDO

Untuk laba tahun 2020 sendiri, SIDO mengalokasikan 60.7% laba perusahaan untuk melakukan pembayaran dividen, dengan Dividen Yield sebesar 2.4%.

Buyback

SIDO tercatat melakukan buyback saham pada tahun 2015 dan 2016. Menurut management, hal tersebut dilakukan mengingat pasar saham yang cukup fluktuatif saat itu menyebabkan saham SIDO dijual di bawah harga wajarnya. Saham treasuri hasil buyback tersebut telah dijual kembali secara perlahan. Sampai saat ini SIDO masih memiliki sekitar 0.76% saham treasuri yang rencananya tetap akan dipegang perusahaan setidaknya sampai tahun 2022.

Pembelian / Penjualan Saham Treasuri SIDO AR 2020

Langkah buyback SIDO ketika market crash patut diapresiasi. Namun, buyback yang dilakukan SIDO agak sedikit berbeda dengan continuous buyback seperti yang dilakukan PSP EKAD atau ULTJ.

Dalam kasus EKAD dan ULTJ, PSP secara rutin membeli saham perusahaan. Kita tentunya hanya bisa menebak-nebak mengapa mereka melakukan itu, dan tentunya berharap motifnya adalah karena mereka yakin akan prospek bisnis perusahaan di masa depan.

Buyback yang dilakukan SIDO sepertinya dilakukan dengan motif jangka pendek untuk “mengamankan harga”, ketimbang motif jangka panjang seperti dalam kasus EKAD / ULTJ.

Royalti

Keluarga Hidayat sebagai pemegang lisensi rahasia dagang SIDO (penulis menduga ini resep jamunya), akhirnya melepas hak tersebut kepada perusahaan di tahun 2018, seharga IDR 33.95 miliar. Sebelumnya, SIDO harus membayar royalti sebesar 1.5% dari penjualan neto kepada CV Mekar Subur.

Penjualan lisensi kepada perusahaan tentunya akan memastikan kelangsungan kualitas produk SIDO di masa depan. Walapun, penulis menduga mungkin juga hal ini dilakukan untuk menyambut kehadiran investor lain (Affinity). Tentunya akan sangat berisiko bagi investasi mereka, kalau lisensi dagang masih dimiliki keluarga Hidayat.

Apa-pun itu, menurut penulis, penjualan lisensi ke perusahaan dalam jangka penjang akan menguntungkan investor.

Valuasi

OK, so far kita tahu bahwa SIDO adalah perusahaan dengan fundamental yang baik. Bagaimana dengan valuasinya? Seperti biasa, penulis melakukan analisa sederhana seperti di bawah ini.

Nilai Intrinsik

Dengan asumsi growth EPS sebesar 12.74% (berdasarkan data historis tahun 2012 – 2020), penulis mendapati nilai intrinsik SIDO berada di rentang harga IDR 598 – 912. Dengan harga saat ini di kisaran IDR 785, SIDO sedang berada di rentang harga wajarnya dengan potensi kenaikan hanya sebesar 16.27% saja.

Karena SIDO tidak menyediakan margin of safety yang cukup, maka menurut pakem value investing, harga SIDO saat ini bisa dikatakan mahal.

PER

Dari segi PER, valuasi SIDO konsisten meningkat. Artinya pasar semakin menghargai mahal harga saham SIDO. Standar deviasi PER SIDO berada di angka 20.74x. Dengan harga saat ini, PER SIDO berada di kisaran 25.21x, di atas +1 standar deviasinya. Jadi secara PER, valuasi SIDO juga bisa dikatakan mahal.

PER SIDO 5 tahun terakhir

PBV

Trend valuasi SIDO juga menunjukkan hal yang sama. Semakin hari, saham SIDO semakin dihargai mahal oleh para investornya. Berdasarkan PBV, SIDO saat ini berada di angka 7.31x, cukup jauh berada bahkan di atas +1 standar deviasinya di kisaran 6.10x. Secara PBV, SIDO bisa dikatakan mahal.

PBV SIDO 5 tahun terakhir

Kesimpulan

Terdapat beberapa hal yang penulis bisa simpulkan dari analisa sederhana yang sudah kita lakukan di atas:

  1. SIDO adalah perusahaan dengan fundemental yang baik. Perusahaan memiliki likuiditas yang cukup bahkan cenderung cash-rich. Selain itu, perusahaan nyaris tidak memiliki hutang yang bersifat jangka panjang dan terutama yang berasal dari bank.
  2. Penjualan SIDO 10 tahun menunjukkan angka CAGR yang rendah. Namun demikian, terjadi peningkatan kinerja penjualan setidaknya selama 3 tahun terakhir dengan angka pertumbuhan setidaknya 7% dari tahun sebelumnya.
  3. Angka CAGR yang rendah, patut diduga diakibatkan oleh pasar SIDO yang sudah stagnan di dalam negeri. Mungkin saja penetrasi pasarnya sudah maksimal.
  4. Perusahaan berkomitmen untuk terus menggenjot pasar ekspor sebagai salah satu langkah strategis untuk meningkatkan pertumbuhan. Sampai saat ini pasar ekspor setidaknya berkontribusi sebanyak 5% dari total penjualan.
  5. Secara bauran produk, jamu herbal dengan merek utama Tolak Angin masih menjadi produk andalan. Setidaknya dua kali ekspor perdana ke Filipina dan Arab Saudi adalah untuk produk Tolak Angin. Di Filipina sendiri produk ini telah mendapatkan izin dari BPOM setempat.
  6. Secara cashflow, SIDO menunjukkan angka CAGR yang luar biasa, yaitu sebesar 18.77%. Namun laju pertumbuhan cashflow yang tinggi tidak dibarengi dengan tingkat pertumbuhan aset dan ekuitas yang sama. Agaknya hal ini disebabkan oleh pembagian dividen yang rutin dilakukan perusahaan.
  7. SIDO rajin membagikan dividen bahkan sampai 2 kali dalam setahun dengan yield yang cukup menarik.
  8. Secara valuasi, saat ini SIDO bisa dikatakan mahal.

Apakah SIDO cukup menarik untuk dimasukkan ke dalam portfolio?

Well… aliran value investing mungkin akan menjawab tidak karena valuasinya yang cenderung mahal. Sedangkan aliran quality investing akan menjawab iya dan menjadikan valuasi yang mahal tersebut sebagai justifikasi atas kualitas perusahaan.

Menurut penulis sendiri:

  1. Untuk tetap berada di kisaran valuasi premium, SIDO harus mampu melakukan dua hal: meningkatkan pertumbuhan, dan rutin membayar dividen dengan yield yang menarik.
  2. Khusus untuk yang pertama, strategi ekspor akan menjadi salah satu faktor strategis. Jika SIDO sukses melakukan penetrasi pasar luar negeri, penulis yakin saham SIDO akan dihargai bahkan lebih mahal dari harganya saat ini.

Demikian, semoga bermanfaat.